ZONALITERASI.ID – Di balik perempuan-perempuan hebat, kerap kali ada sosok pria tangguh yang diam-diam membentuk jalan mereka.
Di sebuah sudut di Sidoarjo, Jawa Timur misalnya, Firman Talkah, menjadi sosok ayah yang berhasil mendidik lima anaknya, empat perempuan dan satu laki-laki.
Dari kelima anaknya itu, tiga putrinya sukses menyandang gelar profesor. Anak sulungnya, Prof. (R) Dr. Ir. Anita Firmanti, M.T., pernah menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2023.
Anak kedua Prof. Dr. Anggraini Dwi S., dr., Sp.Rad., Subsp. NKL(K), guru besar bidang neuroradiologi. Dan, anak ketiga, Prof. Dr. Aktieva Tri Tjitrawati, S.H., M.Hum., fokus pada hukum kesehatan nasional.
“Bapak saya itu anak yatim piatu sejak kecil. Bapak dibesarkan oleh pakdenya. Beliau menempuh pendidikan di SGA (Sekolah Guru Atas) dengan beasiswa,” kata putra kedua Firman Talkah, Prof. Anggraini, dilansir dari JPNN.com, Rabu, 14 Mei 2025.
Mengajar di Desa Terpencil
Setelah lulus, Firman mengajar di desa terpencil di Nongkojajar, di kaki Gunung Bromo. Di sana dia bertemu jodohnya—Suwartini yang juga seorang guru desa. Dari pasangan ini, lahir anak-anak yang melesat ke langit ilmu pengetahuan.
Setelah beberapa anak lahir, Firman dan keluarga pindah ke Surabaya. Dia kembali menjadi guru SD, lalu kepala sekolah, hingga akhirnya mendirikan sekolah sendiri. Namun saat itu, dia menyadari masa depan profesi guru cukup menantang.
Dia memutuskan kembali ke bangku kuliah untuk menjadi akuntan dan perlahan hijrah ke dunia swasta.
Namun, kata Prof. Anggraini, satu hal yang tak pernah berubah, sang ayah sebagai sosok pendidik sejati di rumah. Nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan kejujuran menjadi tiang rumah tangga mereka.
“Kami dididik sangat tegas. Dari kecil sudah disuruh membaca koran, dijadwalkan bersih-bersih rumah meskipun ada ART. Kami tidak dimanja, bahkan ketika saya masih SD kelas 3, disuruh jalan kaki dari rumah di Kampung Malang ke Plaza Surabaya,” ujar Anggraini.
Kedekatan Terjaga hingga Dewasa
Sang kakak, Prof. Anita Firmanti, telah lebih dulu menapak puncak karier. Dia lulus Ujian Nasional sejak kelas 5 hingga diterima di IPB tanpa tes. Dia menjadi periset di BRIN hingga menjabat sebagai Sekjen perempuan pertama di Kementerian PUPR. Sementara Prof. Anggraini sendiri diarahkan sang ayah menjadi dokter sejak kecil.
“Dari kecil dibilang enggak boleh jijikan. Begitu lulus, langsung menjadi asisten dosen, lalu dosen FK Unair. Sekarang saya menjadi guru besar neuroradiologi, sudah 30 tahun di RSU dr Soetomo dan sekarang jalan enam tahun di RS Unair,” tutur Prof. Anggraini.
Adik mereka, Prof. Aktieva Tri Tjitrawati, juga menyusul menjadi guru besar di bidang hukum kesehatan dan lingkungan internasional.
“Kami ini perempuan-perempuan yang sangat logis. Cara berpikir kami seperti laki-laki karena didikan bapak. Disiplin, tegas, tetapi sangat penuh kasih,” tutur Anggraini.
Kedekatan mereka dengan sang ayah bukan sekadar soal nilai. Eva sapaan akrab Prof. Aktieva Tri Tjitrawati mengungkap saat masa kecil ketika vaksinasi dia bersama dua saudarinya digendong secara bersamaan ke klinik. Kedekatan mereka terus terjaga hingga dewasa, bahkan terasa seperti teman sebaya antara orang tua dan anak.
“Saat kuliah, kami biasa menelepon bapak dari luar negeri. Rasanya harus cerita, kayak teman. Kalau kami pulang malam, bapak akan menunggu di balik pagar—tanpa marah, cukup diam, tetapi itu membuat kami sungkan. Itu cara beliau mendidik,” ucap Prof. Eva.
Firman Talkah tahu benar pentingnya lingkungan. Tinggal di Kampung Malang yang keras—penuh judi dan mabuk—membuatnya memindahkan keluarga ke kawasan Mulyosari, demi masa depan yang lebih baik.
“Bapak tidak mau kami tumbuh dalam lingkungan seperti itu, tetapi kami juga bersyukur karena hidup di Kampung Malang membuat kami melihat langsung perjuangan hidup. Kami paham betul bagaimana naik kelas sosial itu bukan hal mudah,” kata Prof. Eva.
Kini, tiga putri Firman Talkah menjadi simbol keberhasilan pendidikan, kerja keras, dan cinta tanpa syarat.
“Setelah bapak wafat, saya baru kuliah S3 di usia lebih dari 50 tahun, seperti menepati janji. Beliau wafat di usia 50 tahun pernikahan mereka dengan ibu. Kami sudah menyiapkan pidato anniversary, tetapi takdir berkata lain,” sambung Anggraini dengan haru.
Siapkan Buku untuk Sang Ayah
Mereka pun menyiapkan buku yang akan dibagikan saat pengukuhan guru besar. Sebuah persembahan kecil untuk perjuangan besar sang ayah.
“Ayah kami bukan orang kaya, tetapi dia kaya prinsip. Dia menanamkan kejujuran sebagai nilai mutlak, dan pendidikan sebagai jalan untuk naik kelas sosial,” tuturnya.
Kalimat yang selalu diingat dan diwariskan oleh sang ayah adalah ‘tunggak jarak mrajak, tunggak jati semi‘ yang memiliki arti jika seseorang mengutamakan atau memperhatikan sesuatu (seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, dll), hal itu akan berkembang dan sukses. Hal tersebut pun dia tekankan kepada para mahasiswa yang mengambil jalur bidik misi.
“Saya tekankan itu juga pada mahasiswa bidik misi saya. Ayah saya membentuk mindset yang membebaskan kami dari kemiskinan, dari pola pikir lama dan semua itu dibayar tuntas dengan hasil hari ini,” pungkas Prof. Anggraini. ***