Oleh Herry Supryono
MENGINJAK usia ke-75 tahun, TNI sebagai institusi yang mengemban tugas suci melindungi rakyat, menjaga keamanan, dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI terus berbenah. Begitu juga Polri yang mengemban tugas memelihara keamanan, dan ketertiban masyarakat, terus memperbaiki diri.
Namun di tengah geliat upaya kedua institusi keamanan negara ini untuk terus berubah ke arah ideal, rakyat Indonesia masih saja disuguhi praktik kekerasan di antara kedua korps bersenjata republik ini. Terbaru, penyerangan kedua kalinya markas Polsek Ciracas, Jakarta Timur oleh sejumlah oknum TNI AD pada Sabtu (29/8/2020).
Gedung Mapolsek Ciracas dibakar dan dirusak, begitu juga dengan kendaraan yang diparkir di sekitar gedung, dan mengakibatkan beberapa orang terluka. Buntutnya, 50 personil TNI ditahan. Sebelumnya bentrok berdarah TNI-Polri juga terjadi di Kabupaten Membramo Raya, Papua, Minggu (12/4/2020) yang menewaskan tiga personel polisi.
Seperti ditulis Marsma TNI (Pur) Herriyanto di Angkasa Cendekia, Edisi April 2020, selama 7 tahun sejak ditetapkannya TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, yaitu tahun 2002-2008, tercatat telah terjadi 400 kasus bentrok fisik antara TNI dan Polri.
Bentrok fisik ini dilakukan perorangan bahkan melibatkan kesatuan. Jumlah kerugian akibat bentrok fisik ini menurut data Mabes TNI, personel TNI-Polri yang tewas 23 orang, terluka 387 orang, 7 markas, 42 kendaraan dan 1 senjata api dirusak, 6 warga sipil tewas, dan 65 terluka.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menyebutkan sejak 2005 hingga 2012 telah terjadi 26 kali bentrok TNI-Polri yang menewaskan 11 orang, tujuh dari Polri dan empat dari TNI, serta melukai 47 aparat TNI-Polri.
Faktor Pemicu Bentrokan
Menurut Marsma TNI (Pur) Herriyanto, faktor pemicu bentrokan TNI-Polri yang kebanyakan terjadi di antara anggota bawahan itu, paling dominan adalah ketersinggungan perasaan atau kehormatan. Sementara Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, seorang pengamat intelijen, dalam artikel berjudul “Bentrok Anggota TNI-Polri Bukan Hanya Didamaikan Tapi Dicari Akar Masalahnya” di situs ramalanintelijen.net, mengatakan faktor pemicu bentrokan TNI-Polri paling dominan adalah semangat Esprit de Corps personel kedua institusi keamanan tersebut terutama yang berpangkat rendah.
Prayitno Ramelan menuturkan, Esprit de Corps, jiwa korsa, setia kawan atau kebanggaan pada korps itu sendiri sengaja ditanamkan kepada setiap personel militer dan polisi yang digembleng dalam sebuah lembaga pendidikan untuk mempersiapkan mereka menghadapi musuh yang pilihannya hanya hidup atau mati.
Di sisi lain penanganan perkara yang tidak memuaskan oleh Polisi, disinyalir sebagai faktor berlarut-larutnya bentrokan TNI-Polri. Masih banyak faktor lain yang dianggap menjadi pemicu bentrokan TNI-Polri selama ini di antaranya kesenjangan kesejahteraan, arogansi militer, dendam dan yang lainnya.
Kesenjangan Kesejahteraan TNI-Polri
Perbedaan kesejahteraan TNI-Polri banyak dituding sebagai faktor pemicu bentrokan dua korps ini. Dalam arti bahwa salah satu institusi lebih sejahtera daripada yang lainnya. Jika anggapan tersebut benar, maka dapat dipastikan akan memicu kecemburuan.
Akan tetapi menurut PP No. 16 tahun 2019, dan PP No. 17 tahun 2019 seperti dikutip detiknews.com dalam artikel berjudul “Gaji-Tunjangan TNI dan Polri Sama, di Mana Letak Kesenjangannya?”, gaji mulai dari pangkat tamtama hingga perwira tinggi di TNI maupun Polri, jumlahnya sama.
Tamtama di TNI-Polri mendapat gaji pokok sebesar Rp. 1.643.500, hingga Rp. 2.960.700, bintara Rp. 2.103.700, hingga Rp. 4.032.600, dan perwira tinggi dengan gaji pokok sebesar 3 Rp.3.290.500, hingga Rp. 5.930.800 untuk jenderal, laksamana, marsekal atau jenderal polisi dengan masa bakti 32 tahun.
