Memotret Terjemah: Menghadirkan Wacana Lokal

Oleh Imam Sahal Ramdhani

481165211 10228238461175487 4477610640706189837 n
Cover buku “Terjemahan Al-Qur’an Kaum Reformis”. (Foto: Imam Sahal Ramdhani)

NAMA Jajang A. Rohmana sering terselip dalam perbincangan begawan-begawan kesarjanaan, khususnya kesarjanaan Studi Al-Qur’an di Indonesia. Namanya menjadi penanda salah satu lokus turunan Studi Qur’an: Studi Al-Qur’an Sunda. Kiranya buku “Terjemahan Al-Qur’an Kaum Reformis” ini semakin mengukuhkan persepsi tersebut. Lewat bukunya ini, Jajang berusaha mewujudkan mimpinya untuk menghadirkan produk keilmuan yang lahir di Tanah Pasundan ke pasaraya global. Usahanya ini bukanlah sesuatu yang tercermin dari paribasa Sunda “Ngalanglang jagat tanpa suku, ngalayang tanpa jangjang” (berkelana ke seluruh dunia tanpa kaki, terbang tanpa sayap). Justru meskipun usaha-usaha semacam ini terbilang susah, Jajang justru dengan lihai mewujudkannya.

Usaha itu terwujud melalui penulisan buku ini. Sebagaimana penuturannya, buku ini berusaha memotret kontribusi terjemahan Al-Qur’an dalam aktivitas dakwah kaum reformis di Jawa Barat serta dampaknya terhadap bentuk terjemahan Al-Qur’an pada awal abad ke-20 (hal. 3). Cita tersebut tertampil lewat bahasan atas jejak genealogi Gerakan Reformis di Jawa Barat. Melalui pendekatan sejarah intelektual dan analisis wacana kritis yang ditawarkan Fairclough, Jajang secara apik menelusuri gagasan Islam Reformis dari Timur Tengah ke Indonesia (hal. 35-43). Ia menerka jangkar awal mula Gerakan reformis itu berasal dari gagasan reformisme Islam di Mesir dan Wahabisme di Hijaz (hal. 38). Semisal gagasan-gagasan yang ditawarkan Muhammad bin Abd Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Gagasan dan gerakan ini kemudian mengalir ke Asia Tenggara melalui sekumpulan orang Melayu dan Hadrami kelahiran Singapura. Lalu perlahan masuk ke Padang (Sumatra) dan Jawa dalam berbagai bentuk Gerakannya; Jami’at Khair, Sekolah Adabiyah Padang, Persyarikatan Oelama, Serikat Dagang Islam, Muhamadiyah, Al-Irsyad, Sumatra Tawalib, dan PERSIS.

Lebih jauh lagi, Jajang berusaha memetakan tipologi dan karakteristik Gerakan Islam Reformis di Jawa Barat (hal. 44-69). Ia merangkai pemetaan kemunculan PERSIS, MAS Garut, Muhammadiyah di Jawa Barat, dan Persatuan Umat Islam (PUI). Tak hanya berfokus pada firqah gerakannya semata, Jajang juga menganalisa tokoh-tokohnya. Ia menyajikan A. Hassan, Muhammad Zakaria, Yusuf Taujiri, E. Abdurahman, E. Abdullah, Mh. Anwar Sanusi, Mhd. Romli, Moh. E. Hasim, Ahmad Sanusi, sampai Abdulchalim Iskandar. Sayangnya Jajang melewatkan salah satu tokoh gerakan reformis di daerah Ciamis selain E. Hasim, yaitu KH. Irfan Hielmy. Padahal arus gagasan reformis Kyai Irfan terbilang signifikan. Saya menduga karena Kyai Irfan tidak terafiliasi ke dalam keempat gerakan di awal.

Terjemahan Al-Qur’an Kaum Reformis: Tafsir Al-Foer-qan, Gajatoel Bajan, Nurul Bajan, dan Ayat Suci Lenyepaneun

Jajang menemukan banyak fakta menarik. Salah satunya terkait produktivitas tafsir dan terjemahan Al-Qur’an yang diproduksi kaum reformis. Menurutnya kemunculan karya-karya tersebut tumbuh subur di Jawa Barat dikarenakan implikasi dari massifnya Gerakan reformis. Misalnya kemunculan Tafsir Al-Foer-qan karangan A. Hassan menjadi penanda Gerakan PERSIS. Begitu juga dengan Gajatoel Bajan yang ditulis oleh Mh. Anwar Sanusi yang menjadi penanda Gerakan MAS Garut. Begitu juga dengan Nurul Bajan yang juga ditulis pentolan MAS Garut yaitu Mhd. Romli.

Secara mendalam Jajang menelaah ragam versi dari Tafsir Al-Foer-qan baik yang versi Melayu dan Sunda. Ia menemukan motif alih bahasa ke bahasa Sunda dilatarbelakangi keinginan gerakan reformis memasuki alam pikir masyarakat Sunda khususnya di Jawa Barat (hal 6). Jajang juga menemukan aktor-aktor penting yang mendanai proyek penulisan, penerjemahan, produksi percetakan dan distribusi berlatar belakang para pengusaha (hal. 148). Lewat penjelasannya, saya kira tesis Ahmet T. Kuru (dalam Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan; KPG 2020) yang menyatakan adanya pola relasi antara ulama/akademisi muslim dengan kalangan pengusaha benar adanya.

