“Barang siapa menghendaki kebaikan di dunia maka dengan ilmu. Barang siapa menghendaki kebaikan di akhirat maka dengan ilmu. Barang siapa yang menghendaki keduanya maka dengan ilmu”. (H.R Bukhori dan Muslim).
Peran orang tua adalah menjadi pembimbing dan pendamping anak agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik. Shilphy A. Octavia (2020), dalam bukunya, Motivasi Belajar dalam Perkembangan Remaja mengatakan, “Mendampingi anak-anak dalam tumbuh kembangnya sangat penting. Karena mereka masih mencari jati diri mereka”.
Sementara Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian yang baik, pengendalian diri, berakhlak mulia, kecerdasan, dan keterampilan yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat.
Fatwa-fatwa pendidikan yang penulis kutip di atas, oleh Kementerian Agama, diwujudkan dengan mendirikan madrasah unggul, diberi nama Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC). Semula Kementerian Agama mendapat mandat dua SMA Insan Cendekia dari mendiang Mantan Wakil Presiden RI B.J. Habibie, yang oleh Kementerian Agama berganti nama, menjadi MAN Insan Cendekia. Lalu Kementerian Agama menegerikan MA swasta di Jambi berubah bentuk menjadi MAN Insan Cendekia Jambi.
Untuk beberapa waktu, Kementerian Agama memiliki dan mengembangkan tiga MAN IC tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu dan adanya yudicial review atas Sekolah Bertaraf Internasional tidak berlaku lagi, Kementerian Agama melakukan kebijakan strategis dengan mentransformasikan MAN IC sebagai madrasah unggul tersebut di beberapa Provinsi.
Langkah awalnya dengan mendirikan enam MAN IC, yaitu: (1) MAN Insan Cendekia Aceh Timur; (2) MAN Insan Cendekia Ogan Komering Ilir; (3) MAN Insan Cendekia Siak; (4) MAN Insan Cendekia Pekalongan; (5) MAN Insan Cendekia Bangka Tengah; dan (6) MAN Insan Cendekia Paser.
Kehebatan MAN IC yang telah eksis tersebut, menjadi best practices, yang layak dikembangkan di daerah-daerah lain, maka lahirlah tahap selanjutnya, berdiri 8 MAN IC, yaitu: (1) MAN Insan Cendekia Padang Pariaman; (2) MAN Insan Cendekia Kota Batam; (3) MAN Insan Cendekia Tanah Laut; (4) MAN Insan Cendekia Sambas; (5) MAN Insan Cendekia Kota Kendari; (6) MAN Insan Cendekia Kota Palu; (7) MAN Insan Cendekia Sorong; dan (8) MAN Insan Cendekia Halmahera Barat.
Sementara babak terakhir, yang penulis cermati adalah berdirinya tujuh MAN IC, yaitu: (1) MAN Insan Cendekia Gowa; (2) MAN Insan Cendekia Tapanuli Selatan; (3) MAN Insan Cendekia Lombok Timur; (4) MAN Insan Cendekia Pasuruan; (5) MAN Insan Cendekia Lampung Timur; (6) MAN Insan Cendekia Kota Palangkaraya; dan (7) MAN IC Sumedang.
Kahadiran MAN IC di Nusantara ini telah mematahkan anggapan bahwa madrasah yang selama ini sebagai sekolah kelas dua, sekarang telah melampaui zamannya, menjadi sekolah papan atas, terbukti dari capaian ujian nasional yang menempati ranking teratas di setiap provinsi bahkan nasional. Prestasi yang membikin kagum lainnya adalah kualitas lulusannya yang mampu menembus perguruan tinggi terbaik di dalam negeri dan banyak di antaranya mampu menembus ke luar negeri. Belum lagi soal prestasi akademik dan non akademik dalam pelbagai ajang kompetisi nasional dan internasional.
Penulis diberikan kesempatan hadir untuk mendapatkan penjelasan secara komprenshif tentang MAN Insan Cendekia, dalam acara yang didesain sebagai Daftar Ulang dan Studium General Penerimaan Peserta Didik Baru, dalam kapasitasnya sebagai Wali Siswa. Dalam waktu yang bersamaan juga didaulat sebagai narasumber di MAN Insan Cendekia Kota Pekalongan dalam acara tersebut.
Memori penulis melayang ke masa lalu, ketika diberikan mandat menjadi Sekretaris Projec Managemen Unit (PMU) MAN IC, mendampingi Ketua PMU Suwardi Kumis dan berhasil mengantarkan berdirinya sejumlah MAN IC di atas. Mendesain madrasah unggul berbasis asrama, menjadi kesempatan yang membanggakan.
Dari mulai pembangunan fisik, penataan kelembagaan, rekrutmen Kepala Madrasah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan, siswa dan bagaimana penciptaan suasana pembelajaran menjadi konsen awal, dalam bentuknya kurikulum pembelajaran. Pilihannya adalah menjadi Madrasah Berasrama, agar para siswa konsen tidak saja pada ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga keagamaan (tafaqquh fiddin) secara berimbang.
Saya hanya bagian kecil, pegawai yang menjalankan tugas para pimpinan. Waktu itu masih sebagai Kepala Seksi Sarana Prasarana pada Subdit Sarpras Direktorat Pendidikan Madrasah, yang waktu itu bertindak sebagai Direktur dijabat oleh Prof. Phil. H. Muhammad Nur Cholis Setiawan, M.A., Ph.D. Dapat dikatakan sebagai asaabiqunal awwalun, ketika MAN IC mulai diserahkan kepada Kementerian Agama RI. Masa-masa awal yang heroik, penuh perjuangan, dan dibutuhkan manusia-manusia yang pemberani sekaligus hati-hati. Profil pimpinan madrasah yang kreatif-inovatif di tengah keterbatasan masa awal.
