Tak Sekadar Curahan Hati, Puisi pun Bisa Jadi Media Terapi

Oleh Ipah Latipah, M.Pd.

puisi 720x400 1
(Ilustrasi: Barta1.com)

SIAPA yang tak kenal puisi? Nampaknya jarang orang yang tidak tahu puisi atau belum pernah membaca satu judul puisi pun, bahkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar kita sudah dikenalkan dengan puisi mulai dari puisi sederhana sampai kepada puisi karya penyair ternama. Sebut saja pusi yang berjudul “Aku” karya Chairil Anwar. Puisi yang tak lekang oleh waktu, tak hilang ditelan zaman dan tak mudah dilupakan dalam ingatan pembacanya. Puisi itu seakan identik dengan kata-kata yang bernuansa puitis, indah, penuh kiasan/ metafora, dan  merupakan ungkapan hati atau perasaan penulisnya. Bagi seorang penikmat puisi, membaca puisi itu ibarat tengah menikmati kesenangan yang menenangkan jiwa. Bagi seorang penulis puisi, menulis puisi itu merupakan komunikasi  jujur yang melapangkan hati, bebas tidak terbebani.

Namun, ternyata puisi memiliki kekuatan lebih dari sekadar media curhat. Dalam pendekatan konseling atau terapi, puisi dijadikan sebagai salah satu teknik konseling atau terapi. Puisi yang dipandang sebagai karya sastra yang indah, berisikan kata-kata puitis yang menyuarakan curahan hati, perasaan dan pikiran seseorang ternyata tidak sekadar dinilai estetikanya namun dapat dijadikan sebagai tool (alat) dalam proses treatment (pengobatan) dan assesment (pengukuran). Terapi puisi merupakan bentuk terbaru dari intervensi kreatif pada terapi seni dan terapi ekspresif.

Terapi puisi merupakan teknik yang termasuk ranah expressive therapy. Proses terapeutik yang memanfaatkan media puisi untuk menstimulasi konseli agar mampu mengungkapkan dan menggali perasaan dan pikirannya. Selebihnya konseli dapat menarik benang merah dari apa yang dipelajari dalam puisi dengan kehidupan yang sedang dialaminya. Pendukung kuat terapi puisi, Arthur Lerner, dia adalah seorang pakar psikologi juga ahli sastra. Kedua bidang ilmu yang berbeda dan dipadukan dalam praktik treatment terhadap klien dan ternyata berhasil.

Sebagai bagian dari terapi, beberapa orang mungkin ingin mengeksplorasi perasaan dan kenangan yang terkubur di alam bawah sadar dan mengidentifikasi hubungan mereka dengan keadaan kehidupan saat ini. Puisi diyakini bermanfaat bagi proses terapeutik karena seringkali digunakan sebagai:

a) wahana untuk mengekspresikan emosi yang mungkin sulit diungkapkan secara lisan;

b) memunculkan refleksi diri dan eksplorasi, meningkatkan kesadaran diri dan membantu individu memahami dunia mereka;

c) membantu individu mendefinisikan kembali situasi mereka dengan membuka cara baru untuk memahami realitas;

d) memvalidasi pengalaman emosional dan meningkatkan kekompakan kelompok dengan membantu orang menyadari bahwa banyak pengalaman mereka juga dimiliki oleh orang lain.

Secara umum seorang terapis/konselor yang menggunakan puisi sebagai teknik intervensi mempunyai kebebasan untuk memilih puisi yang mereka yakini dapat mengandung nilai terapeutik, namun sebagian besar cenderung mengikuti panduan umum. Dianjurkan agar puisi yang dipilih itu ringkas, membahas emosi atau pengalaman universal, dan mengandung bahasa sederhana sehingga mudah dihayati dan dipahami oleh konseli. Meskipun pemilihan materi biasanya dilakukan oleh terapis, namun konseli pun mungkin diminta untuk membawa puisi yang mereka kenali, atau konselor yang akan menuliskan puisi sendiri dalam proses terapinya, karena hal tersebut juga dapat memberi wawasan berharga mengenai perasaan dan emosi mereka.

Terapi puisi menjadi subyektif sebab nilai-nilai yang terkandung dalam puisi akan sangat bermakna bagi seseorang namun belum tentu cukup bermakna bagi individu yang lainnya.

Teknik yang digunakan dalam terapi puisi meliputi teknik writing (menulis puisi) dan teknik the meaning of poetry (membaca dan memaknai puisi). Terapis bisa menggunakan media puisi yang dibuat sendiri oleh konseli atapun terapis menyediakan puisi yang disesuaikan dengan kondisi dan harapan yang ingin terjadi dalam sesi terapi.

Puisi identik dengan kata-kata puitis atau kental dengan nuansa sastranya, oleh karena itu untuk menggunakan terapi puisi, terapis perlu memiliki kemampuan untuk menghayati dan memaknai puisi dan kemampuan untuk mengomunikasikan serta menghubungkan makna puisi dengan kehidupan yang dialami.

Terapi puisi dimungkinkan untuk diterapkan di sekolah, namun tentunya tidak bisa diterapkan untuk semua siswa. Tidak setiap siswa siap dan mau melakukan konseling dengan menggunakan media puisi. Hal itu tentunya berimplikasi pada kemampuan konselor untuk menganalisis dengan jeli efektif tidaknya penggunaan terapi puisi dalam proses konselingnya, dan yang sangat penting juga adalah konselor memiliki kemampuan untuk memahami bahasa puisi.***

Penulis adalah Guru BK SMPN 1 Batujajar Kabupaten Bandung Barat.