TAHUN 1980-an, di Cipanas Cianjur, ada seorang petani muda. Orang lain menanam sayur-mayur dengan menggunakan bibit unggul. Dia tidak. Saat menanam bawang daun, para petani lain mempersiapkan bibit unggul. Dia menggunakan bibit bawang daun yang tak bergizi. Petani nyeleneh.
Dia tanam dengan penuh kesungguhan. Pupuk kandang secukupnya. Tanpa urea. Tentu setiap hari disiangi. Tangannya yang cekatan dan penuh kasih sayang selalu mengelus bawang daun. Semakin hari semakin terlihat subur. Tak berbeda posturnya dengan bawang daun milik petani lain. Bahkan, jauh lebih besar. Para petani lain berdecak kagum. Tibalah saatnya panen. Hasilnya luar biasa. Jauh daripada biasanya. Maka, akhirnya petani muda itu terpilih menjadi pemuda teladan tingkat nasional.
Saya tidak akan melanjutkan cerita soal petani muda dan bawang daunnya. Tetapi, akan saya ambil benang merah cerita itu dengan soal input dan output peserta didik. Masih saja ada yang selalu membeda-bedakan peserta didik. Yang bodoh, yang pintar, yang nakal, yang baik. Padahal tidak usah dibeda-bedakan karena memang perbedaan itu sebuah keniscayaan. Yang harus kita sikapi adalah membijaki perbedaan itu.
Peserta didik disebut juga pelajar. Pelajar adalah orang yang belajar. Mengapa belajar? Karena kurang ajar. Bukan kurang ngajar. Karena yang kurang ngajar itu guru yang kurang jam mengajarnya atau guru yang lebih betah di ruang guru tinimbang di kelas bersama siswa-siswanya.
Ajar adalah ilmu. Jadi, siapa saja yang mau menimba (bukan menuntut) ilmu bisa disebut pelajar. Termasuk kita. Bukankah belajar itu seumur hidup? Sudah jelas belajar itu adalah kewajiban sekaligus hak mendasar manusia. Jadi, tidak boleh ada larangan untuk belajar. Pemerintah dan masyarakat wajib menyediakan lapangan belajar. Sebab, sejatinya pendidik itu adalah semua lembaga atau orang yang lebih dewasa memberikan teladan kepada yang lebih muda. Contoh, orang tua, masyarakat, dan pejabat tidak membuang sampah sembarangan, itu pendidikan yang komprehensif bagi anak-anak kita.
Biarkan siswa itu tumbuh kembang, baik jiwa maupun raganya. Bagai tetumbuhan di hutan lindung. Jangan sekali-kali kita membonsai harapan hidup siswa. Mungkin saja anak nakal itu sesungguhnya anak baik dan cerdas. Hanya kita yang lengah mengidentifikasi dan memfasilitasi kemampuan yang dimiliknya.
Ada gagasan yang diterapkan oleh para pendidik di beberapa sekolah. Semua siswa adalah juara di kelasnya masing-masing. Juara baca tulis Al-Quran, juara peduli sesama dan lingkungan, juara menulis dan membaca puisi, juara mendongeng (bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris), juara menyanyi, juara melukis/menggambar, juara matematika, juara IPA, juara IPS, juara olah raga, juara rapi dan sopan, juara melawak (stand up komedi), dan sebagainya. Semua informasi tentang itu ditampung oleh wali kelas. Kemudian, diumumkan pada saat pembagian buku laporan (rapot). Jauh lebih bagus apabila diserahi secarik sertifikat atau piagam penghargaan. Tentu saja, dananya bisa diambil dari BOS. Tidak seberapa, kan? Tetapi manfaatnya luar biasa. Saat ini, pendidik modern dan professional bukan yang ditakuti, tetapi yang selalu menghargai keadaan siswanya. ***
Sumber: Majalah Guneman
Esep Muhammad Zaini, Guru SMPN 1 Jonggol Kabupaten Bogor. Selain mengajar , penulis kerap diundang menjadi pembicara pelatihan penulisan untuk guru. Saat ini Esep Muhammad juga menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Guneman dan mengelola Penerbit Guneman.