Ditulis oleh Mang Andi Espe
SIANG terik di perkotaan, apalagi dekat kawasan industri. Uh … Panas, pengap, pusing, emosional. Inginnya jalan-jalan ke pinggiran hutan, lalu beristirahat di bawah dapuran awi. Terbayang nyamannya udara yang sejuk segar. Bahkan suara gesekan daun awi yang berisik itu pun terdengar bagai irama yang mepende menuju alam mimpi. Di bawahnya ada air jernih mengalir siap memberi kehidupan bagi sekian banyak makhluk.
Omong-omong soal awi, beberapa hari lalu ada seorang tokoh politik Tatar Sunda yang marah besar gara-gara urusan hutan awi. Pasalnya, ratusan hektare leuweung awi di Purwakarta, di kawasan lamping-lamping penyangga danau Jatiluhur, akan berubah jadi kebon cau. Beu ….! Bahkan dalam marahnya itu ada kalimat yang membuat saya terhenyak, “Ari Siliwangi teh ngajaga leuweung,” katanya.
Terserah lah, mau dibilang pencitraan atau apa. Yang jelas, citra Kang Haji –panggilan pada si tokoh politik itu– memang begitu, da mau dibilang pun sudah tidak terbilang.
Saya sungguh setuju dengan marahnya Kang Haji. Inginnya Saya pun ikut marah karena tidak terkendalinya alihfungsi hutan. Tapi da Saya mah apa atuh? Cacing cau juga bukan. Tapi ini perkara hutan awi. Perkara tumbuhan yang pernah ikut menjaga kedaulatan negara dan melindungi bangsa. Tumbuhan yang selalu dipakai oleh bangsa ini untuk mengenang arti merdeka.
Dulu, karuhun kita sudah wanti-wanti, agar awi di lamping tetap terjaga. Mereka sadar, Tatar Sunda ini bergunung dan berlembah. Kontur alamnya memiliki banyak lamping, yang jika salah mengelola akan berakibat bencana besar. Maka karuhun berpesan agar gunung iuhan, lamping awian, darat imahan, lebak sawahan, legok balongan.
Tuh …. Karuhun yang tidak kuliah saja tahu, lamping itu harus berawi. Tidak pantas jika lamping bercau. Diucapkannya saja sudah tidak enak. Pisang mah pantasnya di lahan yang datar, yang anginnya tidak begitu kencang.
Awi punya perakaran yang kuat ka pabeulit mencengkeram tanah. Sangat cocok untuk menahan tanah di lamping-lamping gunung. Kan kebayang jika di lamping banyak caunya. Jika ada curah hujan tinggi, akar cau yang berlendir itu akan ngabeyeyet turun ke bawah. Longsor lah …. Kalau longsornya seratus meter, paling cuma sekampung yang repot. Kalau longsor seratus hektare?
Akar awi bukan hanya mampu menahan erosi dan penampung air tanah saja. Kata para ahli mah, akar-akar awi itu mampu menetralisir racun-racun industri yang larut dalam air. Dengan demikian, mata air yang keluar sekitar dapuran awi akan tetap segar dan jernih.
Untuk urusan udara segar, jangan menganggap persediaan oksigen di atmosfer itu banyak hingga tidak perlu diproduksi. Setiap hari, semua makhluk hidup selalu menyerap oksigen dan melepaskan karbondioksida. Apalagi manusia, aktivitasnya bukan hanya bernafas, tapi juga bakar-bakaran. Akibat aktivitas manusia mah, sejumlah oksigen langsung terhisap, dan seabrek karbon padat langsung berubah menjadi gas karbon, lalu terlepas ke atmosfer.
Jika oksigen terus dipakai tanpa ada yang membuat, lama-kelamaan mah akan menipis atuh. Yang ada, karbondioksida dan gas-gas karbon lainnya lah yang semakin banyak. Kan Kita tahu, semakin banyak gas karbon di atmosfer, akan menyebabkan membesarnya efek rumah kaca. Akibatnya, suhu rata-rata di bumi semakin meningkat, hingga terjadi perubahan ikim global.
