Masalah Laten: Penjajah Epistemik

Oleh Imam Sahal Ramdhani

464676739 10227066395954589 237811834151094176 n
Imam Sahal Ramdhani. (Foto: Dok. Pribadi)

Ulasan Artikel “Islam, Coloniality, and The Pedagogy of Cognitive Liberation in Higher Education” Karya Joseph E. B. Joseph Lumbard.

KENAPA peradaban keilmuan Islam masih “dianggap” tidak maju? Kiranya Joseph Lumbard menjadi salah satu sarjana yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Problem yang mendasari kedua pertanyaan tersebut adalah adanya dominasi intelektual Eurosentris dalam studi Islam yang kemudian meminggirkan epistemologi Islam. Akibat dari hal tersebut adalah langgengnya hirarki intelektual yang melemahkan tradisi dan sistem pendidikan Islam. Pada akhirnya ke semua itu mengarah pada usaha-usaha meliankan khazanah Islam.

Lalu, dari mana semua itu bermula? Lumbard dengan apik mengurai dan mengurut persoalan dari akar terdalam. Menurutnya semua bermula dari kolonisasi atas Studi Islam. Mengutip Salaymeh, penjajahan fisik atas komunitas Islam mungkin sudah tidak terjadi (kecuali Palestina tentunya), namun penjajahan epistemologis masih saja berlangsung berupa hegemoni intelektual. Hegemoni ini menciptakan “reduksi epistemologis” yang menegasikan kemajuan budaya intelektual dan sistem pendidikan Islam. Hegemoni ini juga menumbuhkan watak ambivalensi, inferioritas, dan kegamangan epistemologis. Pada tataran pendidikan, hegemoni ini menciptakan “kebuntuan hermeneutis” yang disebabkan pemaksaan suatu watak epistemologis. Akibatnya siswa tidak diajarkan untuk menganalisis dan mengkritik, namun dipaksa untuk mengakulturasi watak epistem kolonial.

Bentuk Watak Pikir Kolonial

Lumbard mengkritik cara pandang kolonial sekaligus memberikan contohnya. Misalnya ia mengkritik Aloys Sprenger yang berkata; “Bangsa timur tidak lagi mampu mengurus khazanah sastra mereka sendiri”. Menurutnya penilaian Sprenger yang merendahkan martabat ini berawal dari sisa-sisa masa lalu sekitar pertengahan abad 19. Sayangnya watak pikir ini terus diwariskan bahkan sampai saat ini.

Begitu juga dengan cara pandang Reynolds yang menyatakan “‘scholars today might with some justification feel themselves better qualified than the mufassirūn [Quranic exegetes] to study the original meaning of Qurʾānic passages.” Watak subordinatif juga menurut Lumbard terlihat dari perkataan Shoemaker: “as more and more Muslims entered departments of Middle Eastern studies and began to control the conversations around religion within this discipline, the problems of essentialization and homogenization endured; only now understandings of what Islam ‘really’ is were crescively determined by believers, from the perspective of faith in the tradition. (Shoemaker 2022, 7)”.

Dari ungkapan ketiganya, apa poin Lumbard? Setidaknya ada beberapa hal: pertama, Muslim dan epistemology Islam tidak pantas jadi subjek, hanya pantas jadi objek. Efek Renaisance membuat tidak ada yang pantas menjadi subjek kecuali episteme Barat. Superioritas Barat ini pada akhirnya menundukan siapapun dan apapun selainnya.

Kedua, universalisme watak epistem. Episteme di luar Barat dianggap sah jika sesuai, plek ketikplek, plug and play, dengan “ukuran-ukuran” Eurosentrisme. Jika ada ketidaksesuaian, yang dikritik bukan “penggaris”nya, namun yang diukurnya.

Ketiga, marginalisasi. Segala bentuk pengetahuan yang hadir dan tumbuh di luar narasi positifisme Euro-Amerika merupakan episteme “sempalan”. Misalnya penilaian atas filsafat Islam di masa pasca-klasik (600-1300 M), dianggap sebagai “paraphilosophy” di mana umat Islam “melakukan apa yang tampak seperti filsafat sains untuk mengalihkan perhatian dari menggantikan filsafat/sains”. Dengan kata lain, sebagaimana pendapat Castro, “dari perspektif pencerahan, semua budaya lain adalah “tradisional”, “primitive”, dan “premodern” dan dengan demikian berada di luar “sejarah universal”.

Keempat, “kelebihan kredibilitas”. Superioritas watak pikir eurosentris juga melahirkan anggapan kredibilitas berlebihan atas watak hegemonik barat. Di saat yang sama cara pandang ini menganggap watak-watak lian kekurangan kredibilitas.

