BUDAYA  

Cerpen Hape Android

Karya Julius Jose Rizal

5d3287cd9ed10
(Ilustrasi: Kompas.com)

UNTUK kesekian kalinya Polan hanya bisa mengelus dada melihat anaknya. Inah, mengerjakan tugas sekolah dengan posisi menelungkup di lantai ubin yang sudah retak-retak. Tampak wajah gadis kecil itu begitu bersemangat menyelesaikan soal-soal yang diberikan gurunya. Soal-soal itu terpaksa meminta lihat dari temannya yang memiliki hape android.

Sebenarnya rumah teman terdekat Inah itu tidak bisa dianggap dekat untuk seorang anak piatu berumur delapan tahun itu. Kaki mungil itu perlu waktu menempuh waktu setengah jam untuk bisa sampai ke rumah Titi, teman sekelasnya yang terdekat. Polan tidak tega melihat kegetiran itu berlangsung terus-menerus di depan matanya.

Suasana alam pedesaan yang indah tidak cukup menghibur hati Polan. Betapa suasana pandemik covid-19 terasa begitu menyiksa. Sekolah-sekolah telah merumahkan murid-muridnya untuk belajar daring. Kegiatan pembelajaran tatap muka harus berganti menjadi pembelajaran jarak jauh. Akibatnya anak-anak seusia SD sebaya Inah merengek kepada orang tua mereka untuk dibelikan hape android. Hanya jenis hape itu saja yang bisa dipakai belajar jarak jauh karena memiliki aplikasi WA. Hape “cinitnit” yang biasa dipakai Polan ketika masih bekerja sebagai buruh serabutan menjadi tak berharga sama sekali untuk menolong belajar Inah. Rengekan anak semata wayangnya itu mustahil membuahkan hasil karena Polan memang tak sanggup membeli hape yang harga “seken”nya saja di atas satu juta rupiah.

Sejak wabah corona muncul, banyak lapangan kerja yang terpaksa tutup buku dan gulung tikar. Begitu pula yang terjadi dengan tempat kerja Polan di kota. Industri  rumah tangga berskala kecil milik bos Polan harus menyerah melawan krisis yang membuat keadaan perusahaan kecil itu pailit. Pabrik sandal home industry yang mereka kelola tidak sanggup lagi bertahan karena lesunya pemasaran dan melonjaknya harga bahan baku. Maka perlahan tapi pasti para pekerja dirumahkan. Polan terpaksa pulang kampung karena tak kuat lagi membiayai hidup di kota yang tanpa penghasilan.

Kembali ke desa ternyata tidak membuat beban hidup Polan menjadi ringan. Asih, istrinya yang sangat setia menerima keadaan mereka yang serba kekurangan itu, menyambutnya dalam keadaan sakit parah. Wanita itu telah bekerja keras membanting tulang ikut menafkahi kehidupan sehari-hari. Walau di desa cuma hidup berdua dengan Inah, anak semata wayang mereka, tetap saja kerja keras Asih tidak mampu mengangkat taraf hidup mereka menjadi layak. Yang penting mereka berdua bisa bertahan menyambung hidup hari demi hari tanpa harus mengemis belas kasihan orang lain.

Ternyata Asih telah menderita penyakit lambung yang sangat akut ditambah bronchitis yang tak kunjung diobati. Maka kepulangan Polan ke desa seolah menjadi hadiah terakhir bagi Asih dalam hidupnya. Tak lama mereka berkumpul kembali, Asih pun meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya diiringi tangis pilu penyesalan Polan yang tak pernah sanggup membawanya berobat karena tak punya uang sepeser pun.     

Kini tinggallah Polan dan Inah menapaki hari-hari suram mereka dalam suasana wabah corona yang kejam. Polan merasa sangat beruntung memiliki anak gadis yang rajin, pandai, dan penuh semangat. Umurnya memang masih kecil tetapi pikirannya dewasa dan bisa memahami kesulitan orang tua. Kematian ibunya tidak membuat Inah cengeng. Bahkan seringkali ia menghibur Polan yang masih dirundung duka. Hanya pernah sekali-kalinya anak itu sempat merengek minta dibelikan hape. Itu pun karena ia tak tahan lagi melihat hampir semua temannya sudah dibelikan hape android oleh orang tua mereka.

“Apih, boleh ga, Inah minta dibelikan hape?” kata Inah suatu hari.

“Hape yang seperti punya Apih, bukan?” Polan balik bertanya pura-pura tidak mengerti. Mendadak hatinya serasa tertusuk duri karena ingat hape “cinitnit”nya terpaksa dijual supaya ia punya ongkos pulang ke desa waktu itu.

“Bukan Apih, yang punya Apih kan hape “cinitnit”. Hapenya yang android Pih, yang ada WA-nya. Kata teman-teman, kita bisa baca tugas-tugas dari guru lewat WA itu, Pih,”  ujar Inah.