Artinya tidak ada perbedaan gaji di antara personel TNI dan Polri. Perkara ada pendapatan lain di luar yang ditetapkan konstitusi dalam bentuk gaji, hal itu di luar pembahasan. Masalah yang lebih penting untuk diperhatikan adalah potensi penyalahgunaan isu sensitif ini sebagai pemecah belah atau adu domba dua korps penjaga keamanan negara ini.
Bayangkan saja jika kedua institusi penjaga keamanan bersenjata negara ini terus berselisih, selain akan menambah kerugian jiwa dan materi dari keduanya, rakyat juga dirugikan, bahkan mereka yang lebih besar menanggung kerugian. Senjata yang seharusnya digunakan melindungi negara dan rakyat, dipakai untuk menembak sesama aparat keamanan, jelas rakyat yang paling dirugikan.
Maka dari itu, pernyataan bahwa kesejahteraan salah satu korps di bawah korps lainnya, apalagi tanpa didukung data, dan fakta, alih-alih memberikan solusi atau penyelesaian masalah, justru lebih bersifat memanas-manasi dan menanamkan benih konflik baru. Seandainya memang terdapat perbedaan kesejahteraan antara TNI-Polri, maka tugas wakil rakyat, dan pemerintah untuk memperbaikinya.
Presiden Jokowi sendiri dalam Rapim Kemenhan, TNI dan Polri tahun 2020 (23/1/2020) menyoroti kesejahteraan prajurit, dan ia meminta rencana strategi untuk kesejahteraan prajurit baik itu perumahan, kesehatan maupun tunjangan. Pemerintah, katanya, akan terus berusaha meningkatkan SDM, kesejahteraan prajurit dan pensiunan TNI.
Jiwa Korsa atau Jiwa Rakyat?
Sebenarnya prajurit TNI atau Polri sudah digembleng dengan pendidikan kedisiplinan yang tinggi. Sikap dan perilaku mereka harus patuh pada Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan lainnya. Tentu saja jika melanggar mereka akan menghadapi hukuman berat disiplin militer. Namun mengapa bentrok fisik TNI-Polri seolah tak ada habisnya.
Jujur saja sebagai warga negara, kita miris dan bahkan cemas saat alat negara untuk menjaga keamanan saling serang. Kita akan mempertanyakan keamanan diri, keluarga, masyarakat dan negara kita. Segala dalih kesenjangan kesejahteraan, kecemburuan, dan dendam lama yang dianggap memicu berlarut-larutnya bentrokan TNI-Polri bisa diselesaikan secara damai, dengan cara yang lebih rasional, tidak melulu mengedapankan otot dan emosi.
Semua faktor pemicu di atas sepertinya tidak mungkin berujung dengan bentrok fisik jika semangat Esprit de Corps atau jiwa korsa prajurit tidak didahulukan. Bukan keliru jika sejumlah pejabat militer mengatakan ada yang salah dalam pendidikan militer. Karena selama ini terbukti sikap, dan pengambilan keputusan di tataran prajurit hampir selalu dilakukan berdasarkan emosi, dan semangat jiwa korsa, tak peduli dia berada pada posisi benar atau salah.
Sekali lagi kekhawatiran yang muncul adalah, kemungkinan fenomena semacam ini dimanfaatkan politisi oportunis untuk tujuan tertentu misalnya mengacaukan negara demi kepentingannya. Karena tidak bisa dipungkiri selama ini tampak ada pihak yang seolah diuntungkan dengan tidak akurnya dua korps penjaga keamanan negara ini.
Sudah saatnya dilakukan perubahan dalam kurikulum pendidikan militer kita, tanpa mengesampingkan kedisiplinan, dan solidaritas, kesadaran “jiwa rakyat”, bukan hanya jiwa korsa harus ditanamkan pada bibit-bibit calon anggota TNI dan Polri. Kesadaran bahwa yang lebih utama dari rasa setia kawan, dan kehormatan korps, adalah kepentingan rakyat, dan negara. Kesadaran bahwa dia adalah bagian dari rakyat, berasal dari rakyat, dan bekerja untuk rakyat.***
Artikel ini terpilih sebagai Juara 1 Kategori Karya Tulis dalam Perlombaan Peringatatan HUT TNI ke-75 2020 yang diselenggarakan KBRI Tehran dan Athan RI Tehran.
Herry Supryono, pemerhati masalah sosial. Kini tengah berjalan-jalan di Timur Tengah.