BERITA duka menyeruak. Kang Yayat Hendayana (80 tahun) wafat. Sosok flamboyan itu telah tiada. Meninggalkan kesan yang dalam. Bukan cuma wartawan dan budayawan yang sarat prestasi. Melegenda di antara peran intelektual. Kejaran prestasi akademis, justru direngkuh pada usia rehat panjang alias pensiun.
Saat di antara sejawatnya terlelap sepi, dia tampak menggeliat. Mengejar asa tersisa. Tak nyana menapaki tapak studi. Langkah sepi yang tak mudah, ketika rentang panjang tersita. Tujuh tahun silam, meraih gelar doktor bidang sastra. Saat usia senja, 73 tahun. Capaian prestasi luar biasa.
Temu kangen alumni PR di Dago Heritage, 01 Maret 2020 — menjadi kenangan. Tak menduga, kang Yayat meluangkan hadir. Seuntai kata meluncur lewat suara bersahaja. Tampak sumringah, setelah lama tak jumpa.
Terakhir, kami (bersama sohib Hernawan) berkunjung ke rumah almarhum pada akhir 2021. Masih tampak bugar di antara ungkapan kata dan makna. Lagi-lagi, mengalirkan rasa bersahaja.
Terlahir di Bandung, 07 Juni 1943 — kang Yayat lebih kental dan dikenal sebagai sastrawan. Kiprah budayawan yang merambah area wartawan. Aktor pentas teater yang tak surut menatap bidang studi sastra. Berlatar pendidikan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Lanjut International Institue for Journalism (JIJ) Berlin, Jerman, atas beasiswa Unesco.
Saya mengenalnya dalam bingkai prestasi berkelanjutan. Piawai dalam olah kata dan opini Tajuk Rencana “Pikiran Rakyat”. Bersahaja di antara langkah kakinya dan bertata kata. Tak kecuali, saat menjadi Ketua PWI Jabar (1984-1989).
Dalam spasi obrolan, dia mampu mengurai kata dan kalimat kepada stafnya. Itulah transkrip yang esok harinya menjadi materi diskusi forum wartawan. Era 1980-dan, tentu saja — saya masih ecek-ecek di ketiak kewartawanan. Kang Yayat pula yang merilis slogan : Saya Hanyalah Kuli Tinta..!
Menjadi Ketua PWI Jabar di antara anggota DPRD Kota Bandung (1982-1987). Sejak 2003, selepas media “PR” — menjadi Manajer Gedung Kesenian Rumentangsiang, Bandung, dan Sekretaris Kalang Budaya Jawa Barat.
Menulis puisi dalam dua bahasa: Sunda dan Indonesia. Salah satu puisi Sunda mendapatkan Hadiah Sastra Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), 1998. Puisi Sunda gubahannya dikumpulkan berjudul Katiga (1975) dan Sasambat (2005).
Mengimpun puisi yang ditulisnya dari 1973 hingga 2004 dengan tajuk Do’a Angkatan Kami. Pernah membuat karya tulis bersama Lina Meilinawati. Dirilis Sastra Unpad Press pada 2010. Karya 158 halaman berjudul Sastra Drama: Perjalanan, Perkembangan, dan Pengkajiannya.
Selepas dua masa di atas, Kang Yayat berlabuh di lembaga pendidikan tinggi. Berkhidmat sebagai dosen di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan (Unpas) Bandung. Lantas, meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan, dari Prodi Ilmu Sastra Unpad.
Disertasinya berjudul Hadiah Sastra “Rancage” dalam Dinamika Kesusastraan Sunda: Dimensi Kesejarahan, Pragmatis, dan Eksistensi pada sidang terbuka di Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Selasa 9 Februari 2016.
Sidang itu dihadiri Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar; Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. HM Didi Turmudzi, M.Si; Rektor Unpas, Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom., para seniman dan budayawan antara lain pencipta tari Jaipongan, Gugum Gumbira (alm).
Salah satu kesimpulan yang dikemukakan atas hasil penelitiannya berbunyi, “Kegiatan pemberian Hadiah Sastra Rancage mempunyai makna yang besar dalam menunjukkan bahwa kesusastraan daerah masih hidup dan berkembang, tetapi belum bermakna dalam menumbuhkan kesadaran untuk melakukan kegiatan nyata bagi upaya pemeliharaan bahasa daerah, baik oleh masyarakat mau pun pemerintah.”
Almarhum Yayat Hendayana menjadi bagian dari pendiri FFB. Forum Film Bandung yang kini populer di kalangan pegiat film nasional lahir 1987. Para pendiri lainnya Chand Parwez Servia, Eddy D. Iskandar, Edison Nainggolan, Sutardjo A. Wiramihardja, Saini KM, Us Tiarsa, Jakob Sumardjo, Hernawan, Sunaryo, Sofia F. Mansoor, Suyatna Anirun, Hilman Riphansa, Bram M. Darmaprawira, Sudjoko, M.A., Ph.D., dan Duduh Durahman.
Sejumput prestasi almarhum. Masih banyak lagi bisa ditelusuri. Ketika sang legenda itu telah tiada, rasa dahaga mengenang sosok Yayat Hendayana. ***
Imam Wahyudi, jurnalis senior di Bandung.
Sumber: Kejakimpolnews.com