Oleh Catur Nurrochman Oktavian, M.Pd.
SEJAK Indonesia merdeka, dunia pendidikan nasional telah berjalan selama puluhan tahun. Bahkan pendidikan di Tanah Air sebenarnya telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, meski dilakukan secara terbatas. Selama puluhan tahun itu, dunia pendidikan kita sudah mengalami pergantian kurikulum berkali-kali. Namun secara umum, tetap tidak mengubah wajah dunia pendidikan kita. Posisi guru berceramah berdiri di depan, siswa duduk di belakang mencatat dan mendengarkan, sepertinya masih menghiasi sebagian besar wajah dunia pendidikan kita. Tanpa kegiatan tersebut, sepertinya peserta didik tidak dikatakan belajar. Budaya belajar hanya satu arah dan guru hanya menggunakan satu-satunya sumber belajar seperti buku teks dan Lembar Kerja Siswa (LKS) sebagai “andalan”, masih mewarnai dunia pendidikan kita saat ini. Mengapa begitu? Apa sebenarnya yang mewarnai pemahaman kita semua, sehingga fenomena di dunia pendidikan, umumnya masih seperti digambarkan pada pernyataan di atas? Mengapa fenomena ini sepertinya terjadi kian berlarut-larut hingga saat ini?
Mengapa belajar tidak mulai dibangun dari pondasi dasar dunia pendidikan yaitu dari kebiasaan membaca? Robert Farr (dalam Satria Dharma, presentasi Kagum 26 Maret 2016) mengatakan bahwa, “membaca adalah jantungnya pendidikan”. Begitu pentingnya membaca dalam dunia pendidikan, maka lulusan AMS sekolah Belanda dulu, mewajibkan muridnya membaca 25 judul buku hingga lulus. Dampaknya dapat kita lihat pada tokoh-tokoh pendiri bangsa yang pernah “mencicipi” sistem pendidikan sekolah Belanda dulu, yang memiliki kekuatan intelektual yang baik seperti tertuang dalam berbagai karya tulis mereka. Lalu bagaimana dengan sistem pendidikan saat ini? Berapa judul buku yang dibaca oleh siswa dan guru kita selama setahun? Menurut penelitian Taufik Ismail ke beberapa SMA di berbagai negara tahun 1997, didapatkan hasil yang mengejutkan, bahwa dari 13 negara yang ditelitinya, ternyata siswa Indonesia menduduki peringkat paling bawah dengan kewajiban membaca 0 (nol) buku. Menyedihkan ya? Sehingga ada istilah bahwa siswa kita rabun membaca dan pincang menulis. (Satria Dharma, Presentasi KAGUM, Maret 2016)
Mengapa dalam dunia pendidikan kita saat ini, peserta didik tidak dibangun pondasi dasarnya terlebih dahulu, yaitu kesukaan dan minat belajar melalui membaca buku? Padahal buku adalah jendela ilmu pengetahuan (tagline yang sudah terlalu sering saya baca!). Dari buku kita dapat menemukan berbagai informasi dan pengetahuan, melalui buku kita dapat menumbuhkan serta membentuk karakter dan kepribadian seseorang, dan melalui buku pula peradaban suatu bangsa itu terbangun. Kemajuan peradaban suatu bangsa tidak terlepas dari bagaimana generasi bangsa tersebut mencintai buku.
Konon, bangsa Indonesia termasuk bangsa yang malas membaca, apalagi menulis buku. Anak-anak Indonesia sedari kecil lebih senang berjam-jam menonton televisi dan memainkan gawai, dibandingkan membaca buku. Kenyataan ini memperlihatkan sebenarnya telah terjadi persoalan serius yang mendera bangsa ini. Rendahnya pengetahuan masyarakat yang diakibatkan karena rendahnya kemampuan membaca. Pengetahuan masyarakat yang rendah akan berakibat pula pada rendahnya produktivitas dan standar kehidupan suatu masyarakat. Dalam membangun peradaban suatu bangsa, maka hal ini menjadi sebuah permasalahan yang serius. Demikian pula dengan kemampuan menulis. Kemampuan membaca yang rendah akan berhubungan pula dengan rendahnya produktivitas menulis. Dalam sebuah surat kabar harian lokal Bogor (edisi 8/3/2016) dimuat tentang rendahnya produktivitas para akademisi Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Indikatornya dilihat dari jumlah publikasi ilmiah pada jurnal-jurnal internasional. Sungguh miris dan memilukan, mengingat Malaysia konon di tahun 1970-1980, banyak belajar dari Indonesia dengan mendatangkan guru/dosen dari Indonesia untuk mengajar di sana.
