Penjahat Tak Pernah Membangun Negara, Mereka Hanya Memperkaya Diri Sambil Merusak Negara

Oleh Didin Tulus

Ilustrasi korupsi. (Foto: Istimewa)

NELSON MANDELA, seorang ikon perjuangan melawan apartheid, pernah mengatakan bahwa “Penjahat tak pernah membangun negara. Mereka hanya memperkaya diri sambil merusak negara.” Pernyataan ini bukan sekadar kutipan bijak, tetapi sebuah refleksi atas realitas di banyak negara, termasuk Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa pemimpin yang korup, otoriter, dan hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya tidak pernah benar-benar membawa kemajuan bagi rakyat. Sebaliknya, mereka merusak tatanan sosial, ekonomi, dan politik demi keuntungan sendiri.

Ketika seseorang berkuasa dengan niat memperkaya diri, kebijakan yang dibuatnya tidak akan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, melainkan pada bagaimana ia bisa terus mengamankan posisi dan keuntungan finansialnya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi praktik yang lazim dilakukan, yang akhirnya menghambat pembangunan. Infrastruktur dibangun bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi berdasarkan keuntungan pribadi. Sumber daya alam dikelola bukan untuk kemakmuran bersama, tetapi untuk mengisi kantong segelintir orang. Akibatnya, negara mengalami kemunduran, ketimpangan sosial semakin lebar, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah runtuh.

Contoh nyata bisa kita lihat di berbagai negara yang dipimpin oleh diktator atau pemimpin yang korup. Banyak dari mereka menggunakan kekuasaan untuk mengeruk kekayaan, sementara rakyat mereka hidup dalam kemiskinan. Di beberapa negara di Afrika, misalnya, banyak pemimpin yang menikmati kemewahan dengan uang negara, sementara masyarakatnya berjuang untuk mendapatkan makanan dan akses kesehatan. Hal serupa juga terjadi di negara-negara lain, termasuk di Asia dan Amerika Latin, di mana para pemimpin yang haus kekuasaan lebih peduli pada kepentingan mereka sendiri dibanding membangun bangsa.

Sejarah juga membuktikan bahwa negara yang dipimpin oleh pemimpin berintegritas dan berkomitmen pada kesejahteraan rakyat cenderung berkembang lebih baik. Negara-negara Skandinavia, misalnya, yang dikenal dengan pemerintahan yang bersih dan transparan, mampu menciptakan sistem yang adil dan sejahtera bagi warganya. Para pemimpinnya tidak menjadikan jabatan sebagai sarana memperkaya diri, melainkan sebagai amanah untuk melayani masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kita tentu tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara. Dari kasus suap hingga penyalahgunaan dana publik, semuanya menunjukkan bahwa masih ada individu yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memperkaya diri. Akibatnya, pembangunan yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat justru terhambat oleh ulah segelintir orang yang tamak.

Pernyataan Nelson Mandela ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa negara tidak akan pernah maju jika dipimpin oleh penjahat. Para pemimpin yang hanya mengejar keuntungan pribadi pada akhirnya akan meninggalkan kehancuran. Untuk itu, rakyat memiliki peran penting dalam memastikan bahwa mereka yang berkuasa adalah orang-orang yang berintegritas, memiliki visi yang jelas, dan benar-benar berjuang untuk kepentingan bersama.

Cindekna, membangun negara membutuhkan pemimpin yang jujur, adil, dan memiliki komitmen untuk memajukan rakyatnya. Sejarah membuktikan bahwa mereka yang menjadikan jabatan sebagai ladang korupsi tidak akan pernah membawa kemajuan, melainkan hanya kerusakan dan penderitaan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita lebih kritis dalam memilih pemimpin dan lebih tegas dalam menolak segala bentuk kejahatan dalam pemerintahan. Jika ingin negara ini maju, kita tidak boleh memberikan ruang bagi para penjahat untuk berkuasa. ***

Didin Tulus, penggiat buku. Tinggal di Cimahi.