BUDAYA  

Cerpen Papaku Pahlawanku

FOTO SASTRA 12
(Ilustrasi: Tribunnews.com).

Cerpen Papaku Pahlawanku Karya Raisa Nur Adila

HUJAN di sore itu membuat tanah di hadapan Marla basah. Aroma khas hujan segera menguar dan menusuk penciuman gadis itu.

Marla menatap ponselnya yang sedari tadi ia genggam dengan dahi berkerut. Papa belum membalas pesan singkat yang sudah ia kirim sejak satu jam yang lalu. Papa juga tidak menjawab panggilan Marla.

“Belum pulang, Neng? Sudah hampir maghrib…,”

Marla menoleh dan mendapati Pak Satpam sedang tersenyum sambil memegang sebuah payung.

“Belum Pak,” Marla tersenyum kecut, “Nunggu dijemput.”

Pak Satpam mengangguk-angguk sambil tersenyum kemudian berlalu meninggalkan Marla menuju warung di depan sekolah. Tiba-tiba ponsel Marla bergetar, nama Papa muncul pada layarnya.

“Halo, Pa?” Marla menjawab panggilan itu dengan tergesa.

“Halo, Sayang?” Suara Papa sama tergesanya di ujung sana.

“Papa nggak apa-apa?” Sahut Malya dengan cemas.

“Kamu masih di sekolah, sayang? Papa masih ada rapat, jadi sepertinya Papa nggak bisa jemput kamu…,”

“Tapi Papa kan janji mau jemput aku!?” Potong Malya dengan suara tertahan.

“Ya Sayang Papa tahu,” Papa mendesah, “Tapi rapat ini penting sekali. Nanti kita ketemu di rumah saja, ya? Pak Min yang akan jamput kamu. Jangan lupa makan malam.”

“Tapi aku nggak mau pulang sama Pak Min, Pa,” Marla masih belum mau mengalah pada keputusan Papa, “Papa? Pa? Halo?”

Namun sambungan telepon sudah terputus. Marla menatap ponselnya dengan kesal. Ia bisa saja membanting ponsel mahal di tangannya itu kalau saja klakson mobil yang dikendarai Pak Min tidak menyadarkannya.

“Papa nggak bisa jemput, Non,” Suara Pak Min, supir pribadi keluarga Marla terdengar begitu Marla duduk di dalam mobil. Marla tidak menggubris perkataan Pak Min. Ia hanya memandangi rintik hujan lewat jendela mobil sementara mobil terus melaju menuju rumahnya.

Sudah kesekian kalinya Papa seperi itu. Tadi pagi, Papa berjanji pada Marla untuk menjemputnya sekaligus makan malam di luar karena Papa sudah lama tidak menghabiskan waktu dengan Marla. Sekarang Papa malah sibuk rapat dan bahkan mungkin sudah lupa akan rencana makan malam dengannya.

Papa memang nggak pernah meluangkan waktu untuk aku, pikir Marla sedih sambil menghapus air di sudut matanya.


“ Ris, hari ini jadi kan pergi ke toko buku?” Tanya Marla pada Riska sambil merobek bungkus roti cokelat yang baru saja ia beli di kantin sekolah.

“Boleh, tapi kamu udah minta izin sama Papa kamu, kan?”

“Nggak usah,” Marla mengibaskan tangannya dengan santai.

Riska mengerutkan dahinya, “Loh? Kok?”

“Papaku juga nggak akan nyariin aku. Paling Papa pulang malem lagi, sibuk di kantor.”

Riska mengangguk-angguk, “Tapi kamu harus tetap kasih kabar sama Papa kamu.”

Marla cemberut, “Papa juga nggak akan peduli sama aku.”

“Ya ampun Marla… Kamu jangan ngomong kayak gitu.”

“Tapi keadaannya memang benar kayak gitu,” Suara Marla bergetar, “Papa nggak pernah peduli sama aku, Ris.”

