Kepemilikan Guru atas Kemerdekaan Intelektual

Oleh Dadang A. Sapardan

FOTO LITERASI 8
Dadang A. Sapardan, Plt. Sekdis Pendidikan Bandung Barat, (Foto: Dok. Pribadi).

MEMBICARAKAN tentang sosok guru seakan tidak akan pernah ada habis-habisnya. Berbagai bahasan dan telaahan dari berbagai sudut pandang diungkapkan oleh berbagai pihak yang memiliki perhatian terhadap kemajuan ranah pendidikan. Bahasan dan telaahan tersebut menempatkan guru sebagai core-nya. Posisi guru memang termasuk sosok seksi untuk menjadi bahan bahasan karena sepanjang kehidupan ini, sosok guru menjadi sosok sentral dalam ranah pendidikan. Guru terposisikan menjadi tulang punggung keberhasilan pendidikan. Guru menjadi salah satu aktor utama dalam capaian keberhasilan tata kelola pendidikan.

Banyak sekali pandangan yang mengungkapkan begitu strategisnya posisi guru, sehingga melahirkan adagium bahwa kualitas pendidikan tidak akan melebihi kualitas dari guru. Adagium ini menjadi sebuah keyakinan para pemerhati dan praktisi pendidikan, sehingga selanjutnya menjadi bagian dari kebijakan strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sebagai pemegang otoritas kebijakan pendidikan, Kemendikbudistek secara nyata dan terus-menerus melakukan berbagai upaya dengan berbagai terobosan program yang dikemasnya untuk mendorong peningkatan kualitas guru. Berbagai strategi dilakukan dalam upaya melahirkan sosok guru berkualitas yang akan mampu berkontribusi dalam mendorong kemajuan ranah pendidikan.

Langkah untuk terus melakukan treatment terhadap tampilan guru sehingga menjadi sosok yang benar-benar fungsional dilakukan pula oleh berbagai stakeholder pendidikan lainnya. Upaya tersebut menjadi sering pula dilirik oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Government Organisation (NGO) yang bergerak pada ranah pendidikan. Melalui formulasi yang disusunnya, mereka bergerak untuk ikut serta mendorong peningkatan kemampuan guru dengan harapan formulasi yang dilakukannya dapat mendorong lahirnya siswa sebagai generasi masa depan yang handal.

Mencermati regulasi yang berlaku saat ini, guru diposisikan sebagai sosok sentral yang memiliki tugas dan fungsi untuk dapat merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tugas dan fungsi yang tersampaikan tersebut barulah dari sisi kemasan semata, belum mengarah pada sisi substansi sehingga harus dikembangkan lebih jauh. Sekalipun demikian, guru harus care dan acuh dengan berbagai perubahan dan perkembangan dalam ranah pendidikan dan fenomena kehidupan masyarakat, terutama fenomena kehidupan masa depan. Dengan demikian, aktivitas pembelajaran yang dikelolanya memiliki kesejalanan dengan ritme yang diharapkan dalam penyiapan generasi masa depan. Karena itulah, guru harus menjadi sosok futuristik yang mampu menetapkan perkiraan kebutuhan masa depan sehingga ekspektasi dari setiap siswanya dapat benar-benar tercapai.

Dalam kapasitas sebagai sosok futuristik, para guru harus melakukan langkah strategis dalam melaksanakan pembelajaran, sehingga siswa yang mendapat treatment pembelajaran, benar-benar menjadi sosok generasi masa depan yang siap menghadapi tantangan kehidupan yang berbeda dengan masa kini.

Untuk mengarah pada posisi demikian bukanlah perkara mudah. Dorongan internal dan eksternal harus ikut berperan di dalamnya. Kedua faktor tersebut harus bersinergi, sehingga perubahan mind set pada sosok guru tentang pelaksanaan pembelajaran dapat berlangsung.

Guru dengan Kemerdekaan Intelektual

Seorang guru dituntut memiliki kemerdekaan intelektual dalam pelaksanaan pembelajaran. Mereka memiliki otoritas besar dalam melakukan treatment pembelajaran atas setiap siswa yang dihadapinya. Posisi kemerdekaan intelektual sangat dipentingkan karena bisa memosisikan guru sebagai sosok yang menjalankan fungsinya dengan kepemilikan kemerdekaan otoritas intelektual, sehingga mereka dapat menjadi agen pembelajaran atas seluruh siswanya. Dengan demikian, tugasnya untuk menanamkan pengetahuan serta daya nalar pada setiap siswa yang dihadapinya dapat terjadi tanpa dibarengi kehadiran unsur subjektifitas.

Pemosisian guru dalam porsi demikian karena guru menjadi sosok utama sebagai pembela peradaban. Guru adalah pembela peradaban manusia, karena mereka memiliki tugas untuk menyiapkan generasi masa depan yang bisa berperan optimal dalam membangun dan mengembangkan peradaban. Melalui pelaksanaan pembelajaran yang dilakukannya—sadar atau tidak sadar—guru menempatkan diri sebagai penghubung antara siswa dengan peradaban yang kelak akan dihadapi setiap siswanya, sehingga untuk dapat survive pada kondisi masa depan tersebut, guru harus melakukan treatment seoptimal mungkin terhadap setiap siswanya melalui pelaksanaan pembelajaran yang dilakukannya. Melalui guru, para siswa harus dibawa untuk menyelami dan memahami secara komprehensif berbagai anasir peradaban dan fenomena yang tengah dan akan terjadi, sehingga dapat dengan sungguh-sungguh menanamkan sikap beradab dalam sosok setiap siswanya.

Peradaban sering diarahkan pada acuan terhadap identitas atau karakteristik komunitas tertentu dengan kepemilikan unsur budaya yang halus dan indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya. Komunitas masyarakat akan karakteristik demikian telah menempatkan diri sebagai komunitas dengan kepemilikan peradaban tinggi. Namun, kenyataan memperlihatkan bahwa sebuah komunitas berperadaban tinggi masih terarah pada berbagai karakteristik yang bersifat fisik, semisal banyaknya mesin, tingginya teknologi, dan sebagainya. Dengan kenyataan tersebut pemaknaan peradaban terlalu berat pada nuansa yang bersifat fisik semata.

Padahal, dipandang dari sisi arti, peradaban dapat dimaknai sebagai kumpulan sebuah identitas terluas dari seluruh budi daya manusia baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun nonfisik (nilai-nilai, seni budaya, maupun iptek) yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif.

Dalam kaitan dengan itu, guru harus benar-benar melaksanakan pembelajaran yang mengarah pada raihan identitas atas peradaban, baik fisik maupun nonfisik. Namun, pada umumnya tugas guru lebih berada pada sisi bagaimana membangun peradaban pada sisi nonfisik.

Sejalan dengan perkembangan kebijakan pendidikan, tugas guru mengalami perubahan karena tuntutan zaman yang diimplementasikan dalam pemberlakukan kebijakan. Hal itu dimungkinkan karena pendidikan harus benar-benar menyiapkan siswa agar dapat survive dalam dinamika peradaban masa depan.

Hal tersebut menuntut guru untuk selalu cermat dalam menangkap fenomena yang terjadi. Mereka harus mampu menyesuaikan dengan ekspektasi atas berbagai perubahan yang dilatarbelakangi oleh prediksi peradaban masa depan. Dengan demikian, kemampuan guru dalam beradaptasi dengan fenomena perubahan merupakan hal mutlak yang harus dimiliki dan sekaligus dilakukan.

Dalam domain kebijakan pendidikan yang secara teknis harus diimplementasikan oleh setiap satuan pendidikan dengan guru sebagai ujung tombaknya, terdapat tiga core kebijakan program yang harus diformulasikan. Ketiga core program tersebut yaitu implementasi penguatan pendidikan karakter, gerakan literasi sekolah, dan penyiapan kompetensi pemecahan masalah kompleks. Ketiganya merupakan kebijakan strategis untuk menyiapkan setiap siswa agar memiliki kompetensi abad 21. Melalui kebijakan tersebutlah seluruh siswa dimungkinkan untuk dapat mengimbangi persaingan kehidupan dalam peradaban masa kini dan masa depan.

Ketiga core kebijakan tersebut harus mampu diterjemahkan oleh guru, sehingga treatment yang dilakukan terhadap setiap siswanya sesuai koridor dan tidak melenceng jauh. Untuk dapat menerjemahkan dan mengimplementasikannya dengan optimal, harus pula dibarengi dengan pemberian kemerdekaan intelektual.

Simpulan

Sosok guru seakan menjadi bahan diskusi yang tidak akan pernah ada habis-habisnya. Berbagai diskusi dan telaahan dari berbagai sudut pandang diangkat oleh berbagai pihak yang memiliki perhatian terhadap kemajuan ranah pendidikan. Bukan saja unsur pemerintah, tetapi unsur LSM/NGO pun sering pula mengangkat sosok guru sebagai bahasan bahkan menjadi bagian dari program yang diusungnya. Posisi guru memang menjadi sosok seksi untuk menjadi bahan diskusi karena guru menjadi sosok sentral dalam ranah pendidikan. Guru terposisikan menjadi ujung tombak atas keberhasilan pendidikan. Hal itu didukung dengan adagium kualitas pendidikan tidak akan melebihi kualitas dari guru.

Dalam mengimplementasi berbagai programnya, terutama program pembelajaran, guru dituntut memiliki kemerdekaan intelektual. Mereka harus diberi otoritas besar—berdasarkan pemahaman yang dimilikinya—untuk melakukan treatment pembelajaran atas setiap siswanya. Kemerdekaan intelektual sangat dipentingkan karena guru sebagai sosok yang dapat mengantarkan setiap siswa pada peradaban kehidupan masa depan. Dengan demikian, tugasnya untuk menanamkan pengetahuan serta daya nalar pada setiap siswaya—melalui implementasi penguatan pendidikan karakter, gerakan literasi sekolah, dan penyiapan kompetensi pemecahan masalah kompleks—dapat terjadi tanpa dibarengi kehadiran unsur subjektifitas di dalamnya.***

Dadang A. Sapardan, Camat Cikalong Wetan Kabupaten Bandung Barat. Sebelumnya menjabat Plt.  Sekdis Pendidikan Bandung Barat.