Oleh Mudji Hartono
SETIAP akhir Ramadhan pembicaraan antarteman perantauan atau migran selalu tidak jauh dari “Mudik nggak lebaran besok?” Terlebih di lingkaran keluarga terdekat sebagai keluarga perantauan dari Jawa Tengah. Biasanya para perantau ini selalu diskusi tentang mau mudik nggak Lebaran tahun ini? Walaupun para perantau sudah merantau puluhan tahun bahkan sudah ada yang memiliki cucu mudik saat lebaran tiba ada sensasi yang berbeda dibandingkan hari biasa.
Suasana kampung halaman saat Idul Fitri terasa berbeda dengan hari biasanya. Hal ini karena mayoritas keluarga di perantauan mudik dan terkadang hanya dapat berkumpul di Hari Raya. Kampung yang tadinya sepi menjadi lebih ramai daripada hari biasanya. Begitu pula kemacetan lalu lintas di perjalanan menjadi sensasi tersendiri saat mudik. Letih, lelah, dan capek karena perjalanan terbayar saat tiba di kampung halaman dan bertemu dengan kerabat.
Pemerintah resmi melarang masyarakat untuk melakukan mudik Lebaran 2021. Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 No. 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021 (www.kompas.com.10 April 2021)
Sesuai surat edaran pemerintah tersebut tentu saja para perantau tidak bisa melakukan tradisi mudik seperti beberapa tahun lalu sebelum adanya pandemi Covid-19 ini. Sebagai sebagai warga negara tentu saja masyarakat harus mematuhi aturan tersebut. Walaupun ada kerinduan dengan kedua orang tua dan saudara yang lain, masyarakat atau perantau harus mampu mengendalikan diri agar tidak mudik.
Berbicara tentang mudik, tahun lalu begitu ramainya pembahasan tentang kata mudik dan pulang kampung di media massa. Banyak orang berpendapat dan memberikan keterangan yang berbeda tentang makna keduanya. Terkait dengan imbauan pemerintah boleh pulang kampung tetapi tidak boleh mudik.
Menurut Dr. Devie Rahmawati, dosen dan peneliti tetap Program Vokasi Humas Universitas Indonesia yang dimuat di detiknews pada Kamis, 23 April 2020, secara praktik mudik menjadi dekat dengan tradisi para migran yang kembali ke kampung setahun sekali dan biasanya bertepatan dengan perayaan hari keagamaan seperti Lebaran. Sedangkan pulang kampung dapat dilakukan tidak hanya setahun sekali.
Masik kata Dr. Devie, diduga, tradisi mudik muncul pada 1970-an. Menyitir temuan Maman Mahayana, dalam kamus-kamus yang terbit sebelum tahun 70-an, mudik belum diartikan sebagai pulang kampung. Mudik diartikan berlayar ke udik atau pergi ke hulu sungai. Barulah pada Kamus Bahasa Indonesia yang terbit pada tahun 1976, mudik yang bermakna pulang kampung muncul.
Mengapa ada tradisi mudik? Melihat bagaimana mudik baru muncul setelah tahun 70-an, bertepatan dengan masa pembangunan Orde Baru. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa mudik sebagai dampak pembangunan Indonesia yang terpusat di Jakarta. Terjadinya pemusatan pembangunan di Jakarta menyebabkan pemusatan penduduk usia produktif serta aktivitasnya.
Dari keterangan itu, jelas sekali perbedaan makna keduanya. Semoga dengan memahami makna keduanya kita bisa menerima dan mematuhi aturan dari pemerintah untuk tidak mudik Lebaran tahun ini.***
Penulis adalah mahasiwa Jurusan BK IKIP Siliwangi.