“Iya sayang, nanti Apih belikan yah, Tapi untuk sementara Inah bisa pinjam dulu atau ikut lihat ke teman tugas dari guru. Bagaimana, sayang?” bujuk Polan.

“Iya Apih, gapapa. Kalau Apih ga ada uang, ga usah beli. Biar Inah ikut nebeng ke Titi aja,” jawab Inah memberi solusi walau tak pandai menyembunyikan raut wajahnya yang tampak kecewa.

“Terima kasih, Inah. Semoga kalau sudah besar nanti, Inah jadi orang yang sukses ya, sayang,” kata Polan menutup percakapan seraya mengusap-usap kepala anak semata wayangnya.

Betapapun Polan tersenyum di hadapan Inah, hatinya justru menangis. Tangisan khas seorang lelaki. Tangisan tanpa air mata. Tangisan bisu yang membuat para lelaki dianggap keras dan tak punya hati oleh kebanyakan kaum hawa. Polan memendam tangisnya dalam-dalam. Air mata yang terpendam itu mengkristal menjadi tekad sekeras baja untuk mencapai suatu tujuan. Tujuannya cuma satu, memberikan Inah hadiah sebuah hape android agar gadis kecil itu bisa tersenyum bahagia. Agar anak semata wayangnya bisa mengerjakan tugas belajar dari guru secara daring tanpa harus merepotkan temannya lagi. Agar buah hati peninggalan istrinya itu tak perlu lagi bersusah-payah berjalan kaki ke rumah temannya demi mengerjakan rugas daring yang entah kapan akan berakhir. Apa pun yang akan terjadi, Polan bertekad harus bisa membahagiakan Inah dengan hape android seperti yang telah dimiliki teman-teman sekelasnya.

***

Siang itu begitu terik. Sang surya menatap wajah kota dengan sinar matanya yang sangat tajam. Suasana pasar begitu ramai. Orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing. Meski sangat ramai tetapi mereka saling asing dalam keramaian. Begitu pula dengan Polan. Sejak pasar mulai menggeliat, ia sudah bersiaga. Matanya laksana mata elang yang mengawasi toko-toko konter hape yang dibuka satu per satu. Ia memilih posisi di seberang jalan dari toko-toko itu.

Tiga jam lebih ia mondar-mandir. Duduk. Berdiri. Duduk. Berdiri lagi. Kemudian duduk lagi di tembok pinggir taman trotoar. Di tangannya sebuah edisi koran lusuh yang diambilnya sembarangan dari bekas alas tidur tunawisma yang tertinggal. Koran itu akan dijadikan alat kamuflasenya. Ia berhasil. Tak ada seorang pun yang peduli padanya sama sekali.

Kesempatan itu pun datang. Sebuah toko galeri hape yang paling besar dan lengkap di pasar itu mulai dirubung para calon pembeli. Tampaknya sang pemilik adalah orang keturunan Tionghoa. Namun yang sibuk melayani pembeli adalah para karyawannya. Polan mendekat mencari celah. Setelah ia yakin semua karyawan konter itu sedang sibuk, Polan melesak maju seraya menghamparkan koran “penemuan”nya di atas kaca konter. Tak ada yang hirau.

Ia bertanya sambil menunjuk-nunjuk sebuah hape android bermerk cukup terkenal yang terpampang di dinding pajang etalase. Karyawan yang ditanya menegok ke belakang dan balik bertanya untuk memastikan arah tunjukan Polan. Polan kembali menunjuk dengan bias ke arah yang sedikit berbeda. Namun kali ini dengan cukup nekad, ia memajukan badannya.

Ketika karyawan tersebut berbalik hendak mengambil hape android yang ditunjuk, seketika itu Polan memanjangkan tangan kanannya meraih kotak hape di bawah etalase kaca yang permukaannya telah ditutupinya dengan koran lusuh temuannya. Secepat kilat kotak hape sudah berpindah ke tangan kirinya. Koran lusuh pun kini berubah fungsi menjadi pembungkus kotak hape yang masih baru itu. Aman… pikirnya.

Karyawan itu sudah memegang kotak hape yang ditujuk Polan dan menanyakan Polan untuk membelinya. Sejenak Polan memegang-megang dengan tangan kanannya dan bertanya,

“Ini berapa?”

“Dua setengah,” jawab si karyawan.

“Aduh…kemahalan,” dengus Polan.

“Maunya berapa?”

“Sejuta, ya?”

“Ga bisa.”

“Kalau gitu, ga jadi aja,” jawab Polan sambil menggeser badannya untuk berbalik dan memutar menuju ke arah luar.

Akan tetapi mujur tak dapat diraih, naas tak dapat ditolak. Baru dua langkah Polan mengayunkan kakinya, tiba-tiba terdengar teriakan khas logat Tionghoa….

“Penculi…! Penculi…! Haiyaa… tangkep itu olang pake baju kaos melah! Olang pake baju kaos melah udah menculi hape di toko oeeyy. Penculi…! Penculi…!”

