ADA masa ketika “berdinas” menciptakan sekat yang tak kasatmata, membentuk semacam gravitasi sosial yang menarik orang-orang dengan berbagai ekspresi: senyum lebar penuh harap, tangan gemetar, mencium tangan penuh khidmat, wajah memelas, atau sesekali gebrakan meja dan kata-kata kasar. Sebuah dinamika yang, pada saat itu, terasa biasa saja.
Ada masa ketika langkah kaki selalu diiringi sapaan hormat, di sebuah acara nama disebutkan dengan penghargaan, tempat duduk disiapkan di barisan depan, dan perhatian mengalir seolah sungai tak pernah kering. Meski sesekali, ada juga yang tak peduli—yang melihat tanpa benar-benar melihat, atau yang hanya mengangguk basa-basi.
Ada masa ketika orang berlomba untuk duduk berdekatan atau semeja, berbagi hidangan, atau sekadar bertukar kata dengan kehangatan yang terasa berlebih. Bahkan, tak sedikit yang ingin mengabadikan momen itu dalam foto, seolah momen bersama adalah kenangan yang pantas disimpan dan dibanggakan. Sementara itu, aku lebih menikmati duduk di sudut ruangan, mengamati dan membiarkan semuanya berjalan tanpa perlu banyak terlibat.
Ada masa ketika orang-orang memberi honorarium atau hadiah—di hari raya, di akhir tahun, atau di momen-momen yang dianggap istimewa. Semua tampak seperti bentuk penghormatan, tapi sering kali ada hal lain yang terselip di dalamnya: harapan untuk sesuatu, atau setidaknya membangun jejaring demi satu-dua tujuan yang belum selesai.
Kini, di senja usia, semuanya berubah. Saat-saat seperti itu telah berlalu. Tak ada lagi tangan yang terulur gemetar, tak ada lagi sapaan berlebihan penuh basa-basi. Nama yang dulu bergema dalam undangan resmi kini tenggelam bersama riak aktivitas, seperti ombak yang surut dari pantai. Tak ada lagi pesan di smartphone, tak ada lagi yang datang dengan wajah penuh harap. Bahkan, beberapa yang dahulu begitu akrab kini seakan lupa pernah bersahabat.
Inilah fase baru yang harus diterima dengan lapang dada. Sekarang adalah masa untuk melepaskan, bukan untuk berharap. Masa untuk menikmati keheningan, untuk membangun kembali jalinan dengan dunia yang lebih luas—bukan sekadar lingkaran kecil yang dulu berputar di sekitar jabatan dan kepentingan. Kini adalah waktu untuk menata ulang kehidupan, membangun persahabatan yang lebih tulus, dan menjalani rutinitas yang lebih bermakna.
Dunia baru ini mungkin lebih sederhana, lebih sunyi, tetapi justru di sanalah kenikmatan sejati harusnya ditemukan. Tidak ada lagi beban ekspektasi, tidak ada lagi kepentingan yang membebani langkah. Yang tersisa hanyalah kebebasan untuk menjadi diri sendiri—bukan sebagai sosok yang diingat karena jabatan, melainkan sebagai manusia yang kembali ke hakikatnya; mencari makna dalam kehidupan yang terus berjalan, meningkatkan kualitas diri menjadi pribadi yang utuh, matang, dan sadar—a fully functioning person, yang semakin dekat kepada Ilahi. ***
Suheryana Bae, pernah bekerja sebagai PNS di Timor Timur (Timor Leste), Pemkab Ciamis, dan Pemkab Pangandaran. Kini menikmati masa purnabakti di Ciamis, Jawa Barat.