Oleh Doddi Ahmad Fauji
KASIHAN memang Iwan ini, mau menapak jejak, malah ‘cilaka ku pamolah sorangan’. Iin Farliani, penyair dari Lombok menanyakan ihwal dikasih atau tidak jika puisi dimuat di rubrik sajak kofe yang tercantel di mediaindonesia.com, dijawab oleh Iwan selaku redaktur rubrik Sajak Kofe, dengan bahasa yang tertangkap arogan. Dari situ, pakepuk jadi berjumpalit.
Mungkin yang lain tak ada hubungan pribadi dengan Iwan. Tapi sebagai sesama alumni Kedoya, saya masih suka berkomunikasi, dan tak ada masalah apalagi harus bernada arogansi yang tak perlu.
Tapi saya memandang perlu ada yang mem-bully-nya, dan umumnya bully-an, bernada hujat dengan bahasa serampangan bagai orang kesurupan. Iwan sudah tidak kerja di MI, begitu menurut informasi dari teman di MI, tapi Iwan menggandeng MI untuk mewujudkan ide-idenya, dan diberi ruang. Selanjutnya, atau detailnya, saya tidak tahu.
Pada saat ini, ketika banjir makin sering terjadi, gunung meletus lebih kerap, bayangan ancaman dari Patahan Lembang yang makin dapat dirasionalkan, sementara sampah tetap menumpuk di Kota Bandung, juga teringat kasus meledaknya gunung sampah di TPA Leuwigajah Cimahi pada 2005 yang menewaskan 157 orang, saya justru merenungkan kembali makna berpuisi dan berliterasi ini untuk apa?
HP yang kita gunakan, wahana sosmed FB/WA yang terdepan, adalah sarana yang kita pinjam, kita ikuti, dan kita belum bisa membuatnya. Puisi sejatinya melahirkan ide-ide kreatif, bentangan imajinasi yang tak berhingga, sehingga benar-benar menjadi sumur yang melahirkan inspirasi, untuk berkarya, yang tepat guna macam HP atau FB ini.
Dalam terminologi kitab Quran, penciptaan dimulai dari huruf kemudian kata yang bermakna. Dari alif lam mim yang amat simbolik dan tidak terjelaskan, dan tidak perlu dijelas-jelaskan, kemudian penciptaan dilanjutkan dengan kata ‘KUN’ lalu ‘Fayakun’, yang artinya ‘Jadi, maka Jadilah’.
‘Alif lam mim’ dan ‘Kun’ adalah puisi, yang ditiru oleh para pengkarya. Tapi para pengkarya (diwakili oleh penyair) dijelaskan dalam terminologi Quran, seringkali menyuruh orang lain berbuat sesuatu yang justru tidak ia kerjakan. Para penyair suka mengembara ke lembah gelap, dan diikuti oleh orang sesat, kecuali yang bisa sampai ke arah aufklarung, yang katarsistik di ranah enlightenment (Disarikan dari Quran surat Para Penyair ayat 224-227).
Puisi adalah huruf, adalah kata, sebagaimana larik alif lam mim yang tidak terjelaskan dan tak perlu dijelaskan. Maka karena itu, puisi sebaiknya memang dibaca dan ditulis, untuk mendekati maksud dari anjuran kitab suci (agama apapun) yang kadang ditulis dengan mutasyabihat (simbolik), agar nalar manusia sampai pada aras hakikat, lalu berusaha mencari jalan tasauf yang tarikat, agar sampai pada ranah implemetasi yang makrifatik.
Tapi, dari beberapa konflik perpuisian di Tanah Air belakangan ini, terutama setelah lahirnya wahana sosmed, puisi menjadi benda bebas yang bahkan bisa digulanggaper sesukanya. Kadang jadi sarana pura-pura berderma, kadang terang-terangan jadi sarana berbisnis, menjadi sarana untuk narsis riya atau pamer, kadang untuk menegaskan keluguan seseorang, kadang berkadang-kadang hanya menjadi sakadang, macam sakadang monyet atau kuya.
Adalah Raja Asoka yang bertahta di Maurya atau India sekarang, sekira tiga abad sebelum Yesus lahir, mengadakan serentetan peperangan dan berhasil menaklukan sekian daerah, termasuk mengalahkan Kalingga yang menjadi seteru paling kuat dan alot. Pada suatu hari, ia melakukan telusur jejak, menapaki kawasan sisa palagan dan daerah taklukan. Betapa ia terperanjat, sebab yang ditemui ternyata daerah yang tidak terurus lagi miskin, maka wajar bila tak bisa mengirimkan upeti. Daerah itu umumnya menyisakan anak kecil yang belum balig, dengan tatap sayu dan masa depan suram. Selebihnya adalah janda lemah dan jompo tak berdaya. Apa yang Asoka lakukan?
Ia menatap ke arah langit, dan menjerit: Tuhan, apa yang sebenarnya sudah kulakukan ini?
Ia menangis, dan menyerukan segera dibagikannya kekayaan hasil perang, kepada rakyat jelata di daerah-daerah taklukan. Hewan dilindungi, bahkan kambing yang sedang hamil atau masih mengasuh anaknya, tidak boleh disembelih. Pembangunan infrastruktur digencarkan, agar daerah kembali berdaya. Dan, ia menggariskan konsep keindahan, melalui tiga kunci, yaitu ahimsa (non violence), aparigraha (ikhlas atau tanpa pamrih), anekanta (beragam). Tiga kata ini, dipinjam oleh orang NTT untuk melincungi cagar gunung Mutis.
Ketika seseorang masih berharap pamrih dalam artian seperti ketenaran, itu masih melenceng dari sifat aparigraha, dan untuk itulah, meski banyak penerima dermanya, puisi esai tampak tidak indah dalam gerakannya.
Nama adalah kosong, ketenaran ialah hampa belaka. Begitulah yang sering kudengar dari Begawan WS Rendra, yang menyitir konsepsi Raja Asoka sebagai salah satu pilar dalam estetika yang dianutnya.
Namun mengenai honor atau penghargaan untuk jerih batin yang telah ditunaikan, daya intelektual yang diupayakan, adalah sudah benar jika seseorang menanyakannya. Sebuah bangsa, bila tidak menghargai para intelektualnya, sungguh akan makin tertinggal jauh dalam pencapaian peradaban nonfisik (mental, karakter, etik kerja, disiplin), juga dalam peradaban fisik (infrastruktur, sarana teknologi, termasuk rumah ibadat).
HP yang kita gunakan, FB atau WA yang kita implementasikan, adalah produk intelektual, dan lahir dari bangsa-bangsa yang telah menghargai atau menghonori para intelektualnya. Perlu diketahui, Kiyai Mark Zuckerber, Kiyai Stave Jobs, termasuk Kiyai Jack Ma, kalau saya baca dalam biodatanya, adalah insinyur yang gemar membaca puisi karya Homeros macam Illiyad.
Puisi telah menjadi inspirasi untuk mencipta, dan bukan untuk mentang-mentang agar nama berkilauan, walau kata budayawan Popo Iskandar (salah satu dari 10 anggota Akademi Jakata) perjuangan seniman pada mulanya adalah merebut nama. Namun, nama adalah kosong bila tidak ditunaikan untuk memberi makna bagi kehidupan.
Betapa sedih memang, jika puisi menjadi medan laga dan berlaga, ngajago, petantang petenteng, sementara bangsa yang berperadaban, tidak berkutat dan saling sikut di wilayah yang sempit.
Semoga seruan ini, lebih pada sarana untuk introspeksi, dan tentu dalam keadaan seperti sekarang ini, saya sulit ikut bercanda dengan mengatakan “Kumaha aing da Persib ge nu aing,” meski saya orang Bandung. ***
Doddi Ahmad Fauji lahir di Bandung pada 4 September 1970. Menulis puisi dengan sungguh-sungguh sejak kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Bandung. Puisinya tersebar di berbagai media massa, dan diminta meredakturi rubrik sastra dan budaya di Koran Media Indonesia (1999 – 2001). Menjalani profesi jurnalistik di koran Media Indonesia (2008 – 2005), koran Jurnal Nasional (2006 – 2011), dan di Majalah pertahanan dan keamanan ‘Tapal Batas’ (2011 – 2013). Kini menjadi jurnalis mandiri untuk menjawab tantangan era jurnalisme warga.
Pada 2003, membaca puisi di Athena, Yunani, untuk memperingati seabad Olimpiade Modern. Pada 2004, membaca puisi dan menjadi pemakalah seminar tentang kondisi sosial-politik Indonesia di Moscow Government University, serta baca puisi dan pemateri diskusi proses kreatif di St. Petersburg University, Rusia.
Kini tinggal di Bandung, mengelola Sanggar SituSeni – Gerakan Literasi Semesta, sambil menggelar pelatihan menulis untuk berbagai jenis tulisan bagi para guru, pemuda, dan santri di berbagai daerah di Indonesia, baik daring maupun luring. Pada 2019, berangkat ke Lombok untuk menggelar pelatihan menulis di tiga titik (Mataram, KLU, Lotim) bagi para guru dan siswa dalam merespons musibah gempa bumi, dan pada 2021 kembali ke Lombok untuk melangsungkan pelatihan menulis di SMAN 9 Mataram.