Lebih lanjut lagi, Jajang melakukan eskavasi atas temuan-temuan watak ideologi reformis yang terkandung di dalam Tafsir Al-Foer-qan. Kata kunci yang ia temukan misalnya isu penolakan atas tradisi bid’ah (QS. 2: 110), menolak taklid (QS. 2:170), dan menolak gagasan tasawuf filosofis (QS. 2: 156) (hal. 152-163). Jajang merajut berbagai ayat yang menunjukan kecenderungan itu. Temuan-temuan tersebut menjadi fondasi atas watak pikir ideologi reformis. Kiranya asumsi Jajang di awal terbukti dengan tabel-tabel yang disajikannya.

Pergeseran Terjemahan Al-Qur’an: Antara Pergulatan Ideologi dan Peneguhan Identitas/Otoritas

Sebagaimana klaimnya di awal, Jajang berharap risetnya berkontribusi pada sejarah pergeseran literasi kaum Muslim di Indonesia pada awal abad ke-20 (hal. 9). Ia menjawabnya dengan jelas dan gamblang pada bagian pergeseran literasi terjemahan (hal. 177-200). Setidaknya ada beberapa pola pergeseran: dari tulis tangan ke cetak, dari huruf jawi dan pegon ke latin. Menurutnya pergeseran ini tak hanya berkaitan dengan upaya penyebaran penyebaran ideologi reformis, namun menjadi peneguhan identitas dan otoritas PERSIS di Jawa Barat. Sebagaimana visinya, PERSIS ingin pengikutnya berpikir independen tanpa terikat otoritas guru dan penerjemah (hal. 7). Pergeseran ini juga menunjukan adanya pergeseran budaya dalam tingkat literasi di era modern: dari tradisi tulis tangan ke tradisi cetak, dari huruf jawi/pegon ke latin, dari terjemah kata ke terjemah per kalimat. Dengan tegas Jajang menyatakan “kaum reformis mendorong penerbitan buku-buku cetak keislaman sebagai bentuk “penentangan” terhadap manuskrip tradisional yang dikembangkan di pesantren tradisional sebagai tanda kemodernan”. Hal-hal ini kiranya menjadi bukti pula atas adanya pergulatan ideologi reformis di Jawa Barat.

Pergulatan wacana antara kaum reformis dengan kalangan tradisional (meminjam bahasa Jajang), kiranya juga tak bisa dilepaskan dari kelindan pergulatan zaman. Kaum reformism mau tak mau juga berusaha berlayar di tengah arus modernism. Sebagaimana Teori Islam Diskursif yang ditawarkan Talal Asad, terlihat kaum reformis berada pada dua bandul gerak ganda. Pada satu sisi mereka berusaha bertahan dengan identitas dan ingatan atas masa lalu, namun di sisi lain mereka berusaha mengikuti kemajuan zaman. Jelaslah perkataan Abed al-Jabiri sebagaimana dikutip Jajang “Menjadi modern tidak harus menjadi sekular dan ter-Baratkan, di tengah semakin turunnya relevansi agama”.

Selain dua poin besar di atas, saya menemukan insight-insight yang signifikan di buku Kang Jajang. Pertama, langkah-langkah Kang Jajang ini (dalam perspektif saya) menjadi bukti nyata dari gerak dekol. Tanpa terjebak pada labelisasi dan stigmatisasi, Jajang menghadirkan Weltanschaung-nya kaum reformis. Gerak dekol juga selalu melakukan advokasi atas kelompok-kelompok atau wacana minor. Menurut saya, wacana tafsir atau terjemahan Sunda merupakan bagian dari wacana yang ter-lian-kan. Wacana ini juga teralienasi karena menjadi wacana Islam pinggiran.

Kedua, buku ini sangat penting untuk dibaca. Bukan hanya untuk peminat studi terjemahan Al-Qur’an semata, namun bahkan bagi penduduk dan warga Sunda yang bahkan tidak mengenal mata rantai historisitas perkembangan Islam di Tanah Pasundan. Lewat buku ini, terlihat betapa kaya dialektika dan perseteruan di Jawa Barat. Watak dan gerak resisten yang begitu kental memang tak nampak di permukaan, namun riset Jajang menampilkan fenomena gunung es yang luar biasa.

Ketiga, formulasi “resepsi translasi” (kalau boleh saya menyebutnya begitu) menjadi hal yang sangat menjanjikan untuk terus dikembangkan. Pendekatan Jajang bisa dikawin-mawinkan dengan pendekatan Ronit Ricci, Johanna Pink, dan Annabel Gallop (terkait Textual Microcosms misalnya). Ke depan, kesarjanaan lokal (Jajang, Fadhli Lukman, dan mungkin Muhammad Dluha Luthfillah) yang serius meneliti lokus “terjemahan”, saya kira akan terus menjadi suar secara global.

Keempat, buku ini mengandung banyak referensi yang menarik. Beberapa yang perlu saya “stabilo” tebal: Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis, London, 1995, Moch Nur Ichwan Moch Nur Ichwan, “The End of jawi Islamic Scholarship?”, Moriyama Mikihiro, Semangat Baru…, Ronit Ricci, “Reading between The Lines”, Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah, Fadlil Munawwar Manshur, “Raudlatul ‘Irfan, Florian Zemmin, Modernity in Islamic Tradition.

Kiranya ulasan ini masih baru secuil dari banyak hal menarik di buku tersebut. Masih banyak hal yang belum terjamah di buku tersebut. Silahkan segera baca langsung ke buku aslinya. ***

Imam Sahal Ramdhani, Dosen di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.