Mendengar itu Polan langsung menyadari bahwa dirinyalah yang dimaksud. Barulah dia insyaf telah gegabah tidak memperhitungkan CCTV yang terpasang di toko itu. Hormon adrenalinnya tiba-tiba melonjak naik secara drastis memecut urat sarafnya yang langsung bersiaga. Pusat kendali motoriknya segera memerintahkan sepasang kakinya berlari sekencang mungkin menjauhi sumber suara.

Namun terlambat… Suasana pasar yang ramai, yang orang-orang dibikin sibuk dengan urusan masing-masing, yang membuat orang asing merasakan alienasi, tenyata bisa sontak berubah menjadi kompak untuk memburu seorang pencopet atau penjambret. Kumpulan orang yang asalnya tenang di pasar itu seketika beralih wujud menjadi massa yang beringas. Mereka menjadi begitu bernafsu mengejar maling layaknya kawanan serigala memburu seekor celeng. Lebih-lebih kepada buruan yang tak mampu melawan karena sama sekali tak berbekal senjata.

Tanpa perlu makan waktu lama, Polan telah terkepung. Ia tak mungkin melawan, dan ia memilih untuk tidak melawan karena sadar bahwa dirinya memang salah. Namun di sisi lain ia pun tak sudi mengemis iba memohon ampun walau nyawanya berada di ujung tanduk. Semua ini dilakukannya demi Inah, anak tunggal yang sangat dikasihinya, Demi Inah yang sudah kehilangan kasih sayang ibunya. Demi Inah yang butuh hape android agar bisa belajar daring dan mengirimkan tugas lewat WA kepada gurunya. Perbuatan hina ini terpaksa dilakukannya karena kondisi ekonomi keluarganya yang miskin papa. Ia mencoba untuk tetap tabah menanggung segala risiko perbuatannya yang telanjur gelap mata. Ia tak ingin mengaduh sama sekali

Maka Polan hanya bisa memejamkan mata dan membaca istigfar. Dirasakannya hantaman demi hantaman yang sangat menyakitkan menimpa kepalanya. Mereka melampiaskan angkara murka tanpa belas kasihan. Rongga kepala Polan terasa berdentam-dentam diterjang gelombang pasang ratusan palu godam.

Kali ini Polan tak sanggup lagi menahan jatuhnya “pecahan-pecahan kaca” yang mengalir deras dari sudut kedua matanya. Bukan karena ia hendak memohon iba akibat kesakitan dihajar para algojo dadakan itu. Bukan juga karena mengharapkan belas kasihan dari para penyiksanya. Namun karena hatinya merasa sangat pilu mengingat nasib Inah yang mungkin sebentar lagi akan menjadi gadis kecil sebatang kara. Hati baja lelaki sederhana itu disergapi rasa sesal akibat keputusannya telah memilih jalan yang salah.

Perlahan rasa sakit itu berangsur-angsur menghilang.  Kesadarannya beranjak pergi melayang. Dengan ucapan yang lirih dan terbata-bata, Polan masih sempat mengucapkan kalimat yang akan menjadi penyelamat nasibnya kelak di alam baka, “Laa ilaaha illallah ….”

***

Temaran senja menggayuti desa di lereng perbukitan itu. Inah masih bersemangat siap menyambut ayahnya jika pulang nanti. Ayah yang tabah yang tadi pagi telah berjanji akan memberinya hadiah. Hatinya menebak pasti ayahnya akan memberi hadiah untuknya sebuah hape android.

Sejak asar Inah membereskan rumah bilik anyaman bambu berlantai ubin yang retak-retak itu dengan sapu ijuk yang mulai rontok tengahnya. Ia juga menyiapkan makan malam dengan menu istimewa yang bisa disajikannya, liwetan nasi aking dan lalap daun singkong pemberian tetangga ditambah sedikit garam.

Inah sangat mencintai Apih. Terlebih lagi sepeninggal Amihnya tercinta, hanya Apihlah satu-satunya orang tempat mengadu segala kesedihannya. Bagi Inah, lebih baik berhenti sekolah daripada harus ditinggal Apih merantau lagi ke kota. Inah hanya ingin menjadi anak solehah yang tidak pernah menyusahkan Apih. Inah hanya ingin selalu bisa membuat Apih tersenyum. Itulah cita-cita sederhana tetapi begitu luhur yang senantiasa bersemayam di lubuk hatinya yang paling dalam.

Gadis kecil itu tak tahu bahwa ayahnya yang tadi pagi pamit untuk pergi ke pasar di kota, tak akan pernah kembali lagi untuk selama-lamanya. Inah tak akan pernah menerima hadiah hape android sebagaimana yang dijanjikan Polan. Kepergian Polan demi membawakan hadiah hape android untuk Inah, harus ditebus oleh gadis kecil malang itu dengan menjadi seorang anak yatim piatu yang hidup sebatang kara.***

Julius Jose Rizal, alumnus S-1 prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, kini menjadi guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMPN 1 Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Respon (151)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *