Luar Biasa, Gara-gara Ini Kampung Bisu Tuli di Bali Mendunia

FOTO PK 2
Keterbatasan kemampuan bicara dan mendengar tak menjadi alasan bagi warga Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng, Bali untuk melek internet, (Foto: Liputan6.com).

ZONALITERASI.ID – Keterbatasan kemampuan bicara dan mendengar tak menjadi alasan bagi warga Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng, Bali untuk membatasi diri. Justru warga tunarungu di daerah ini memiliki kelebihan saat berinteraksi melalui teknologi internet dengan warga dunia.

Tak ada perbedaan mencolok antara Desa Bengkala dengan desa lainnya di Bali. Aktivitas warganya pun berlangsung normal. Sebagaimana masyarakat biasanya, yang kesehariannya diisi dengan waktu untuk bekerja, melakukan hubungan sosial, dan beribadah.

Namun, jika diperhatikan seksama, ada sejumlah warga yang memilih menggunakan bahasa isyarat. Hal ini lantaran banyak warganya tunarungu sejak lahir.

“Ada 12 KK (Kepala Keluarga) yang mengidap gangguan bisu dan tuli. Jumlah jiwanya ada 42 jiwa,” kata Kepala Dusun Bengkala, Ketut Wenten, dikutip Liputan6.com, Kamis, 28 Juli 2022.

Ketut Wenten mengaku, keberadaan warganya yang mengidap bisu dan tuli sudah sejak dahulu. Kemudian, penyakit yang oleh warga Bali disebut ‘kolok’ itu terjadi secara turun temurun.

Menurut dia, ada banyak versi dari tetua desa mengenai awal mula penyakit tersebut. Namun, untuk kebenarannya kini tengah dilakukan penelitian.

“Tentu ini karena faktor genetik. Tapi bagaimana mula penyakit ini berkembang dan turun-temurun saat ini sedang dalam penelitian. Masih dalam tahap pengumpulan data agar kita mendapat referensi dari sumber yang benar,” ungkap Ketut Wenten.

Semangat Maju

Menurut Ketut Wenten, tak melulu bisu tuli yang diidap warganya berdasarkan faktor genetika. Sebab, ada warganya pasangan suami istri normal justru melahirkan anak pengidap bisu tuli. Sebaliknya, pasangan suami istri bisu tuli justru melahirkan anak yang normal.

Di Desa Bengkala kini telah dibangun sekolah khusus untuk pengidap bisu dan tuli. Kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah pada umumnya.

“Ada sekolah khusus di sini, sekolah inklusi. Komunikasi yang digunakan antara guru dan murid ya, bahasa kolok. Tidak ada batasan usia. Mereka yang mau belajar dipersilakan,” tutur dia.

Sementara untuk urusan administrasi di banjar, pengidap bisu tuli tak dibebankan iuran.

“Misalnya ada pembangunan pura, mereka dibebaskan dari iuran,” kata Ketut Wenten.

Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, Desa Bengkala memiliki Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) yang dibentuk berkat kerja sama PT Pertamania dan seluruh universitas yang ada di Bali. Di sana, mereka melakukan kegiatan ekonomi mulai dari memproduksi karya kerajinan.

Ada juga warga yang beternak babi, sapi, menjadi buruh harian, dan berkesenian.

“Jadi, dari sanalah perputaran roda ekonomi mereka,” ujar Ketut Wenten.

Belajar Internet

Seiring kemajuan teknologi, masyarakat pengidap bisa tuli di Bengkala pun mulai bertahap dikenalkan dengan komputer dan internet. Terbukti, kata Ketut Wenten, para Kolok lebih cepat belajar dan menguasai materi yang diajarkan.

“Kini, kolok di Desa Bengkala lebih maju dari pengidap penyakit serupa di daerah lainnya. Selain bisa membuat kerajinan, berkesenian, dan menghasilkan uang sendiri, mereka juga memiliki pergaulan internasional melalui saluran internet,” ujarnya.

Kini, para Kolok itu punya banyak teman di dunia, mereka juga kerap mempromosikan Bali pada masyarakat dunia lewat dunia internet yang mereka mulai kuasai. (haf)***

Respon (106)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *