Mengungkap Resolusi Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Era Digital dari Kampus UPI

WhatsApp Image 2025 02 11 at 12.10.00
Program Studi Diksatrasia FPBS UPI Bandung dan Alumni Diksatrasia Angkatan ’90 menggelar Seminar Nasional bertajuk “Resolusi Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Era Digital” Sabtu, 8 Februari 2025. (Foto: Dok. Diksatrasia IKIP Bandung '90).

ZONALITERASI.ID – Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Diksatrasia) FPBS UPI Bandung dan Alumni Diksatrasia Angkatan ’90 menggelar Seminar Nasional bertajuk “Resolusi Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Era Digital”. Kegiatan berlangsung di Gedung Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI), Jalan Dr. Setiabudi Bandung, pada Sabtu, 8 Februari 2025.

Pada saat bersamaan juga diselenggarakan Reuni Alumni Mahasiswa Jurusan Diksatrasia FPBS IKIP Bandung Angkatan ’90.

Adapun pembicara yang tampil dalam seminar yaitu, Prof. Dr. Sumiyadi, M.Hum. (Guru Besar FPBS UPI), Nenden Lilis Aisyah (Sastrawan), serta Prof. Dr. Katubi, M.Hum. (Peneliti Utama dan Kepala Pusat Riset Bahasa dan Sastra BRIN/Badan Riset dan Inovasi Nasional). Seminar dimoderatori oleh Dr. H. Asep Rudiana, M.Pd..

Dalam pemaparannya, pembicara seminar, Guru Besar FPBS UPI, Prof. Sumiyadi, menyoroti mengemukanya pembelajaran digital saat pandemi Covid-19 pada 2019.

“Ada hikmah di balik pandemi Covid-19. Saat itu, dilakukan visualisasi kegiatan belajar mengajar melalui optimalisasi teknologi digital. Melalui upaya itu kita masih bisa menyajikan pembelajaran secara maksimal,” ucap Prof. Sumiyadi.

Selanjutnya Prof. Sumiyadi memaparkan, mengutip buku Learning First, Technology Second: The Educator’s Guide to Designing Authentic Lessons karya Liz Kolb, dalam proses pembelajaran harus terjadi Triple E, yakni:

1. Engagement (Pelibatan),
2. Enchancement (Peningkatan), dan
3. Extention (Perluasan).

“Oleh karena terjadi perubahan besar paradigma dalam proses pembelajaran, terutama yang melibatkan pemanfaatan teknologi, maka sebagai pendidik, kita harus selalu siap beradaptasi. Berdasarkan pendapat Mark Ferusky yang membagi manusia modern, kini terbagi dua jenis interaksi dengan teknologi yaitu Digital Imigrant dan Digital Native,” tuturnya.

“Ternyata sebagian pendidik berusia lanjut adalah kelompok digital imigrant. Maka, tidak ada pilihan lain untuk dapat mengimbangi perkembangan kemajuan pembelajaran bahasa dan sastra adalah dengan selalu beradaptasi dan siap mempelajari segala hal yang baru,” imbuh Prof. Sumiyadi.

Sementara Peneliti Utama dan Kepala Pusat Riset Bahasa dan Sastra BRIN, Prof. Katubi, membahas materi bertajuk “Menyemai Bibit Sehat Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia melalui Internet”.

Menurutnya, anggapan yang menyebutkan internet melampaui batasan waktu, jarak, dan geografis, memang benar. Namun, ia mempertanyakan keberadaan bahasa di tengah era internet.

“Pada awalnya, internet hampir 100% berbahasa Inggris. Pada tahun 1990-an, persentase bahasa Inggris menurun dari hampir 100% menjadi 80%. Tahun 2000-an merupakan titik balik bagi internet multibahasa bagi para penggunanya. Pengguna non-berbahasa Inggris mencapai 50%,” ujarnya.

Kata Prof. Katubi, berdasarkan kondisi itu, muncul pertanyaan, akankah web memiliki bahasa sebanyak yang digunakan di planet kita? Ini menjadi tantangan yang cukup berat, dengan sekitar 6.700 bahasa terdaftar dalam The Ethnologue: Languages of the World, sebuah katalog resmi yang diterbitkan oleh SIL Internasional.

