Perempuan Panutan Sepanjang Masa: Ibu

Catatan Didin Tulus

Untitled 1 1
(Ilustrasi ibu: Bhayangkari.or.id)

BERJUTA perempuan Indonesia menjadikan Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh panutan. Namun, bagi saya, perempuan panutan itu adalah Ibu. Sosok sederhana yang penuh cinta, pengorbanan, dan keteguhan. Hingga menjelang akhir hidupnya, Ibu masih sempat mengucapkan doa untuk saya—sebuah bukti nyata cinta seorang ibu yang tak pernah putus.

Ibu adalah seorang perempuan tangguh. Malam baginya sering kali menjadi siang. Waktu tidurnya hanya satu atau dua jam saja. Selebihnya, hidupnya dihabiskan untuk bekerja keras demi keluarga. Ketika tubuhnya lelah dan tenaganya terkuras, Ibu tidak pernah mengeluh di hadapan kami. Ia memilih menangis diam-diam dalam sujudnya di sepertiga malam, memohon kekuatan kepada Sang Pencipta.

Sebagai seorang anak, saya sering tidak memahami perjuangan dan kasih sayang Ibu. Dalam benak saya waktu kecil, ketegasannya sering terasa sebagai kekerasan, dan sikapnya yang disiplin kadang membuat saya merasa kurang dimanja. Namun, seiring bertambahnya usia, saya mulai menyadari bahwa di balik semua itu tersimpan kasih sayang yang tak terhingga.

Ibu selalu berkata, “Perempuan harus kuat dan serba bisa.” Kalimat itu menjadi mantra hidupnya. Ia mengajarkan bahwa hidup tidak selalu mudah, terutama bagi perempuan. Namun, ia juga menunjukkan bahwa dengan keberanian, kerja keras, dan doa, semua rintangan bisa dilalui.

Dalam ingatan saya, Ibu adalah seorang ahli multitasking sejati. Ia mampu memasak, mencuci, dan mengurus keperluan rumah tangga, semuanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Bahkan di tengah-tengah kesibukannya, Ibu selalu sempat memastikan bahwa anak-anaknya mendapatkan pendidikan dan perhatian yang cukup. Ia rela mengorbankan kebutuhannya sendiri agar kami bisa mendapatkan yang terbaik.

Saya ingat betul bagaimana Ibu menyulam baju kami yang robek, memperbaiki sepatu kami yang rusak, atau membuat makanan sederhana yang rasanya selalu istimewa. Ia adalah perempuan yang mampu menciptakan keajaiban dari keterbatasan.

Namun, di balik semua kekuatannya, Ibu juga manusia biasa. Ada saat-saat di mana ia merasa lelah, sedih, atau bahkan putus asa. Tapi, ia tidak pernah membiarkan emosi itu menguasainya. Setiap kali saya melihat Ibu bersujud dalam doa, saya tahu bahwa itulah sumber kekuatannya.
Meski saya berusaha sekuat tenaga, saya tahu saya tidak akan pernah bisa sehebat Ibu.

Perempuan panutan saya ini adalah sosok yang unik dan tak tergantikan. Ia tidak hanya menjadi ibu yang baik bagi kami, tetapi juga menjadi teladan dalam kesederhanaan, kesabaran, dan keikhlasan.

Kini, setelah Ibu tiada, saya sering merasa rindu. Rindu akan suaranya yang lembut saat memanggil nama saya, rindu akan sentuhan tangannya yang penuh kasih, dan rindu akan doanya yang selalu menyertai setiap langkah saya. Saya sadar, tidak ada perempuan lain yang bisa menggantikan tempat Ibu di hati saya.

Dalam kepergiannya, Ibu meninggalkan banyak pelajaran berharga bagi saya. Ia mengajarkan bahwa cinta sejati tidak membutuhkan pengakuan, bahwa pengorbanan adalah bentuk cinta tertinggi, dan bahwa doa adalah senjata terkuat dalam menghadapi hidup.

Terima kasih, Ibu, untuk segala cinta dan pengorbananmu. Doamu adalah lentera yang menerangi jalan saya, bahkan saat saya merasa tersesat. Semoga Allah memberikan tempat terbaik untukmu di sisi-Nya, tempat di mana lelahmu digantikan dengan kebahagiaan abadi.

Ibu, engkau adalah perempuan panutan saya. Perempuan yang mengajarkan bahwa hidup harus dijalani dengan cinta, kerja keras, dan doa. Meski saya tidak bisa menjadi sehebat dirimu, saya berjanji akan terus berusaha menjadi anak yang tidak mengecewakanmu.

Selamat beristirahat, Ibu. Di dalam hati saya, engkau akan selalu hidup. Engkau adalah perempuan panutan yang tidak akan pernah tergantikan. ***

Didin Tulus, penggiat buku, tinggal di Cimahi.