Adakah yang salah dalam sistem pendidikan kita? Menurut hemat penulis, pendidikan Indonesia telah menghilangkan “jantungnya dari suatu pendidikan” yaitu membaca. Budaya membaca yang rendah ini mungkin bukan kali ini saja, mungkin sudah sejak zaman saya sekolah SD sekitar tahun 80-an. Namun ketika zaman itu, yang masih saya ingat, bacaan yang menarik masih mudah ditemui seperti Tintin, Asterix, Lucky Luke, Lima Sekawan, Sapta Siaga, Trio Detektif, dan lain sebagainya. Meski produk kreativitas impor dengan setting dan tokohnya pun tidak menggambarkan Indonesia, namun kental unsur-unsur pendidikan seperti toleransi, kerja sama, berani membela kebenaran dan keadilan, serta sikap positif lainnya. Dan bahan bacaan produk lokal yang cukup menarik untuk menumbuhkan minat baca anak-anak SD adalah karya RA Kosasih; Mahabrata, Baratayudha, Ramayana mudah dijumpai pada toko-toko buku dan taman bacaan masa itu.
Namun bagaimana dengan keadaan saat ini? Gempuran teknologi smartphone berbasis sistem android yang begitu deras nampaknya mengalihkan budaya masyarakat ke pascaliterasi. Padahal Indonesia belum masuk budaya literasi sepenuhnya, namun sepertinya meloncati dari budaya praliterasi langsung ke pascaliterasi seperti yang terjadi saat ini. Kebergantungan anak-anak pada gawai nampaknya tidak terelakkan saat ini, menunjukkan bukti bahwa anak-anak masa kini yang belum memiliki budaya literasi “telah meloncat” ke era budaya digital, yang kelihatannya modern dengan lebih banyak melihat dan mendengar, namun tanpa budaya membaca sebenarnya mereka tetap tidak modern.
Menghadapi kenyataan tersebut, maka banyak upaya dari masyarakat saat ini dan tentunya juga pemerintah untuk “kembali” menumbuhkan budaya literasi. Karena kemajuan peradaban suatu bangsa diyakini berhubungan sangat erat dengan budaya literasi yang dikembangkan oleh masyarakatnya. Tidak ada kata terlambat bagi negara dan bangsa kita untuk memulainya, meskipun di negara-negara maju sudah jauh melewati era ini.
Bagaimana cara memulai membudayakan membaca?
Pertama, mulailah dari diri sendiri. Sadarkan diri dengan membaca secara rutin. Tidak usah berlama-lama dahulu. Mulailah dengan sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Jadikan membaca sebagai suatu kebutuhan, dan harus ada buku yang dapat dibaca ketika waktu luang kita, misalnya; saat sedang menunggu seseorang, saat dalam perjalanan, atau pada berbagai kesempatan yang memungkinkan kita membaca. Budaya serupa sering dilakukan oleh masyarakat di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Australia, sehingga tidak heran jumlah buku yang diterbitkan di negara-negara tersebut, jauh melampui jumlah penerbitan buku di tanah air.
Kedua, mulailah ajak lingkungan sekitar kita untuk turut serta membudayakan membaca. Mulailah di lingkungan terdekat yaitu keluarga. Biasakan memberi hadiah buku-buku bacaan kepada anak-anak kita, Ajaklah “wisata” ke toko-toko buku (di mal pun ada). Ajaklah anak anak “having fun” dengan berburu buku-buku bacaan di perpustakaan atau toko buku. Jika memungkinkan, buatlah perpustakaan pribadi di rumah Anda. Kebiasaan membaca di keluarga dimulai dari ayah dan ibu sebagai role model utama. Membaca koran di pagi hari, membaca buku-buku di tengah waktu santai keluarga, merupakan contoh yang sangat baik dari orang tua dalam menularkan budaya membaca kepada anak-anaknya di rumah.
