Oleh Aris Harmoko
SAAT berhenti sejenak di perempatan jalan protokol Kota Bandung kala lampu merah menyala, hati saya kerap terenyuh. Itu bermula dari pemandangan yang selalu datang berulang-ulang. Ya, kemunculan anak laki-laki dan perempuan usia batita, balita, hingga usia sepuluh tahunan di perempatan jalan itu, jadi pemandangan yang begitu menjemukan.
Sambil menenteng alat musik alakadarnya, mereka, si anak-anak bau kencur itu, bernyunya-nyanyi yang tak jelas irama dan notasinya. Tak perlu mempersembahkan alunan irama yang mengenakkan telinga. Sekadar bernyanyi tiga, empat baris lagu, lalu mereka menengadahkan tangan sembari mempertontonkan muka memelas.
Pada posisi itulah transaksi belas kasihan muncul di tengah kehidupan kota yang semakin menyempurnakan bahwa manajemen pengelolaan kehidupan kita semakin tidak jelas. Di tengah deru kehidupan yang semakin memburu, masih ada saudara-saudara kita yang kehidupannya begitu terabaikan. Saat teman-teman lain seusia mereka mengenyam pendidikan di bangku sekolah, mereka justru harus mengadu nasib di tengah kerasnya kehidupan jalanan.
Menyusul munculnya fenomena itu, saya justru bertanya-tanya, apakah pemerintah tidak hadir dalam kehidupan mereka? Ke mana pemerintah kota dan dinas sosial? Atau jika persoalannya ditarik-tarik ke ranah kesempatan warga untuk mengenyam pendidikan, ke mana pula institusi pengurus pendidikan warga? Bukankah sebagai warga negara, mereka pun berhak mendapat pendidikan yang layak?
Mungkin, seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya, saling lempar tanggung jawab di antara institusi yang seharusnya menanggungjawabi nasib pendidikan warganya akan muncul. Itu tentu tak menyelesaikan masalah. Yang diperlukan sekarang yaitu bagaimana solusi konkret untuk menggiring anak jalanan bisa sekolah dan bisa menikmati pendidikan layaknya warga lainnya.***
Penulis adalah Pemerhati Pendidikan, tinggal di Jln. Pelindung Hewan, Tegalega, Bandung.