Secercah Terang di Balik Gulita: Alternatif-Solutif ala Joseph Lumbard

Terus bagaimana jalan keluar dari hal pelik ini? Lumbard menawarkan beberapa jalan.

Pertama, narasi “kemunduran cum kemajuan” harus dibaca secara kritis. Artinya kita harus menantang asumsi-asumsi normatif eurosentrisme yang menghegemoni studi islam.

Kedua, gerak dan watak pikir dekolonisasi tidaklah anti-Barat. Sembari mengamini Hallaq, Lumbard meyakini bahwa alih-alih mendefinisikan ulang Islam dari frame Euro-Amerika, alat analisis yang lahir dalam orientalisme dapat digunakan untuk mengekskavasi dan menambang tradisi intelektual Islam yang nantinya menjadi alternatif atas modernitas hyper-liberal dan realisme kapitalis.

Ketiga, memperluas representasi tradisi intelektual Muslim dalam kurikulum pendidikan.

Keempat, mengembangkan model-model pedagogi Islam yang berakar pada nilai-nilai dan watak pikir Islam.

Kelima, memulihkan hirarki pengetahuan.

Solusi keempat memunculkan pertanyaan; lantas apa perbedaan antara sistem dan watak epistemik pendidikan kolonial dan Islam? Memangnya ada bedanya? Lumbard meyakini ada perbedaan yang sangat signifikan. Watak pendidikan barat lahir dari watak pikir kapitalisme cum industrialisme yang melahirkan industrialisasi Pendidikan. Pengetahuan, lembaga pendidikan, termasuk siswa dan pengajar harus memenuhi tuntutan kapital dan industri. Pendidikan harus melahirkan pekerja yang relevan dengan bisnis dan pasar.

Sebaliknya, misi pendidikan dalam watak epistemik Islam tidak semata mengejar luaran praktis-pragmatis. Namun lebih dari itu, misi pendidikan (sebagaimana yang dikatakan Lumbard) bermuara pada peneguhan etika dan moral. Ruh “ta’dib” ini menjadi dimensi lokal yang sama sekali berbeda dengan apa yang bekerja dalam alam pikir pendidikan kolonial cum industrialis. Impor model pendidikan kolonial dapat melumpulkan pemikiran kritis, menyangkal kebebasan epistemik subjek yang dijajah, mereduksi identitas natural, dan melanggengkan kolonisasi epistemik, yang pada akhirnya menciptakan makhluk sosio-epistemik yang sama sekali baru (yang tercerabut dari akar ideo-identitasnya). Proses impor ini juga menurut Hallaq tidak sekadar mengubah metode pedagogis tapi bisa menjadi sebuah “kematian habitus”. Bahkan kalau boleh saya sebut bisa menjadi sebuah proses “annihilation”, “extermination” dan “demolition”.

Sembari mengutip Hallaq, Lumbard menegaskan bahwa kematian “habitus” ulama tradisional (halaqah) dan madrasah menandakan kepunahan efektif. Penghacuran kolosal ini disebut Hallaq sebagai “genosida struktural”. Artinya genosida tidak hanya terjadi di Palestina yang terjadi secara fisik, namun juga bekerja di berbagai penjuru dunia, khususnya dalam kepala banyak orang. Saat ini, keberadaan pesantren dan madrasah mungkin belum benar-benar sirna, namun cara pandang marginal terhadapnya tumbuh subur. Banyak intelektual yang terkungkung dalam cara pandang kolonial mengalienasi eksistensi pesantren dan madrasah. Menganggap pesantren dan madrasah sebagai entitas rendahan, penuh dengan kemunduran, marginal, tertinggal dan jauh dari kemajuan.

Solusi kelima diperjelas Lumbard dengan menegaskan asal muasal hirarki pengetahuan. Tingkatan pengetahuan yang saat ini bekerja (dalam cara pandang modernisme) berasal dari usulan August Comte yang membagi tahapan secara evolutive: teologis, metafisik, dan ilmiah. Cara pandang evolutif ini kemudian diinternalisasikan ke seantero penjuru bidang kajian. Cara pandang evolutif ini berasas pada teori linearitas sejarah juga berimplikasi pada pemisahan pengetahuan. Seolah-olah fase ilmiah harus menegasikan teologi atau metafsika. Cara pandang evolutif ini juga menyiratkan bahwa proses paling akhir adalah fase paling ideal dan sempurna.

