Oleh Catur Nurrochman Oktavian
PEKAN terakhir bulan Juli 2020, dunia pendidikan Indonesia meradang. Berawal dari mundurnya dua organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar di Tanah Air, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI), pada 22-23 Juli 2020. Mundurnya dua ormas besar ini diikuti pula dengan mundurnya organisasi profesi guru terbesar di Indonesia, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada Jumat, 24 Juli 2020. “Pukulan hattrick” yang terjadi dalam beberapa hari itu pun menghentak publik. Berbagai pemangku kepentingan di dunia pendidikan Indonesia pun bertanya-tanya tentang POP Kemendikbud ini.
Beragam spekulasi pun merebak. Hampir semua media cetak maupun elektronik nasional maupun daerah mengangkat isu panas ini. Bola salju isu ini terus bergulir membuat para anggota legislatif pun angkat bicara. Mereka turut prihatin dan mengulas masalah ini dalam berbagai media. Bung Karni Ilyas pun mengangkat topik POP dalam acara talkshow spektakuler Indonesian Lawyer Club (Selasa, 28 Juli 2020).
Alasan mundurnya Muhammadiyah dan NU dari POP Kemendikbud hampir senada. Transparansi dan kejelasan kriteria dalam proses seleksi hingga meloloskan 156 ormas dan orprof pendidikan menjadi isu utama. Publik pun akhirnya bertanya-tanya mengenai masuknya dua yayasan (Tanoto dan Sampoerna Foundation) dalam daftar 156 organisasi penggerak penerima bantuan pemerintah dalam POP Kemendikbud. Masuknya dua yayasan yang berafiliasi dengan perusahaan besar Indonesia itu dianggap melanggar kepatutan karena menerima dana bantuan dari pemerintah. Banyak pihak beranggapan kedua yayasan seharusnya yang memberikan dananya sebagai sumbangsih ke masyarakat bukan sebaliknya, menerima anggaran dari pemerintah.
Dalam poin alasan kemundurannya, PGRI menambahkan pentingnya memiliki sense of crisis di masa pandemik covid-19. Menurut PGRI, tahun ini sebaiknya POP ditunda dan anggaran POP dialihkan untuk membantu siswa, guru, dan orang tua yang kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sama dengan NU dan Muhammadiyah, PGRI pun menyoroti tentang transparansi dan kriteria dalam proses seleksi.
POP Kemendikbud diluncurkan sebagai bagian dari episode Merdeka Belajar yang bertujuan mencari inovasi baru dalam pelatihan guru melibatkan partisipasi masyarakat melalui organisasi massa, organisasi profesi, dan organisasi keagamaan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Dana yang disiapkan semula sekitar 595 miliar (sebelum direalokasi menjadi 283,3 miliar). Dalam proses penyeleksian organisasi yang akan tergabung dalam POP, Kemendikbud melibatkan pihak swasta sebagai konsultan, yaitu Smeru. Dari ribuan organisasi yang mendaftar, akhirnya yang dinyatakan lolos sesuai kriteria gajah, macan, dan kijang hanya 156 organisasi.
Organisasi yang dinyatakan lolos seleksi tersebut akan menerima bantuan pemerintah untuk menjalankan program pelatihan guru, dan kepala sekolah di bidang literasi, numerasi, dan karakter.
Mundurnya ketiga kekuatan besar pendidikan Indonesia ini memang mengejutkan. Gaduhnya POP Kemendikbud membuat Mas Menteri merespon cepat. Dalam video yang beredar, Mas Menteri mengakui kekurangan dan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Di akhir pernyataannya, beliau menyatakan Kemendikbud siap mendengar dan belajar. Pernyataan yang patut diapresiasi meski terlambat. Jika sejak dilantik delapan bulan yang lalu, beliau banyak mendengar dari ketiga organisasi besar yang sudah tentu banyak asam garam dalam mengurus pendidikan, maka gaduh ini tidak akan terjadi. Ketiganya telah tercatat dalam sejarah panjang dunia pendidikan Indonesia. Sumbangsih dan kontribusinya selama republik ini berdiri memang tidak perlu diragukan. Jalan panjang dunia pendidikan di Indonesia telah diwarnai peran ketiganya. Sejak awal, seharusnya ketiga kekuatan besar di dunia pendidikan Indonesia ini dilibatkan dalam merancang POP ini. Ketiganya memiliki jaringan di 34 provinsi hingga ke pelosok-pelosok tanah air. Ratusan ribu sekolah telah dibangun oleh ketiganya. Jutaan siswa telah dididik dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah, NU, dan PGRI. Sewajarnya mereka diminta sumbang sarannya sejak awal bukan malah disetarakan keikutsertaannya dalam seleksi dengan organisasi lain yang baru muncul.
Mas Menteri selain mendengar berbagai pihak, perlu pula mendengar suara Muhammadiyah, NU, dan PGRI. Perlu disadari bahwa Indonesia yang sangat luas perlu dibangun bersama. Berkolaborasi dengan ketiga kekuatan besar pendidikan ini tentu akan semakin memuluskan pemerintah dalam membangun ekosistem pendidikan Indonesia. Semakin banyak mendengar, akan semakin banyak masukan yang dapat dimanfaatkan dalam menentukan kebijakan.
Tuhan memberi manusia dua telinga dan satu mulut, mengandung arti agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Wallahualam bi showab.***
Jakarta, 30 Juli 2020
Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Pengurus Besar PGRI