Untunglah bumi punya produsen oksigen. Jenis makhluk bumi yang diberi lisensi oleh Tuhan untuk memproduksi oksigen itu hanya tumbuhan. Itupun tidak semua, hanya tumbuhan berklorofil saja yang mampu melakukannya. Mekanismenya dengan cara menyerap karbondioksida, lalu mengurainya. Menyimpan karbonnya, lalu melepaskan oksigennya kembali ke udara.
Dari sekian banyak tumbuhan berklorofil, ternyata awi merupakan salahsatu penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen terbaik. Konon, kata para pakar, satu tegakan awi bitung dewasa mampu menghasilkan 1,2 kilogram oksigen setiap harinya. Sementara, manusia membutuhkan oksigen rata-rata setengah kilogram per hari, walau itu hanya hitungan kasar. Bayangkan, sebatang bambu mampu memberi kehidupan bagi dua manusia setiap harinya.
Untuk perkara ini, tahun 2015 para pakar kehutanan pernah membawa awi pada kongres ke-21 UNFCCC di Paris, kongres badan-badan PBB untuk urusan penanggulangan perubahan iklim. Saat itu Indonesia siap mensuport seribu kampung bambu untuk mengendalikan pemanasan global. Dan sejak itu pula, banyak pihak yang mendorong UNFCCC agar mengakui awi sebagai pengendali perubahan iklim.
Kini banyak negara yang mempersiapkan awi sebagai alat untuk mempercepat penyerapan karbon di atmosfer sebanyak-banyaknya. Mereka mengupayakan agar karbon selama mungkin tertahan di bumi sebagai cadangan karon dan tidak terlepas ke udara.
Negeri Tiongkok saja, saat ini sedang mempersiapkan hutan awinya untuk menyerap dan menyimpan cadangan karbon hingga sejuta ton sampai 2050. Bahkan di Kolombia, orang yang menanam awi disebut sebagai orang yang sedang menanam air.
Bagaimana dengan Kita? Sebagai negara yang memiliki 75 jenis tanaman awi, yang asli endemik Indonesia. Akankah Kita menyia-nyiakan anugerah Tuhan, yang telah memberikan sekian banyak tanaman penyangga bumi terbaik? Akankah kita sia-siakan nikmat awi, hanya karena menganggap awi kurang menguntungkan?
Padahal mah dari dulu, awi bukan hanya menjaga kehidupan, tapi juga memberi penghidupan. Awi telah memberi nafkah bagi tukang boboko, tukang giribig. Bahkan sekarang mah, tukang cinderamata hingga tukang kertas juga dapat untung dari awi. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak membela awi.
Dulu kita menggunakan awi sebagai senjata untuk menjaga kedaulatan negara ini. Sekarang dunia sedang berupaya memanfaatkan awi, juga sebagai senjata, untuk mengendalikan perubahan iklim. Jangan sampai Kita ketinggalan dalam memanfaatkan awi sebagai pelindung kehidupan.
Jangan sampai permukaan tanah tidak berpelindung. Jangan sampai bumi kekurangan penghasil oksigen dan penyerap karbondiolsida. Cau memang bisa dimakan dan mungkin memberi keuntungan, tapi sesaat. Cau juga bisa menghasilkan oksigen dan menyimpan karbon, tapi jauh di bawah awi.
Benar kata Kang Haji. Jangan sampai seuweu siliwangi ngaruksak leuweung. Jangan sampai seuweu Sunda menukar leuweung awi dengan kebon cau. Tidak ada maung yang mau tinggal di kebon cau. Maung itu di hutan kayu atau di leuweung awi. Yang dititipkan Siliwangi itu bukan kebon, tapi leuweung. Kebon banyak yang ngurus. Leuweung mah jarang yang mau ngurus? Kebon hanya menguntungkan segelintir orang. Leuweung mah nguntungkeun bagi semua.
Biarlah cau ditanam di tempat lain yang lebih layak. Lamping-lamping pegunungan tatar Sunda mah butuh awi. Dunia juga saat ini butuh awi sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Jangan rusak awi Kami. Siga cangkilung waé atuh ngaruksak awi. ***
Karawang, 18Agustus2021
Mang Andi Espe, penulis, alumni Jurusan Pendidikan Teknik Mesin IKIP Bandung (UPI).