“Bukan nggak peduli, Papa kamu sibuk kerja kan untuk kamu juga. Untuk bisa memenuhi semua kebutuhan kamu. Supaya kamu bahagia.” Riska mencoba membuat Marla mengerti.

“Tapi aku nggak bahagia,” Air mata mengalir turun dengan bebas, membuat sungai kecil di pipi Marla, “Kalau Papa sayang sama aku pasti Papa bisa luangin waktu untuk aku, sesibuk apapun beliau.”

Bahu Marla berguncang pelan. Ia berusaha menahan air mata yang terus keluar tetapi ia tidak bisa menghentikannya. Semua emosi dan kesedihan yang selama ini ia pendam akhirnya tumpah ruah. Papa bekerja dengan keras untuk kebahagiaannya tetapi ia sama sekali tidak merasa bahagia. Bahkan materi pun tidak mampu membuatnya bahagia.

Riska menggeser duduknya dan memeluk Marla dengan hangat, mencoba mengurangi kesedihan yang dirasakan sahabatnya.


Marla duduk di ruang makan sambil menyantap nasi goreng buatan Bi Minah. Nasi goreng di hadapannya tampak begitu lezat namun Marla sama sekali tidak berselera.

Papa yang duduk di hadapannya memperhatikan putrinya yang makan dengan malas-malasan, “Ayo, habiskan makannya. Nanti telat ke sekolah.”

“Marla pergi sama Pak Min aja hari ini.” Timpal Marla sambil menyendok nasi gorengnya.

“Loh? Kenapa memangnya?”

“Nggak apa-apa. Papa duluan aja ke kantor, nanti Papa telat kalau harus nunggu Marla selesai makan.”

“Nggak, Papa tunggu Marla, tapi cepat dihabiskan ya makanannya.” Papa mengusap rambut Marla dengan perlahan.

Marla melanjutkan makannya dalam keheningan. Baik Papa maupun Marla tidak ada yang membuka suara sedikitpun.

“Hari ini pulang jam berapa?” Tanya Papa akhirnya setelah menit-menit yang dirasa sangat lama oleh Marla berlalu, “Kita makan di kedai bakmi, yuk?”

Marla mengalihkan pandangannya pada Papa, “Marla mau langsung pulang, Marla banyak tugas dari sekolah.” Ucapnya berbohong.

“Ayo dong temani Papa makan di kedai bakmi. Kita sudah lama nggak pergi bareng, kan? Memangnya Marla nggak kangen pergi berdua bareng Papa? Papa jemput di sekolah jam 3, ya?”

Air mata tiba-tiba menggenang di pelupuk mata Marla, “Papa nggak usah janji kalau Papa nggak bisa nepatin janji itu.” Ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis. Entah mendapat kekuatan dari mana Marla dapat berbicara seperti itu, ia hanya merasa bahwa ia tidak sanggup menahan kesedihannya lagi. Ia tiba-tiba merasa sangat sentimentil karena kejadian beberapa hari yang lalu.

Sorot mata Papa berubah cepat. Marla bisa menangkap kekagetan kemudian berganti dengan rasa sedih pada mata Papa yang cepat-cepat ditutupi oleh beliau. Papa kemudian tersenyum sendu, “Maaf ya Sayang, maafin Papa.”

Marla menghabiskan minumannya kemudian berdiri tanpa menghabiskan nasi gorengnya, “Papa nggak usah minta maaf, Pa. Mungkin Marla yang salah karena terlalu berharap kalau Papa bisa melewatkan waktu bareng Marla lebih banyak lagi, tapi Marla tahu harapan Marla nggak mungkin terwujud. Iya, kan, Pa?”

Kemudian Marla berlalu mendahului Papa menuju garasi. Ia tahu sikap dan perkataannya mungkin telah menyakiti hati Papa tetapi selama ini ia juga merasakan sakit yang sama.


Tidak ada yang lebih disayangi oleh Marla di dunia ini selain Papa. Sejak kecil hingga Marla beranjak remaja Papa selalu menjadi orang terdekat Marla. Bahkan ia cenderung lebih dekat dengan Papanya daripada dengan Mama. Meski begitu, ketika Mamanya meninggal karena kanker saat Marla menginjak usia dua belas tahun, Marla tetap dirundung kesedihan. Dunianya seketika berubah tanpa kehadiran Mama di sampingnya.

Ia seharusnya bersyukur karena masih ada Papa di dekatnya. Namun Marla menyadari bahwa keadaan selalu bisa berubah, keadaan tidak bisa selalu sama dengan apa yang diharapkannya. Ketika ia benar-benar membutuhkan sosok orang tua di sampingnya, Papa justru lebih sibuk bekerja daripada menghabiskan waktu bersamanya.

Marla tahu, mungkin ia harus bisa lebih mengerti keadaan Papa yang selalu bekerja keras untuknya. Marla selalu lebih beruntung jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Hidupnya dilimpahi materi tetapi ia tetap merasa hampa. Marla hanya menginginkan sedikit perhatian dari Papanya dan ia jarang mendapatkan hal tersebut.


Marla membuka pintu rumahnya. Sepi, sama seperti biasanya. Meskipun sepi, biasanya terdengar suara tv dari kamar Bi Minah atau alunan lagu dangdut yang diputar Pak Min di dekat garasi. Namun hari itu benar-benar berbeda, sepi yang dirasakan Marla membuatnya sesak.

Tiba-tiba Bi Minah menghampiri Marla dari halaman belakang dengan tergopoh, “Non, dihubungi dari tadi, hpnya mati, ya?”

Marla menatap Bi Minah dengan bingung, “Iya emangnya ada apa, Bi? Kok panik gitu?”

“Pak Zafran, Non…,” Bi Minah tiba-tiba menangis.

“Papa?” Marla merasakan jantungnya berhenti, tangannya mencengkram rok seragamnya, “Papa kenapa, Bi?!”

“Barusan Pak Zafran pingsan di kantor, terus dibawa ke rumah sakit sama Pak Min. Orang kantor juga banyak yang pergi ke sana. Dari tadi Bibi coba hubungi Non tapi hp Non nggak aktif.” Bi Minah menjelaskan dengan panik.

Tanpa sadar, air mata Marla mengucur deras. Pikirannya hanya dipenuhi oleh satu hal; bagaimana keadaan Papa sekarang?

“Bi, ayo kita ke rumah sakit. Marla mau ketemu sama Papa.”

Bi Minah mengangguk dan memanggil taxi. Keduanya pergi menuju rumah sakit. Marla menggigit bibirnya seiring dengan perasaan cemas yang kian menusuknya. Ia terus melantunkan doa-doa, berharap bahwa tidak terjadi apa-apa pada Papa.


Rumah sakit selalu berbau khas. Marla tidak pernah menyukai bau itu. Campuran obat dan entah apa lagi. Belum lagi suasana sedih yang selalu terasa di rumah sakit. Marla pernah mempunyai pengalaman tidak menyenangkan di rumah sakit, ketika Mama sakit dan akhirnya meninggal di sana.

Marla melangkah, bahkan sedikit berlari menuju kamar di mana Papa terbaring. Ia berlari seperti mengejar harapan-harapan yang tersisa. Marla tidak mau berpikiran buruk mengenai kondisi Papa tetapi hal-hal terburuk selalu datang di benaknya ketika ia panik.

Banyak orang yang menunggu di luar kamar, kebanyakan adalah karyawan-karyawan yang bekerja di perusahaan Papa. Di sana juga duduk Pak Min dengan wajahnya yang dipenuhi kecemasan.

“Pak Min, gimana keadaan Papa? Kenapa sampai bisa pingsan? Papa udah siuman belum?” Marla melayangkan banyak pertanyaan pada Pak Min sambil mencengkram lengan lelaki setengah baya itu.