“Keragaman bahasa di dunia kurang tercermin di internet dan perkiraan menunjukkan bahwa 90% bahasa di dunia tidak terwakili (UNESCO, 2004). Selain dominasi kuantitatif bahasa Inggris dan bahasa mayoritas lainnya, penting untuk diketahui bahwa aspek dominasi sosial ditemukan di internet, hal itu seperti halnya di dunia nyata. Ada indikasi bahwa ketidakseimbangan dalam kekuasaan dan otoritas relatif bahasa mayoritas dan minoritas dipertahankan di internet, terutama ketika komunitas bahasa bertemu,” terangnya.

Kesenjangan Digital dan Bahasa Minoritas

Prof. Katubi menjelaskan, eksklusi digital cenderung mengikuti pola eksklusi sosial yang ada. Ketika komunitas bahasa minoritas sudah dikecualikan secara sosial, mereka juga cenderung dikecualikan secara digital.

“Sehubungan dengan masa depan bahasa yang terancam punah, internet mempercepat segalanya. Jika orang tidak peduli tentang pemertahanan/pelestarian bahasa, internet dan globalisasi yang menyertainya akan sangat mempercepat kematian bahasa-bahasa yang terancam punah. Jika orang benar-benar peduli untuk mempertahankan/melestarikan bahasa dan kebudayaannya, internet akan sangat bisa membantu dengan memanfaatkan keberadaannya,” terangnya.

“Dengan keragaman bahasa yang luar biasa, Indonesia dapat menjadi perintis gerakan menyehatkan bahasa-bahasa daerah dengan memanfaatkan internet. Penuhi dunia digital dengan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Buat konten digital berbahasa daerah dari Indonesia,” pungkas Prof. Katubi.

Pada kesempatan sama, sastrawan Nenden Lilis Aisyah, menyoroti “Alternatif Pembelajaran
Penulisan Kreatif Sastra di Era Digital”.

Nenden menyebutkan, mengutip pernyataan Eppo Nuotio, Dramawati dan Penulis Finlandia, ada beberapa profesi di dunia yang akan berlangsung selamanya. Profesi itu yakni Dokter atau Perawat, Guru, Tukang Bangunan, dan Tukang Bercerita.

“Bagaimana dengan di era digitalisasi? Banyak peran dan fungsi dari profesi-profesi tersebut yang terenggut. Ada dampak positif dan negatif dari penggunaan teknologi digital. Dalam posisi itu guru kembali lagi mengambil peran bukan sekadar pentransfer pengetahuan, tapi kembali pada fungsi pendidik,” ucapnya.

Menurut Nenden, guru mengambil perannya dengan menambal dan melakukan metode yang menjaga sesuatu yang akan hilang akibat dampak negatif tersebut dengan tetap menjaga minimal potensi dasar kemanusiaan.

“Guru harus mengembangkan pembelajaran yang menekankan proses, pengalaman dan penghargaan emiris, interaksi sosial, penyegaran mental dan pemaknaan,” tandas Nenden.

Berkumpul dan Menambah Wawasan

Sementara Ketua Pelaksana Seminar dan Reuni, Dr. H. Asep Rudiana, M.Pd., mengatakan, setelah lebih dari tiga puluh tahun Alumni Mahasiswa Jurusan Diksatrasia Angkatan 90 menyelesaikan pendidikan di IKIP Bandung, muncul keinginan untuk bertemu dan berkumpul kembali dalam satu wadah.

“Untuk memfasilitasi aspirasi tersebut, kami menyelenggarakan kegiatan reuni satu angkatan (alumni Diksatrasia Angkatan ’90). Selain itu, melalui penyelenggaraan seminar di tengah reuni, menjadi ajang untuk menambah wawasan kami seputar pengajaran bahasa dan sastra Indonesia teraktual,” kata Asep.

Asep juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung terselenggaranya Seminar Nasional “Resolusi Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Era Digital” serta Reuni Alumni Mahasiswa Jurusan Diksatrasia FPBS IKIP Bandung Angkatan ’90.

“Terima kasih kepada Travel Haji, Umroh dan Wisata Halal PT Harmony Prima Pratama; penerbit Pustaka Jaya; serta semua alumni Diksatrasia ’90 yang mendukung kegiatan ini. Tanpa dukungan dari semuanya, kegiatan ini tak bisa terselenggara dengan lancar,” kata Asep. (des)***