ZONALITERASI.ID – Di tengah kerap dikeluhkannya semakin terpinggirkannya seni tradisi khas Jatinangor, Kabupaten Sumedang, seperti Cikeruhan, di kawasan ini justru muncul kreasi seni tradisi yang baru. Seni tradisi bernama seni gitar dan bedug (tardug) ini lahir di Dusun Wates, Desa Sempur, Kecamatan Jatinangor.
Saat group Lingkung Seni Tardug Sinar Rahayu, dari Dusun Wates, Desa Sempur tampil dalam Panggung Budaya di Saung Budaya Sumedang (Sabusu), beberapa waktu lalu, penonton yang hadir pada kesempatan itu, seolah terbius oleh group seni unik ini. Maklum, seingat penonton, alat musik tradisional yang biasa dikolaborasikan dengan gitar yaitu suling atau biasa disingkat tarling. Namun, yang muncul saat itu, gitar menjalin harmoni musik dengan bedug.
Konon, menurut Penasehat Lingkung Seni Tardug Sinar Rahayu, Ma’an, munculnya seni tardug spontanitas atau muncul begitu saja.
“Waktu itu, tahun 2005, warga RT 01/RW 01 Dusun Wates, diundang untuk menampilkan kesenian dalam pesta Agustusan di Lapang Ciawi, Cikeruh, Jatinangor. Tanpa berpikir panjang, akhirnya kami memberanikan diri untuk menampilkan seni tardug kepada masyarakat Jatinangor. Berawal dari sanalah seni tardug dikenal publik,” kata Ma’an kepada Zonaliterasi.id, di kediamannya, RT 01/RW 01, Dusun Wates, Desa Sempur.
Menurut Ma’an, sebelum memberanikan diri tampil di depan publik, musisi yang tergabung dalam Lingkung Seni Tardug Sinar Rahayu, memang sudah biasa latihan rutin dengan peralatan musik seadanya.
“Alat musik yang paling dulu ada adalah bedug. Kemudian menyusul peralatan musik lainnya. Semua alat musik kami adakan secara swadaya, tanpa bantuan siapapun. Untuk alat musik kendang misalnya, itu adalah milik salah seorang personel group kami yang memang sebelumnya sudah berprofesi sebagai juru kendang di perkumpulan pencak silat,” kata dia.
Dikatakan Ma’an, selain gitar dan bedug, untuk membuat komposisi suara musik yang terdengar enak di telinga, lingkung seni ini juga menyertakan alat musik lainnya. Alat musik seperti goong dan kendang juga ada di group ini.
“Saya salut terhadap semua kru yang mendukung keberadaan group ini. Tanpa mereka group ini tak akan berkembang seperti saat ini. Di tengah kesibukan sehari-hari mencari nafkah, mereka masih menyempatkan diri untuk berlatih tardug, setiap malam Minggu. Momen itulah yang mengasah kemampuan kami dalam bermain musik,” terang dia.
Ma’an menuturkan, seiring berjalannya waktu, pengenalan seni tardug kepada masyarakat berjalan terus. Ternyata, seni tradisi ini tak hanya digemari oleh masyarakat Jatinangor, masyarakat dari luar kawasan itu, sangat mengagumi seni ini.
Minim Perhatian Pemerintah
Lanjut Ma’an, sejak mengembangkan seni tardug sekitar lima belas tahun lalu, dia dan warga lainnya lebih mengandalkan kepada usaha yang dilakukan secara mandiri.
“Semuanya kami lakukan sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Untuk menyediakan alat-alat misalnya, seperti kendang, goong, dan gita dilakukan dengan cara rereongan,” katanya.
Dikatakan Ma’an, dia berharap pemerintah lebih resfonsif saat melihat kepedulian warga yang ingin melestarikan kesenian tradisional. Keresfonsifan itu, kata dia, bisa ditunjukkan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk pengembangan seni tradisional.
“Minat warga untuk melestarikan kesenian tradisional harus dilihat sebagai potensi yang bisa digali dan dikembangkan. Saya justru berpikiran, saat pemerintah tidak menunjukkan perhatian terhadap pengembangan seni tradisional, masyarakat justru bisa melakukannya secara mandiri. Mungkin, pengembangan seni tradisional akan lebih baik lagi jika pemerintah turun tangan untuk memberikan bantuan,” kata Ma’an.
Pemerhati Jatinangor, Dudi Supardi, mengungkapkan, pemerintah tak bisa membiarkan masyarakat berjalan sendirian dalam mengembangkan seni tradisional. Sesuai dengan fungsi dan kewenangannya, kata dia, pemerintah harus menyediakan fasilitasi yang optimal untuk mendukung pelestarian seni dan budaya Sunda.
“Setelah melihat kenyataan yang muncul saat ini, pemerintah seharusnya mengubah kebijakan. Perhatian terhadap pengembangan seni tradisional dan pelaku seni itu harus ditunjukkan. Bagaimanapun untuk mengembangkan seni tradisional, selain memerlukan rasa cinta terhadap seni itu, juga harus didukung oleh adanya dana,” ujar Dudi. (dede suherlan)***