“Duduk dulu, Non.” Pak Min menepuk bangku kosong di sebelahnya dan menyodorkan sebotol air mineral pada Marla agar gadis itu tenang.

“Pak Zafran pingsan tadi siang, sewaktu mau jemput Non,” Penjelasan Pak Min membuat hati Marla seperti ditusuk-tusuk, “Kayaknya Pak Zafran belum sempat makan, soalnya kata orang kantor beliau buru-buru mau pergi ke sekolah Non.”

Marla mengedip-ngedipkan matanya, menghalau air mata yang siap meluncur lagi. Ia tahu Papa memiliki penyakit maag sehingga jika Papa telat makan maka akan membahayakan kondisi tubuhnya. Ini semua karena Marla. Tiba-tiba Marla menyesali sikapnya yang kasar kepada Papa tadi pagi.

“Non harus bersyukur punya Papa seperti Pak Zafran,” Pak Min tersenyum ketika dilihatnya Marla hanya terdiam, “Pak Zafran bekerja keras sampai sakit cuma buat Non. Beliau pernah bilang sama saya setelah Mama Non meninggal kalau cuma Non yang bisa bikin beliau kuat. Beliau kuat untuk Non Marla. Pak Zafran sayang sekali sama Non.”

Marla memalingkan wajahnya agar Pak Min tidak dapat melihat butir-butir air matanya yang jatuh. Dengan perlahan diusapnya air itu dengan punggung tangannya. Selama ini ia telah salah tentang Papa. Papa tidak seperti yang ia pikirkan. Sekarang, setelah ia kehilangan Mama, ia tidak mau kehilangan Papa juga.

Dokter datang dan berkata bahwa Papa sudah siuman dan sudah bisa ditemui. Rasa lega segera menyusupi hati Marla. Diucapnya syukur berkali-kali. Tanpa membuang-buang waktu lagi Marla segera masuk ke kamar tempat Papa terbaring. Ketika Marla masuk ke kamar tersebut, Papa tersenyum dan melambaikan tangannya agar Marla mendekat. Marla menghambur ke pelukan Papa sambil menangis tersedu-sedu. Papa menenangkannya dengan mengusap-usap rambutnya, seperti yang selalu dilakukannya untuk menghibur putrinya ketika bersedih. Perlakuan Papa membuatnya rindu akan masa lalu, masa-masa di mana ia masih sering melewatkan waktu bersama Papa.

“Maafin Marla ya, Pa? Marla salah, Marla nggak menghargai perjuangan Papa untuk Marla. Marla terlalu banyak menuntut, maafin Marla Pa…,” Marla tersedu-sedu dalam pelukan Papa.

“Papa juga minta maaf, Sayang. Mungkin selama ini Papa nggak memperhatikan Marla, mungkin selama ini Marla merasa sepi, tapi Marla perlu tahu kalau Papa sayang sekali sama Marla, Papa selalu ada setiap Marla butuh Papa.”

Marla menggeleng-geleng, “Papa nggak salah. Marla yang salah karena nggak mengerti kondisi Papa. Makasih ya, Pa untuk semua yang sudah Papa kasih untuk Marla, Marla, Marla sayang banget sama Papa.”

Papa tersenyum sambil memeluk putri kecilnya yang sudah beranjak remaja. Marla memeluk Papanya erat-erat, tidak ingin kehilangan Papa. Bagi Marla, Papa bukan hanya orang tuanya, tetapi juga pahlawan baginya, yang selalu berjuang untuk kebahagiaan dirinya.***

Sumber: Majalah Guneman

Penulis adalah siswa kelas XII IPS SMAN 10 Bandung. Beberapa kali memenangkan lomba menulis pelajar, termasuk tahun 2014 memenangkan lomba penulisan novel islami pelajar yang diadakan Penerbit Mizan Bandung.

Respon (179)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *