Korupsi dalam Kegundahan

Oleh Aep Ahmad Senjaya

WhatsApp Image 2025 02 09 at 20.37.15
(Ilustrasi “Korupsi dalam Kegundahan”: Aep Ahmad Senjaya)

KORUPSI bukan kejahatan yang mengorbankan orang satu – dua semata. Lebih dari itu ia mampu meluluhlantakkan kehidupan berbangsa dan bernegara hingga ke sendi-sendinya. Bagaimana tidak, makhluk yang satu ini begitu piawai dalam menyebar dan mengakar, ia tak hanya menular tetapi juga menjalar hingga ke sumsum balung yang perlahan tapi pasti mengkonstruk menjadi persepsi, traits hingga membudaya. Kemampuannya dalam berepidemi inilah yang kemudian menjadi sebuah daya luar biasa yang mampu mengganggu upaya menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera.

Telisik punya telisik kemampuan menjadi epidemi dari wabah ini disebabkan faktor hidup dan penghidupan. Singkatnya, faktor ekonomi; adanya keinginan untuk bertahan hidup dan menambah daya dari kekuatan hidup itu sendiri alias memperkaya diri secepat kilat. Hal lain dari persebaran tindak pidana ini juga karena ulah ‘contoh-mencontoh’ dengan sebuah pembenaran, “ah baé wé, da dunungan gé kitu…” Huadeuuuh!… Begitulah, sebagian besar pelaku non-violence crime yang satu ini adalah mereka yang terkategorikan sebagai trend-setter; intelek, klimis, ngoncrang, guaya’e tenanan; gandhes-kewes, murubmubyar bin shimer-shimer. Poko’e lheer puool…, lah. Mereka adalah sosok-sosok yang acapkali ditiru walau tak selalu digugu. Pun demikian tak jarang di antaranya berupa figur yang kerapkali digugu –akademisi sing nggandhol gelar béréndél bin rendey; Prof., Dr., Drs., SSS., M.Sc., Cret eh Cert., Eng… de el el eng ing eng. Itulah sekelumit pemandangan yang akhirnya kita saksikan dan bikin ngangres banyak kalangan terlebih mereka yang ada dalam gorombolan dahar isuk, henteu sore.

Mau tidak ngangres bagaimana, pada 2003 saja potensi kerugian negara menunjukkan angka Rp 28.4 triliun seperti yang diungkap ICW pada Mei 2024. Dari besaran rupiahnya sih, angka ini menunjukkan penurunan dari tahun 2022 yang besarnya Rp 42.7 triliun. Namun, dilihat dari kasusnya, kejadian ini justru menunjukkan peningkatan. Angka sebesar Rp 28.4 T itu terakumilasi dalam 791 kasus sepanjang tahun 2023 dengan jumlah tersangka mencapai 1.695 orang.

Besaran angka tindak pidana luar biasa ini memang tidak pernah jauh-jauh dari pusaran kuasa. Nyaris sebagian besar terjadi secara sistemik dalam lingkaran orang-orang teknokratis; eksekutof dan legislator pemerintahan seperti yang diobrolin ICW. Lembaga penggiat antikoruupsi itu mengungkap sekitar 67% kasus ini melibatkan eksekutif daerah, mulai dari kepala daerah, pejabat dinas, camat, hingga “raja kampung”. Aktor-aktor politik –yang sebenarnya tukang dagang— pun tak ketinggalan berkelindan di dalamnya.

Lah, kok bisa? Bukannya ini negeri telah diamankan dengan berbagai instrument yang menjamin berlangsungnya pemerintahan yang bersih? Memang demikian pemandangan yang kita lihat. Instrumen perlindungan dan penjamin berlangsungnya pemerintahan yang bersih bukanlah sebuah takhayul, Tetapi para “atlet korupsi” itu sangat jago dalam laga ini. Mereka akan menggunakan berbagai jurus dari mulai jurus “iseng-iseng berhadiah” hingga –kalau yang geledegan, sih—bermain-main dengan istrumen. Mereka mampu mengotak-atik peraturan, mengais-ngais resistor dari sistem instrumen yang ketat itu hingga menemukan celah. Tak cukup di sana, mereka juga mengerahkan segala kemampuan berpikir, membangun benteng demi melindungi sikap demit-curaling-nya dari jangkauan berbagai aturan legal yang dapat mencengkramnya.

Demikianlah adanya, tindak korupsi terjadi dalam poros kuasa pada gilirannya mengoyak ketiak dan moralitas publik kita. Kekuasaan yang semula kita bayangkan dapat menjadi alat yang mensejahterakan, justru kemudian malah membuat kita seraya mengusap dada.

***

Buku bertajuk Membangun Bangsa Tanpa Korupsi adalah sebuah penggambaran ihwal kegundahan mendalam dari sebuah bangsa yang digadang-gadang ber-moral-ethic adiluhung ini. Bagi penulis; Khalid A. Harras –begitu juga banyak orang, ibarat penyakit kanker stadium 5 yang terus menggerogoti fondasi negara, merusak integritas dan kepercayaan pemerintahan yang berdaulat. Di Indonesia, korupsi bukan lagi sekadar isu ekonomi atau hukum; ia telah berkembang menjadi ancaman serius terhadap tatanan sosial dan masa depan bangsa. Korupsi memberikan dampak negatif mulai dari persoalan ekonomi hingga memperlebar ketidakadilan sosial. Kondisi ini menurut penulis menjadi salah satu penyebab merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Dalam buku setebal 178 halaman ini, tak sekadar deskripsi yang dipaparkan Khalid. Ia seolah mengajak kita kembali menggali persoalan korupsi dari akarnya. Banyak yang diungkapnya, dari berbagai sudut pandang; dari mulai budaya, agama, pun halnya dari segi bahasa. Selain itu, doktor lingusitik ini mengupas upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai elemen bangsa serta keadaannya pada masa kini.

Pada wilayah lain, dalam buku ini pun pembaca akan diajak berdiskusi ihwal langkah-langkah terbaik demi lenyapnya praktik-praktik korupsi. Menurut Khalid A. Harras, sebagaimana ia sajikan, pencegahan korupsi harus diawali dari kelompok masyarakat terkecil; yaitu dari rumah atau keluarga dan sekolah.

Setidaknya, buku yang disusun dari berbagai artikel penulis yang pernah dimuat di media massa ini, seperti yang diurai Amich Al-Humami dalam pengantarnya, merupakan sumbangan berharga pada upaya kolektif bangsa dalam merawat energi dalam memerangi korupsi yang sudah mengakar kuat di dalam struktur kekuasaan politik dan birokrasi pemerintahan.

Dalam buku ini pula Khalid berteraiak jika perang melawan korupsi di Indonesia tidak akan berakhir hingga masalah ini usai. Sebagai akademisi dan intelektual, dalam buku ini pengarang mengekspresikan kegelisahan dan kerisauan yang mendalam atas penyakit kronis korupsi yang belum ditemukan “specific-effective prescriptions” untuk mengatasinya. ***

Aep Ahmad Senjaya,  Penggiat Community Based Tourism di Bale Budaya Bandung.