Spirit Sunan Gunung Djati: Integrasi Agama dan Budaya di UIN Bandung

Oleh Prof. Bambang Q-Anees

6145d659cdcb3
Kompleks makam Sunan Gunung Djati di Cirebon. Nama UIN Sunan Gunung Djati merujuk pada seorang wali, bahkan pemimpin dari walisongo, penyebar agama Islam di Indonesia. Penamaan ini bukan iseng belaka, bukan asal memberi nama. (Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo)

UIN di Jawa Barat oleh pendirinya, pada tahun 1968, diberi nama Sunan Gunung Djati. Nama ini merujuk pada seorang wali, bahkan pemimpin dari walisongo, penyebar agama Islam di Indonesia. Penamaan ini bukan iseng belaka, bukan asal memberi nama.

Penamaan ini mengandung harapan dan visi abadi bagi penyelenggaraan IAIN/UIN di Jawa Barat. Kiprah dan pemikiran Sunan Gunung Djati dapat dijadikan rujukan ihwal visi abadi bagi UIN.

Sunan Gunung Djati adalah sosok yang berkhidmat pada ajaran Islam, yang mengapropriasi budaya lokal dan perkembangan teknologi. Ambil alih dengan ubah sesuai teknologi dapat dilihat dari pengembangan istana Cirebon dan Banten yang mengambil arsitektur lokal, China, dan Belanda. Sementara integrasi tradisi atau budaya dapat ditemukan dalam seni tradisi.

Para pelaku tari topeng Cirebon mengaku bahwa tarian topeng merupakan kreasi dari Sunan Gunung Djati, sebagai bentuk diplomasi kesenian untuk dakwah Islam. Konon pada saat memerintah Kesultanan Cirebon, sekitar 1479, ada serangan yang dipimpin oleh Pangeran Welang dari Karawang yang sangat sakti. Sang Pangeran ini memiliki sebilah pedang bernama Curug Sewu, dengan pedang ini tak ada satupun yang bisa mengalahkannya. Cirebon dalam bahaya, syiar Islam jadi tertunda.

Sunan Gunung Djati memutuskan untuk membentuk kelompok tari topeng –jenis tari ini sudah berkembang jauh sebelum Islam masuk. Sunan Gunung Djati meminta Nyi Mas Gandasari menarikan tari topeng di hadapan Pangeran Welang. Tarian ini rupanya sangat memukau, Pangeran Welang penasaran pada sosok perempuan di balik topeng. Ia jatuh cinta. Ia ingin menemukan sosok asli sang penari, bukan hanya topengnya.

Si penari memberi syarat, “pertemuan dengan yang asli haruslah murni dari hasrat, kemarahan, dan nafsu mengalahkan”. Pangeran Welang menyerahkan pedang pusakanya, Curug Sewu, lalu ia mendapatkan wajah asli yang memukaunya—bukan hanya wajah Nyi Mas Gandasari, namun hakikat kebenaran kehidupan dalam ajaran Islam. Pangeran Welang masuk Islam, Cirebon aman, syiar Islam kembali bergulir.

UIN yang bernama Sunan Gunung Djati berarti menerima diri sebagai penggerak integrasi Islam dan budaya, bukan memisahkan diri –apalagi mengharamkan—budaya. Integrasi itu dapat ditemukan dalam tarian topeng: ada sosok asli dengan pesan hakikat yang diselubungi oleh topeng dan gerak estetik memukau. Islam harus dibungkus estetika rupa, gerak, dan nada yang indah. Islam seperti itu tidak hanya indah untuk dirasakan, namun dapat membuat lawan menjadi kawan.

Selama ini, orientasi pada kebudayaan belum terlihat dalam pengembangan UIN. Oleh karena itu, UIN Sunan Gunung Djati Bandung harus mulai ‘menarikan’ Tari Topeng Panji. Kenakanlah topeng polos dan berwarna putih bersih, hanya terdiri dari mata, hidung, dan mulut tanpa guratan apa pun. Kenakan juga kostum dan atribut yang bernuansa serba putih. Lalu berdirilah secara tegas dan sederhana, berdiri adeg-adeg (berdiri kokoh agar tak tergoyahkan) dengan iringan musik penuh dinamika lagu Kembang Sungsang.

Setelah itu, menarilah Topeng Samba yang dinamis, lucu, dan riang gembira menjalankan perintah agama. Ikutilah tarian topeng Samba dengan iringan lagu Kembang Kapas. Lalu menarilah topeng Rumyang, Tumenggung, dan Topeng Klana. Semuanya menegaskan integrasi, penyatuan diam dan gerak, riang dan refleksi diri, keluar dan kedalam, Islam dan budaya.

Tentu butuh waktu, tetapi bukan berarti tak mungkin. Pada beberapa jurusan, sebenarnya sudah mulai memuat mata kuliah Budaya Sunda, artinya sudah ada beberapa titik tonggak. Di masa depan, perlu pula ada mata kuliah Spirit Sunan Gunung Djati sehingga nama tak sekadar nama. Nama Sang Wali Kutub itu dapat menjadi spirit dan merasuk-rasuk pada yang mengenakan nama. Seperti topeng yang dikenakan pada penari yang memengaruhi pemakainya.

Ya, lihatlah para penari topeng itu. Tanpa topeng, mereka penari wanita biasa. Namun begitu mengenakan topeng, gerakannya berubah, ekspresinya jadi hidup, langkahnya jadi tegas, dan indah. Begitupun dengan nama. Jika nama adalah topeng, begitu seseorang berada dalam nama Sunan Gunung Djati Bandung, karakternya mestinya berubah. Laku hidupnya akan menjalankan petatah-petitih ini:

Ingsun titipna tajug lan fakir miskin. Yen sembahyang kungsi tertaling gundewa. Ibadah kang tetap. Manah den syukur lan Allah. Kudu ngakehken pertobatan. Aku (Sunan Gunung Jati) titip tajug dan fakir miskin. Jika shalat harus fokus seperti tali panah. Ibadah itu harus terus-menerus. Hati harus bersyukur kepada Allah. Harus memperbanyak taubat.

Aja nyindra mubarang. Pemboraban kang ora patut anulungi. Aja ngaji kejayaan kang ala rautah. Jangan mengingkari janji. Yang salah tidak usah ditolong. Jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benar.

Mungkinkah tercapai? ***

Prof. Bambang Q-Anees, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Ketua Lakpesdam PWNU Jabar.

Sumber: uinsgd.ac.id