Oleh Dadang A. Sapardan
DALAM beberapa waktu lalu begitu marak twibbonize peringatan Hari Anak Nasional pada berbagai media sosial- instagram, whatsapps, twitter, facebook, atau berbagai media sosial lainnya. Tema yang dihembuskan mengarah pada upaya perlindungan anak dari berbagai perundungan. Kesemarakan twibbonize tersebut sedikit banyak mengingatkan berbagai pihak bahwa tingkat tindak kekerasan pada anak masih kerap terjadi dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Dengan maraknya penggunaan media sosial, berbagai bentuk tindak kekerasan pada anak begitu mudah ditemukan.
Sejalan dengan penerapan kebijakan pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) sebagai antisipasi penekanan pandemi Covid-19, sebagian besar siswa melaksanakan pembelajaran dari rumah masing-masing secara mandiri atau berkelompok bersama beberapa teman sebayanya. Keberlangsungan pembelajaran dari rumah tersebut merupakan langkah penerapan prinsip kesehatan dan keselamatan sebagai prioritas utama serta penerapan prinsip keberlangsungantumbuh kembang dan hak anak selama pandemi Covid-19.
Dengan intensitas pertemuan yang kurang antara siswa dengan guru karena dengan terpaksa mereka harus melaksanakan pola PJJ, ditemukan beberapa permasalahan yang melanda siswa. Berbagai temuan tersebut tidak saja mengarah pada minimnya capaian prestasi akademik siswa tetapi mengarah pada perkembangan fisik dan psikis mereka. Salah satu penyimpangan yang terdeteksi adalah terjadinya tindak kekerasan selama siswa melaksanakan belajar dari rumah.
Dalam berbagai kanal media sosial tidak jarang ditampilkan berbagai bentuk tindak kekerasan yang menimpa siswa, sehingga menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Terjadinya tindak kekerasan tersebut bisa dilatarbelakangi ketidakpahaman akan efek negatif yang diakibatkannya.
Terdapat beberapa bentuk tindak kekerasan yang tidak menutup kemungkinan mendera siswa selama belajar dari rumah, pelecehan, perundungan, penganiayaan, perkelahian, pemerasan, pencabulan, pemerkosaan, dan diskriminasi. Pelecehan adalah tindakan kekerasan secara fisik, psikis, atau daring. Perundungan adalah tindakan mengganggu, mengusik terus-menerus, atau menyusahkan. Penganiayaan adalah tindakan yang sewenang-wenang seperti penyiksaan dan penindasan. Perkelahian adalah tindakan dengan disertai adu mulut atau adu fisik. Pemerasan adalah tindakan, perihal, cara, atau perbuatan memeras. Pencabulan adalah tindakan, proses, cara, perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh, atau melanggar kesopanan dan kesusilaan. Pemerkosaan adalah tindakan, proses, perbuatan, cara menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, dan/atau menggagahi. Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan suku, agama, ras, atau antargolongan.
Terjadinya tindak kekerasan pada siswa, salah satunya dilatarbelakangi oleh perubahan situasi yang terjadi. Ketika siswa dengan terpaksa harus berada di rumah dan lingkungan sekitarnya, terjadi kekerapan komunikasi dan sosialisasi dengan warga rumah dan warga lingkungan sekitar. Intensitas kekerapan komunikasi ini terjadi dengan tiba-tiba, tanpa persiapan sebelumnya. Akibat adanya kekerapan komunikasi dan sosialisasi tersebut tidak menutup kemungkinan melahirkan friksi di antara mereka yang pada akhirnya mengakibatkan fenomena tindak kekerasan yang tidak dengan mudah terdeteksi.
Pada kondisi normal, indikasi tindak kekerasan yang diterima siswa biasanya dapat terdeteksi sehingga satuan pendidikan dapat dengan secepatnya melakukan treatment. Namun, dalam kondisi yang terjadi saat ini, keberlangsungan tindak kekerasan tidak dengan mudah terdeteksi sehingga efeknya bisa fatal bagi perkembangan fisik dan psikis siswa yang mengalaminya. Pada domain akademik, fenomena tersebut dapat berakibat pada penurunan capaian prestasi siswa.
Untuk menyikapi fenomena tindak kekerasan yang melanda siswa, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh setiap satuan pendidikan adalah membangun intensitas komunikasi dengan siswa dan orang tuanya. Setiap satuan pendidikan dapat menugaskan guru atau wali kelas guna mengontrol perkembangan fisik dan psikis setiap siswanya. Lewat upaya tersebut, guru dimungkinkan dapat mendeteksi sedini mungkin akan adanya efek negatif dari tindak kekerasan yang menimpa setiap siswanya.
Untuk merealisasikan langkah tersebut, setiap satuan pendidikan perlu pula membuat formulasi yang tepat. Formulasi dibutuhkan dalam upaya meminimalisasi terjadinya tindak kekerasan di tengah minimnya kemampuan satuan pendidikan untuk memantau setiap siswanya. Formulasi yang dibuat satuan pendidikan merupakan langkah strategis, sistematis, dan afektif dengan didasarkan pada kajian yang matang dari para guru dan warga satuan pendidikan lainnya.
Karena itu, setiap satuan pendidikan harus berinisiatif untuk membangun intensitas komunikasi dengan setiap siswa dan orang tua siswa. Intensitas komunikasi ini di antaranya dilakukan guna mencegah terjadinya tindak kekerasan serta memberi pemahaman komprehensif tentang berbagai efek negatif yang bisa terjadi akibat terjadinya tindak kekerasan. ***
Penulis adalah Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kabupaten Bandung Barat.