Efektifitas Kolaborasi
MAN IC adalah buah dari kolaborasi dan sinergi Kementerian Agama dengan Pemerintah Daerah, yang sukses. Saling membutuhkan dan mengisi untuk mendesain madrasah unggul. Tidak semata-mata memenuhi selera pasar (market orientation), tetapi lebih dari itu, sebuah tujuan mulia, untuk membentuk karakter anak yang unggul dengan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sekaligus iman dan taqwa (IMTAQ).
Pemda yang bersedia berkolaborasi, harus berkomitmen menyediakan dan menyerahkan tanah seluas 10 hektare kepada Kementerian Agama, untuk pembangunan fisik MAN IC. Membangun infrastruktur jalan, pagar keliling, penerangan, dan sarana lain yang dibutuhkan. Sementara Kementerian Agama menyediakan pembangunan gedung madrasah lengkap dengan sarana dan prasarananya. Ruang kelas, ruang guru, laboratorium, rumah guru, asrama siswa hingga perpustakaan.
Bagi penulis, hadirnya MAN Insan Cendekia amat tepat di tengah masyarakat membutuhkan layanan pendidikan unggul berbasis agama. Dapat dikatakan ini adalah model kolaborasi efektif Kementerian Agama-Pemerintah Daerah, dalam pengembangan pendidikan Islam. Beberapa pakar mengatakan langkah strategis yang brillian, untuk mengatasi ruang-ruang kosong pendidikan unggul di negeri ini.
Sudah lazim terjadi biasanya kolaborasi dengan pemerintah daerah, hanya bersifat pragmatis (sesaat) bahkan kadang politis. Tetapi mewujudkan pendidikan masa depan adalah langkah idealis berdimenasi jangka panjang, untuk mendukung pendidikan seumur hidup (long life education) dan pendidikan untuk semua (education for all).
Dalam konteks pendidikan untuk semua, maka hadirnya MAN IC di Kabupaten/Kota memberikan harapan baru kepada anak-anak bangsa yang tidak sempat studi pada madrasah/sekolah unggul di kota-kota besar. Saya menyebutnya dengan strategi “timbo moro sumur, bukan sumur moro timbo”. Artinya madrasah (sumur) yang hadir, mendekati peserta didik (timbo) sebagai kawah candradimuka kaderisasi intelektual dan moral.
Model Pendidikan Berasrama
Pondok Pesantren adalah model pendidikan berasrama (boarding school) yang sangat sukses dan menjadi qiblat siapapun, yang mau mendirikan pendidikan sejenis. Para santri, ustadz dan kyai tinggal satu tempat yang mendorong efektifitas pendidikan yang integratif.
Penanaman akhlakul karimah (karakter) menjadi ciri utama, tanpa mengabaikan capaian intelektual (tafaqquh fiddin). Santri yang cerdas diukur tidak saja pada capaian kecerdasan intelektual (Intelectual Quotion-IQ) tetapi juga dilihat dari kecerdasan emosional (emotional intelleigence-EQ), bahkan kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence-SQ).
Setidaknya dari sisi penyelenggaraan pendidikan berbasis asrama, akan meniru (copy paste) pondok pesantren dengan kreasi dan inovasi. Salah satu wujudnya adalah penguatan pada sains dan teknologi. Sehingga komitmen keilmuan dan keagamaan bisa berjalan beriringan tanpa menafikan salah satunya.
Pengelola asrama MAN Insan Cendekia direkrut dari alumni pondok pesantren yang memiliki kompetensi kitab kuning (al kutub al-turats) dan bergelar sarjana. Struktur organisasi MAN IC salah satunya adalah membidangi Waka Madrasah Bidang Asrama. Hal ini menunjukan keseriusan Kementerian Agama, bahwa MAN IC mampu melahirkan orang-orang masa depan yang dibutuhkan zaman.
Dalam rancangan kurikulum awal pendirian MAN Insan Cendekia, ada sejumlah tagihan kitab-kitab yang harus dikuasai siswa (santri). Dari mulai aqidatul awam, safinatun najah, imrity, juga untuk membekali sang pencari ilmu dengan ta’limul mutaallim. Walau masih kitab-kitab dasar di pesantren, tetapi sebagai sebuah disain madrasah unggulan menjadi penting.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia adalah model Pendidikan Unggul ala Pesantren. Sebuah dialektika manajemen Pendidikan Islam yang kaya akan hazanah pengetahuan di satu sisi dan kuat akan karakter di sisi lainnya.
Semoga eksistensi MAN IC dapat menjadikan anak-anak bangsa ini menemukan kebenaran dengan ilmu dan ketaqwaan, sebagaimana kata Filosof Socrates (469-399 SM) bahwa pendidikan adalah suatu sarana yang digunakan untuk mencari kebenaran, sedangkan metodenya adalah dialektika. Wallahu a’lam bi al-shawab. ***
Ruchman Basori, Kepala Pusat Pembiayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan (Puspenma) Setjen dan Sekretaris PMU MAN Insan Cendekia 2013-2015.
Sumber: Kemenag.go.id