Di sisi lain, dalam khazanah Islam, dimensi teologi, metafisik dan ilmiah beriringan, beririsan dan idealnya berjalan berdampingan. Tidak ada pemisahan, marginalisasi atau alienasi atas satu dibanding hal lain. Cara pandang integral ini menunjukan bahwa dalam watak pikir epistemik Islam, ragam dimensi tersebut menjadi ragam jalan untuk menemukan kebaikan. Bukan hanya memilih satu dan menganggapnya sebagai jalan final. Dalam cara pandangan kosmologi Islam yang melahirkan kosmos-sentrisme (saya terinspirasi dari cara pandang Muhammad Al-Fayyadl), ragam pengetahuan lahir untuk membantu manusia membaca semesta. Sains (terapan) mungkin bisa menjadi salah satunya, namun buka satu-satunya cara mengenali alam raya. Alam semesta yang hadir dalam cara yang ganjil, memberikan kita banyak kesempatan untuk mengenali setiap kebermungkinan-nya. Maka sikap-sikap eksklusif dan dogmatis atas sains (terapan), perlu dibasuh kembali agar menjadi aliran air yang tidak mandeg, cair dan terbuka. Usaha-usaha ini tentu akan berhadapan dengan cara pandang otoritarianisme sains (terapan) yang saat ini menjadi stempel keilmiahan di mata para kolonialis.

Watak epistemik yang lahir dari rahim Islam ini menurut saya terbilang Integrative-interkonektif. Menjadikan Islam, khususnya Al-Qur’an tidak hanya sebagai objek tapi sebagai subjek. Di satu sisi berfungsi sebagai objek material tapi pada sisi lain juga berfungsi sebagai objek formal. Watak dekolonisasi ini berusaha mendayagunakan (kembali) khazanah keilmuan al-Qur’an dan hadis. Sembari menegur-sapa antar-ragam keilmuan. Bukan untuk meliankan yang asing dan kecil, namun untuk duduk setara dan meneguhkan kemandirian masing-masing entitas yang berlainan.

Dalam kartografi kognitif Islam, ragam pluralitas pengetahuan dipahami dalam relasi kesalingan. Luaran dari itu semua tidak hanya memenuhi “kemajuan” fana, namun lebih dari itu, untuk memenuhi secara integral pengabdian pada Tuhan. Maka dalam watak pikir epistemik Islam, pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari etika. Dengan kata lain fakta tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai. Gerak dekolonisasi berusaha melampaui asumsi-asumsi yang tumbuh di atas superioritas dan uversalitas Euro-Amerika.

Catatan Akhir:

Apa yang dituliskan oleh Lumbard saya kira menjadi “rupture” alias “patahan” dalam kesarjanaan Euro-Amerika. Watak pikir Lumbard yang kritis, terbuka dan egaliter menjadi penanda adanya gerak peralihan dan pergeseran paradigma. Perhentian akhir dari lintasan ini kiranya adalah dimensi kesetaraan, kesalingan dan kemanusiaan. Kemanusiaan menuntut kita “memanusiakan manusia”. Selaras dengan syair dari Iksan Skuter:

“Kiri dikira komunis, kanan dicap kapitalis
Keras dikatai fasis, tengah dinilai tak ideologis
Muka klimis katanya necis, jenggotan dikatai teroris
Bersurban dibilang ke-arab-arab-an, bercelana levi’s dibully kebarat-barat-an

Ref:

Makin hari makin susah saja, menjadi manusia yang manusia
Sepertinya menjadi manusia, adalah masalah buat manusia”

Gerak dekol tentu ini menjadi sedikit harap pada kondisi post-truth dan krisis identitas. Di tengah arus ketidakpastian, kesadaran yang gamang, serta kerapuhan epistemik; kita perlu mengeraskan lutut dan pijakan. Agar tetap jernih dan terang. Terakhir, izinkan saya mengutip Serat Kalatidha yang digubah oleh Ronggowarsito:

“Amenangi jaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
melu edan ora tahan,
yen tan melu anglakoni,
boya kaduman melik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah karsa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang eling lan waspada”. (Ronggowarsito, Serat Kalatidha)

***

Bacaan lebih lanjut:

Asad, Talal, ed. Anthropology & the colonial encounter. Vol. 6. London: Ithaca press, 1973.
Muzakkir, Muhamad Rofiq. “Dekolonisasi: Metodologi Kritis Dalam Studi Humaniora dan Studi Islam.” Yogyakarta: Yayasan Bentala (2022).

Şentürk, Recep. “The decline of the decline paradigm: Revisiting the periodisation of Islamic history.” Niedergangsthesen auf dem Prüfstand/Narratives of Decline Revisited (2020).

Agrama, Hussein Ali. Questioning secularism: Islam, sovereignty, and the rule of law in modern Egypt. University of Chicago Press, 2019.

Hallaq, Wael B. “On Orientalism, Self-Consciousness and History.” Islamic law and society 18.3-4 (2011): 387-439.

Hallaq, Wael. Restating orientalism: A critique of modern knowledge. Columbia University Press, 2018.

Imam Sahal Ramdhani, Dosen di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.