Memperdebatkan Stigma Masyarakat terhadap Perempuan

20190610 121255 01 01 5cfdeec10d82302630498fa8
Cover buku Muslimah yang Diperdebatkan karya Kalis Mardiasih, (Foto: Meita Eryanti)

Judul: Muslimah yang Diperdebatkan

Pengarang: Kalis Mardiasih

Penerbit: Buku Mojok

Halaman: xii + 202 halaman

SAYA merasakan perubahan besar setelah membaca sebuah buku untuk kesekian kalinya. Salah satunya adalah buku ciptaan Kalis Mardiasih yang berjudul “Muslimah yang Diperdebatkan”. Sebagai seorang muslimah, tentunya saya merasa aneh, sekaligus kagum saat melihat judulnya. Bagaimana tidak, tulisannya sangat padu untuk menggambarkan kegelisahan perempuan-perempuan yang hidup di negeri yang kaya akan perbedaan ini.

Di awal bab, saya mendapatkan banyak esai tentang hijab, jilbab, kerudung, dan apa yang melekat pada tubuh perempuan, serta stigma yang akan menempel saat mengenakannya. Seakan-akan setiap perempuan di dunia ini selalu punya hujatan masing-masing, bahkan dalam hal berpakaian. Tidak pakai hijab dibilang tidak saleh, dibilang bukan muslimah, bahkan dibilang bukan Islam. Lalu disalahkan jika menjadi korban pelecehan seksual karena pakaiannya.

Bagaimana dengan yang berhijab syar’i? Mereka dibilang saleh, agamis, tapi tiap gerak geriknya selalu diawasi. Salah sedikit bisa dikomentari sampai habis. Diawali dengan “Maaf sekedar mengingatkan…”, lalu hadis diluncurkan, dan kalimat-kalimat nasihat mengikuti dengan mulus. Padahal, mungkin saja itu cuma tidak pakai kaus kaki karena hujan, atau karena menaikkan sedikit kerudung agar tidak terkena air kotor saat mencuci piring. No comment for this section.

Tidak hanya seputar pakaian, perihal akhlak pun disebutkan dalam buku ini. Seperti tradisi “Maaf sekadar mengingatkan” yang akhirnya malah menyinggung seseorang, dan etika menasihati tanpa tuduhan “kafir” sambil mencaci maki. Lalu tentang adab suami-istri yang banyak dibahas setelah menyinggung tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Jelas lah, sudah terlalu banyak kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang mengerikan. Hanya karena masih ada laki-laki yang merasa lebih superior dibandingkan perempuan. Seorang istri harus kehilangan kakinya oleh sang suami karena tidak becus mengurusi keluarga. Padahal persoalan rumah tangga dapat diselesaikan secara bersama-sama, tidak harus memihak pada satu orang. Sungguh perempuan itu butuh kesetaraan dan keadilan gender.

Untuk sebuah buku islami yang membahas tentang perempuan, buku ini terbilang milenial. Sangat dekat dengan kasus-kasus terkini. Misalnya, dalam bab “Ema Minggat dan Kita Sibuk Berdebat Siapa yang Harus Angkat Galon”. Cerita mainstream tentang seorang kapster di salon dekat rumah penulis yang rela bekerja apa saja demi mencari nafkah untuk keluarga, menjadi pengantar kasus pembangunan di Kendeng, Jawa Tengah. Melibatkan ibu-ibu untuk mempertahankan tanah mereka yang akan dijadikan pabrik semen. Disinggung juga kasus Yuyun, gadis Bengkulu berusia 14 tahun yang diperkosa 14 pemuda, yang diawali dengan cat calling dan berakhir dibunuh dengan tragis.

Buku yang lahir di tahun 2019 ini membawa saya pada perspektif lain dari banyak perempuan-perempuan di berbagai wilayah, dari dalam, maupun luar negeri. Bab “Jilbabku Bukan Simbol Kesalihan” cukup membuka pandangan saya pada orang-orang yang memilih untuk berhijab dan yang memilih untuk melepas hijabnya. “Percayalah, memakai simbol kesalehan lalu berjualan oleh-oleh dengan label islami bukanlah jalan hijrah satu-satunya”. Begitulah penggalan kalimat yang mengimbangi cerita seorang muslimah di Inggris yang masih sulit memberikan hak kerja pada hijabers. Lalu cerita seorang selebriti yang melepas hijabnya karena merasa hijrahnya terlalu terburu-buru. Hal itu mengingatkan saya dengan hijab panjang saya dan akhlak saya yang belum seindah hijab yang saya kenakan.

Sayangnya, buku kumpulan esai ini masih belum bersahabat di kalangan orang-orang sibuk yang lebih menyukai novel dan karangan fiksi. Bagi orang awam yang baru pertama kali membaca buku seperti ini, biasanya akan memakan waktu lebih lama untuk menghabiskannya ketimbang membaca buku cerita yang dua kali lipat lebih tebal ukurannya. Di akhir buku terbitan Buku Mojok itu, Kalis mengajak pembaca untuk terus mendukung perjuangan perempuan mendapatkan hak mereka. Terlepas dari banyaknya hak tertulis tentang perempuan dan anak, perempuan masih kesulitan untuk mendapatkan kesetaraan, keadilan, perlindungan korban, dan hak untuk melawan di negeri ini. Selamat Hari Perempuan Internasional, Jangan biarkan perempuan berjuang sendirian. (Aulia Rachma Febriani/IsolaPos.com).