NOVEL Francois Mauriac—sastrawan Prancis pemenang Nobel Kesusastraan–, Le Noeud de vivperes –diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ida Sundari Husen, jadi ”Jalinan Ular Berbisa”, Pustaka Jaya, 1980. Dalam novel ini Mauriac berbicara tentang sosok kaum borjuis—secara netral kita menyebutnya kelas menengah. Yakni kelompok sosial baru yang menonjol karena kekayaannya, dan ia mungkin berasal dari desa, para petani yang berhemat dan menabung untuk diinvestasikan lagi pada tanah, yang dijadikan modal untuk melakukan usaha tani baru—dengan kata lain, mereka adalah kaum yang mengirit, kaya dan tak pernah mau menonjolkan kekayaannya, menyembunyikanya dengan menabung dan melakukan investasi. Mungkin mereka tuan tanah, tapi mereka tidak menerima semua kekayaan (tanah) itu sebagai warisan, tapi justru yang mengusahakannya meski untuk itu mereka terpaksa hidup mengirit.
Lantas ada kelompok borjuis kota, yang menemukan dirinya terpandang dan dianggap
lebih dari orang biasa karena faktor pendidikan (= kecendekiawanan, intelektual—dan karena itu mungkin mereka miskin dan kurang mampu), dan orang yang berkuasa karena memiliki jabatan dan gelar kerhormatan yang diturunkan dari orang tua mereka (= dan mungkin juga kekayaan). Karena itu mereka cenderung menonjolkan diri dan menunjukkan kelebihan mereka dengan menonjolkan kekayaan (dan mungkin juga kekuasaaan atau intelekualitas), karenanya mereka cenderung berlagak, royal, dan menghamburkan uang buat hal-hal yang tak penting tapi menunjukkan status sosial mereka. Berbeda dengan si petani kaya, yang cenderung mengirit dan menyembunyikan kekayaan, mereka cenderung mengejar status, jaga gengsi, dan royal—sehingga pengeluaran bulanan mereka sangat tinggi dan tak bisa ditutup dengan penghasilan bulanan normal.
Dengan kata lain, itulah yang membedakan dua macam borjuis itu, yakni borjuis desa dalam ujud petani yang suka mengirit, dan borjuis kota, yang jaga gengsi dan royal berbelanja; tetapi mereka memiliki satu kesamaan—yakni sama-sama rakus, serakah ingin menguasai uang, dan menumpuknya sebagai kekayaan pribadi. (Dan mungkin dari sini kita bisa memahami, mengapa kelas menengah Indonesia, yang memegang tampuk kekuasaan di kursi politik dan lewat jenjang usaha/bisnis, sering berkerjasama dan main kong-kali-kong meraup keuntungan yang tak terkira, korupsi). Tapi apakah hanya itu yang disinggung oleh Mauriac—novel itu terbit 1933, dan di masa itu banyak dari novel kita bercerita tentang kebebasan memilih jodoh, pemilihan calon istri/suami berdasarkan pilihan pribadi dan tak mempertimbangkan status orang tuanya, seakan-akan kebebasan itu adalah perkawinan bebas, dan itu mungkin karena kuatnya politik bacaan ideal Balai Pustaka, sehingga jerat kolonialisme yang hanya bisa ditampilkan dan diprotes secara simbolik.
Tapi apakah hanya itu keunikan novel Mauriac?
ADA sisi lain, dan karena novel itu jadi menarik dan memikat untuk dianalilis, yakni macam apa sosok spiritualistik dari tokoh-tokoh yang dikondisikan untuk hidup rakus dan memiliki sebanyak mungkin harta sehingga mereka terpandang secara sosial. Mauriac menulis sosok petani pedesaan sejati, tak terlalu kuat moralnya—punya gundik dan anak haram–, tak terlalu patuh pada agama—anak-anak sahnya menganggap ia serakah, hanya mengutamakan harta dan melulu hidup untuk mengejar dan mengusai harta—, dan di akhir hidupnya jadi religius meski tak dipercaya beriman—ia dianggap hanya hidup dengan halunisasi, dan keimanan dan kesadaran akan adanya kasih (dengan K besar) dan Allah hanya sesat pikiran yang sesaat, meski ia bisa heran kenapa istri dan anak-anaknya—yang suka menonjolkan keimanannya itu dengan rajin ke Gereja—, dan merasa bisa menerima takdir dari Allah.
Karena itu ia heran kenapa istrinya tak bisa menerima kematian Marie dan Luc, anaknya yang mati muda, padahal ia saleh dan seperti jadi anaknya Allah. Ia tiba pada kesadaran, tak seharusnya bersedih atas kematian mereka, karena Allah mengambil ia di masa kecil saat masih suci—dan yakin bahwa keimanan istrinya itu munafik, karena berani menolak cinta Allah kepada anaknya yang dicintai-Nya, dan diambil-Nya saat ia masih murni. Itu mungkin, yang membedakan, borjuis kota yang kuyup dengan idiom-diom religius dan agamawi. Dengan idiom-idiom keimanan pedesaan yang orisinil dan mutlak lahir dari pengalaman pribadi, hingga itu kemudian bisa dikembangkan jadi keimanan kepada yang menyinarkan kasih dan memberi hidup—keimanan yang tumbuh setelah istrinya, yang dianggap royal tapi munafik meninggal, dan karena ia menemukan hakiki dari kasih sejati yakni Kasih dengan K besar, dan seterusnya. Barangkali inilah sumbangan Mauriac terbesar, karena dalam novel ini ia menunjukkan bahwa ketidak-mau-tahuan mendorong Allah memberi tahu, dan (ia—sosok dalam novel itu, dan siapa pun) tahu akan hal itu dan tersadar.
Dan sejajar dengan itu, kita juga memahami, kenapa orang yang suka dan menonjolkan caranya beribadat sehingga di kesehariannya tampak alim, malah senang korupsi—karena ia rakus, karena ia butuh biaya sosial, dan karena tak mengalami pengalaman rohani keimanan yang menggetarkan sehingga keimanannya tampak menonjol. Di titik ini, alangkah indahnya novel Mauriac ini—dan kita butuh khazanah yang semacam ini, setelah selama ini kita hanya kenal Atheis dari Achdiat Kartamihardja saja. Kita butuh identifikasi itu. Sebuah karya sastra dengan tema yang sederhana—tapi digarap secara sublim. Memang.***
Beni Setia, Pengarang