Sistem Pendidikan Indonesia Membelenggu Guru

20171125 metropolis rp 2 miliar untuk
(Ilustrasi: Istimewa)

ZONALITERASI.ID – Sistem pendidikan Indonesia telah membelenggu guru selama puluhan tahun. Itu diakibatkan tuntutan yang terlalu fokus pada pemenuhan administrasi, sehingga penilaian terhadap guru lebih bersifat karikatif atau tidak nyata.

“Sebatas konsep yang teknokratis. Kondisi inilah yang perlu dibongkar agar guru tidak terkukung dalam budaya feodalisme standarisasi,” kata Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal, dalam webinar daring yang diselenggarakan Balai Besar Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi bidang Pertanian, Selasa (6/7/2021).

Ia mengungkapkan, sayangnya, komunitas guru seperti Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Kelompok Kepala Sekolah (KKS), tak banyak berperan. Komunitas guru lebih banyak dipakai untuk menyeragamkan proses belajar antarsekolah.

Selain itu, komunitas guru sebatas jadi ajang memformulasikan capaian belajar yang diharapkan dari siswa, seperti pembuatan soal ujian bersama, pembuatan RPP bersama, dan administrasi pengajaran lainnya.

“Dalam kondisi begitu guru-guru secara tidak sadar terbentuk rasa tidak memiliki kewenangan untuk pengetahuan dan kompetensi profesionalismenya,” ujar dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada itu.

Lanjut Rizal, ada tiga aspek yang harus diubah dalam pengelolaan pengembangan profesionalisme guru. Pertama aspek pemberian otonomi kepada guru untuk memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan atau kepemilikan atas praktik pengajaran mereka.

Kedua pembentukan komunitas guru yang saling berbagi praktik pengajaran dan mendukung satu sama lain dalam rangka mempertahankan standar kualitas pengajaran dan tidak terlalu berorientasi pada pemenuhi administrasi.

Ketiga kesempatan luas untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

“Ketiga aspek ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi profesional, pedagogi, sikap kepribadian dan ketrampilan sosial guru. Sayangnya, pelatihan kita lebih banyak berorientasi pada peningkatan pedagogi dan profesionalisme karier guru, kurang pada aspek sikap kepribadian dan sosial,” ujar Rizal.

Otonomi Guru

Menurut Rizal, salah satu contoh praktik otonomi guru adalah bagaimana pemerintah baik kementerian, khususnya pemerintah daerah, memberikan ruang bagi guru untuk membuat kurikulum sekolah sendiri yang dapat menerjemahkan kurikulum pusat.

“Ruang itu bisa dalam bentuk kebijakan daerah yang memberikan alokasi seperempat waktu dari kewajiban guru bekerja selama 24 jam seminggu untuk mendapatkan sertifikasi digunakan untuk kegiatan pelatihan atau bertukar pengalaman antar guru dalam membuat kurikulum sekolah,” kata Rizal.

Dikatakannya, pemberian otonomi ini penting karena antarguru punya peluang untuk saling berbagi dan mendukung satu sama lain dalam rangka meningkatkan standar kualitas pengajarannya. Jika kebijakan ini terus-menerus terjadi, maka akan tercipta budaya baru di mana guru merasa percaya diri dan memiliki kemandirian untuk mengambil keputusan atas praktik pengajaran selama ini. Guru akan menjadi pelaku utama bagi pengembangan siswanya secara holistik karena gurulah yang paling memahami kondisi mental dan kompetensi siswanya.

“Selain itu, pembentukan komunitas guru yang saling berbagi praktik pengajaran dan mendukung satu sama lain dalam rangka mempertahankan standar kualitas pengajaran yang tinggi perlu dilakukan untuk memberikan kebanggaan atau kepuasan pada profesi guru, kepuasan pada lingkungan kerjanya dan kepercayaan diri,” terangnya.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, menuturkan, yang harus ditingkatkan saat ini yaitu partisipasi pendidikan yang tinggi, hasil belajar berkualitas, dan distribusi pendidikan yang merata.

“Beberapa perbaikan harus didorong untuk mencapai target tersebut. Perbaikan itu meliputi infrastruktur dan teknologi, kebijakan, prosedur dan pendanaan, kepemimpinan masyarakat dan budaya, serta kurikulum, pedagogi, dan asesmen,” kata Hetifah.

“Karena itu penting untuk membuat peta jalan pendidikan nasional yang holistik. Di dalamnya, seluruh pemangku kepentingan pendidikan termasuk siswa harus menjadi agen perubahan,” sambungnya. (des)***

Respon (177)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *