Mengapa tak Perlu Silau dengan Kemajuan Bangsa Lain?

FOTO ARTIKEL 29
(Ilustrasi: Islampos.com)

Oleh Herry Supryono

DECAK kagum seseorang saat menyaksikan kemegahan sesuatu adalah hal lumrah, wajar, dan manusiawi. Misalnya kita akan terkagum-kagum saat melihat bangunan megah, luas, dengan beraneka ragam ornamen indah yang menghiasinya.

Namun kodrat manusia mampu melihat kemegahan dari perspektif lain yang tidak melulu terpaku pada tampilan lahir semata, tapi masuk menembus relung-relung materi, menuju makna yang lebih dalam.

Suatu waktu Ali Syariati, intelektual Iran yang bermazhab sosialisme-relijius itu pernah berwisata ke Mesir bersama rombongan dari negaranya. Saat mengunjungi piramida agung, semua anggota rombongan berdecak kagum, terheran-heran dan takjub menyaksikan bangunan raksasa yang ada di hadapannya.

Mereka berkata, sungguh luar biasa bagaimana mungkin bangunan sebesar, dan serumit ini dibangun di masa lampau yang belum dikenal teknologi canggih. Bagaimana para tukang itu memindahkan batu-batu berukuran besar dari satu tempat ke tempat lain.

Lebih dari itu, bagaimana cara menyusunnya sehingga membentuk sebuah bangunan megah piramida, yang konon di dalamnya terdapat banyak jalan rahasia. Tentu orang akan tertegun memikirkan semua itu. Memang luar biasa piramida ini.

Tapi saat semua orang menengadahkan kepala melihat piramida yang tinggi itu, Ali Syariati jongkok di bawah tanah dengan kepala tertunduk. Apa sebab? Saat pemandu rombongan melihat Syariati, ia kemudian menegurnya, dan bertanya, bagaimana pendapat Anda tentang piramida agung ini tuan? Apakah Anda tidak kagum menyaksikannya?

Sontak Syariati bangkit, dan menjawab, iya memang megah, tapi saya sedang memikirkan seberapa banyak buruh, dan tukang yang harus tewas, dan menderita, dan seberapa besar beban yang mereka tanggung karena harus mengerjakan pekerjaan superberat di masa itu, yaitu membangun piramida agung Anda.

Hasil penelitian para ilmuwan dan arkeolog, menyatakan bahwa piramida memang dibangun oleh para buruh pekerja, berdasarkan bahan baku dan asal bahan bakunya. Di dalam piramida ditemukan lubang-lubang kecil berisi tulang belulang manusia yang diyakini milik para buruh.

Seperti dikutip Republika, 11 Mei 2017, pada 11 Januari 2010, otoritas arkeologi Mesir menunjukkan makam para pekerja Giza. Makam tersebut berasal dari dinasti ke-4 Firaun (2575-2467 SM), tepat saat Piramida Giza dibangun.

Pada 1990, Kepala Arkeologi Mesir, Dr. Zahi Hawass, mengemukakan, para pekerjalah yang membangun piramida tersebut. Mereka adalah buruh upah yang didatangkan dari negeri lain, tempat asal bahan baku, seperti Libanon.

Pada saat yang sama, kita pasti akan terkagum-kagum saat menyaksikan kemegahan budaya dan peradaban Barat sekarang. Negara-negara dengan pendidikan, teknologi, ilmu pengetahuan, dan demokrasi yang tinggi jauh melampaui kita. Negara yang disebut negara maju, untuk membedakannya dengan negara dunia ketiga atau negara berkembang.

Bagaimana tidak, teknologi yang mereka ciptakan sepertinya telah mempermudah kehidupan manusia. Anda hanya butuh beberapa jam untuk berkeliling dunia sekarang. Anda hanya cukup menggerakkan jari untuk mencari informasi apapun yang tersedia melimpah di dunia maya, produk mereka.

Teknologi canggih, ekonomi maju, sains, peradaban tinggi, dan demokrasi adi luhung Barat seolah membuat kita minder, bahkan menganggap diri jangan-jangan terbelakang dan tidak hidup layaknya manusia beradab.

Perspektif Ali Syariati saat menyaksikan kemegahan piramida berbeda dari perspektif lain. Ia tidak begitu kagum dengan bangunan raksasa itu, perhatiannya lebih tersedot pada penderitaan para buruh saat membangun piramida, dan berapa orang yang harus mati untuk sebuah kemegahan yang realitasnya hanya kuburan para Firaun itu.

Perspektif yang sama jika digunakan untuk melihat kemajuan materi peradaban Barat, akan menyuguhkan pandangan yang berbeda. Berbagai peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Barat terutama di tengah merebaknya wabah Virus Corona, sebagian menunjukkan hal lain, dan berbeda dengan klaim kemajuan peradaban mereka.

Permintaan masker di awal pandemi global Covid-19, membuat alat pelindung diri langka di pasaran dunia. Sebagaimana dilaporkan China Morning Post, gara-gara masker ini negara-negara Eropa dan Amerika Serikat saling curi.

Jerman dan Prancis memesan masker dari Cina, namun kemudian tidak sampai ke tangan mereka karena keburu dicuri Amerika Serikat. Negara ini membayar 3 hingga 4 kali lipat lebih tinggi daripada yang dibayarkan Jerman dan Prancis di menit-menit terakhir.

Sebenarnya Prancis sendiri telah mencuri pesanan masker milik Italia dan Spanyol. Kanada menyesalkan masker yang sampai ke tangannya lebih sedikit daripada jumlah yang dipesan, dan lagi-lagi Amerika Serikat biang keladinya.

Sebelumnya mungkin orang tidak membayangkan negara-negara maju, canggih, dan beradab ini akan melakukan perbuatan-perbuatan hina semacam itu. Ini hanya satu contoh, masih banyak hal yang terungkap dari rapuhnya klaim Barat terkait kemajuan. Misalnya warga Eropa yang berebut barang-barang kebutuhan pokok saat pandemi, di toko-toko dan swalayan, bahkan hingga adu jotos dan menjarah.

Terbaru tuduhan Presiden Amerika Serikat bahwa Pemilu Presiden November 2020 di negaranya penuh kecurangan yang artinya sama sekali tidak demokratis. Sampai detik inipun Trump menolak menerima kekalahan dalam Pilpres Amerika Serikat. Ia bahkan menuduh adanya suara siluman, yaitu 2000 orang yang dinyatakan meninggal 10 tahun tapi memberikan suara.

Sepeti dikutip CNN Indonesia, tim Donald Trump yang menjadi penggugat hasil Pilpres Amerika Serikat meminta pembatalan sekitar tujuh juta suara untuk rivalnya Joe Biden, namun ditolak hakim Pennsylvania, karena tidak ada bukti yang kuat.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi di negara yang katanya paling demokratis, dan menjadi panutan sejumlah negara lain dalam hal demokrasi di dunia ini? Belum lagi kasus diskriminasi ras yang terungkap pascapembunuhan polisi Amerika terhadap George Floyd, dan memicu demonstrasi besar-besaran dengan slogan “Black Lives Matter”.

Ternyata rasisme masih ada dan berlipat ganda di negara yang digadang-gadang sebagai yang terdepan dalam demokrasi. Jika kita melihat lahirnya saja, yang kemungkinan besar adalah hasil propaganda, tentu kita akan silap dari kenyataan yang sebenarnya.

Kemegahan peradaban liberal Barat realitasnya dibangun dari darah budak, di atas tumpukan mayat masyarakat kulit hitam, dan Indian. Ia dibangun dari keringat dan penderitaan para budak Afrika yang dibawa tentara kerajaan Inggris dari tanah airnya setelah ditukar dengan barang bekas, untuk dijadikan babu dan jongos.

Beragam peristiwa anti-demokrasi di Barat baru-baru ini mungkin saja menjadi tanda keruntuhan peradaban besar yang dibanggakan, namun dibangun di atas darah para budak itu. Maka dari itu tak perlu silau menyaksikan kemegahan, apapun itu bentuknya, karena jangan-jangan di baliknya ada penderitaan orang banyak yang menjadi penopangnya.

Struktur yang dibangun dari hasil penindasan adalah rapuh, karena di dalamnya menyimpan semangat pembalasan untuk menuntut keadilan, yang suatu hari nanti, bagaikan bom, ia akan meledak.***

Herry Supryono, tengah berjalan-jalan di Timur Tengah.