Ketiga, gerakkan masyarakat di sekitar baik di sekolah maupun lingkungan sekitar rumah untuk membudayakan membeli dan membaca buku. Dan masyarakat harus disadarkan bahwa buku adalah karya intelektual yang harus dihargai dengan membeli yang asli dan bukan bajakan atau fotokopian. Karena memfotokopi tanpa izin penulisnya atau membeli buku bajakan adalah suatu pelanggaran hak cipta. Hargai hak cipta orang lain dengan membeli karya orisinal si penulis, agar si penulis semakin bergairah menghasilkan karya-karya selanjutnya. Untuk melakukan perubahan agar masyarakat tergerak untuk membaca tentu tidak dapat sendirian. Harus bergandengan tangan bekerja sama dan membangun koalisi antarkomponen agar peningkatan budaya baca terjadi. Kerja sama dengan perpustakaan daerah atau komunitas-komunitas literasi, pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) mengadakan kegiatan-kegiatan yang menarik masyarakat untuk membaca misal festival dongeng, wisata buku, membaca massal dan lain-lain.
Keempat, beri hadiah buku-buku bacaan pada anak didik kita di kelas setiap kali mereka berprestasi. Dan doronglah anak didik kita untuk berkarya. Bukukan karya mereka seperti puisi, cerpen, laporan pengamatan, dan aneka bentuk tulisan ringan mereka, agar anak didik kita termotivasi. Jangan mengharapkan hasil karya anak didik kita sesempurna, seperti layaknya karya-karya orang dewasa, oleh karena itu hargai proses mereka dalam berkarya, sehingga mereka akan termotivasi terus untuk berkarya yang jauh lebih baik. Guru pun harus memberikan contoh dengan menjadi role model bagi anak didiknya dengan membaca banyak buku dan menghasilkan karya tulis yang dibukukan, sehingga anak didik akan bangga dan termotivasi menjadi kreatif seperti gurunya.
Kelima, sisihkan dana setiap bulannya (semampunya) untuk membeli buku-buku bacaan. Dengan membeli buku-buku secara rutin, sebenarnya tanpa kita sadari, kita telah menginvestasikan hal yang penting untuk pengembangan diri kita. Jangan berpikir untung rugi dalam mengembangkan diri. Sekali lagi, jangan hitung-hitungan soal untung rugi untuk pengembangan diri. Apalagi bagi guru yang sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi. Dana tersebut memang menjadi hak sepenuhnya untuk digunakan apa saja oleh si penerima tunjangan, namun harus ada kesadaran dari seorang guru untuk menyisihkan anggaran tunjangan sertifikasi untuk pengembangan diri yang sangat menunjang dalam pelaksanaan tugas-tugas keprofesionalannya.
Kelima upaya tersebut di atas, semoga dapat membantu menumbuhkan geliat membaca bangsa kita, dan dalam melaksanakannya harus konsisten dan tidak hanya euforia sesaat, namun akhirnya mati suri. Rutin sedikit demi sedikit jauh lebih baik daripada banyak dilakukan hanya di awal namun berhenti bahkan hilang sama sekali.
Saya belajar memulainya dari diri sendiri sebagai guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SMPN 1 Kemang. Ketika mengajar IPS, saya sering mengajak peserta didik untuk belajar di perpustakaan. Mencari sumber-sumber referensi dari berbagai bacaan di luar buku teks. Peserta didik saya ajak untuk mencintai perpustakaan sekolah. Sumber bahan bacaan yang terdapat di perpustakaan harus dapat dimanfaatkan guru dan peserta didik sebagai sumber belajar. Tidak harus bergantung hanya semata pada buku teks, apalagi hanya pada lembar kerja siswa (LKS) terbitan penerbit luar sekolah. Peserta didik yang saya ajar sangat senang bila diajak belajar IPS ke perpustakaan. Terkadang jika beberapa waktu pembelajaran tidak berlangsung di perpustakaan, mereka akan bertanya, “Pak apakah hari ini kita belajar ke perpustakaan?”. Sebagai guru sungguh bahagia bila melihat anak-anak senang membaca buku-buku baik di kelas maupun di perpustakaan. Peran perpustakaan sangat penting dalam menumbuhkan budaya literasi.
Harus ada upaya memelihara komitmen dalam diri dan menjadikan membaca sebagai suatu kebutuhan, membaca sebagai jantung pendidikan yang mengalirkan “darah segar” pengetahuan ke semua lini. Apa yang terjadi, jika jantung dalam tubuh kita berhenti? Maka saat itulah kematian menghampiri. Dan jika membaca tidak lagi menjadi suatu prioritas penting dalam dunia pendidikan, maka tunggulah saatnya dunia pendidikan itu “layu dan akhirnya mati”. Saya dan juga Anda tentunya tidak berharap hal tersebut terjadi bukan? Lalu mengapa kita berdiam diri dan tidak bertekad mengubahnya? Ayo membaca!***
Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Pengurus Besar PGRI.