ZONALITERASI.ID – 90 persen pendidikan tinggi di Indonesia adalah swasta (PTS). Namun nyatanya, pemerintah justru mengucilkan kehadiran mereka.
Komisi X DPR RI dengan lantang membuka ketimpangan pemerintah melalui berbagai kebijakannya yang lebih menganakemaskan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Nadiem Makarim sebagai Menterian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun jadi sorotan tajam dari Komisi DPR yang bertugas mengawasi bidang pendidikan tersebut.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyesalkan sikap menteri Nadiem yang terkesan ogah berkomunikasi dan berkoordinasi secara langsung dengan perangkat kependidikan PTS.
Bahkan Faqih menyebut Nadiem mestinya mau langsung ‘turun gunung’ agar mendapatkan informasi lebih detail mengenai problematika terkini yang mendera sektor pendidikan tinggi PTS di tanah air.
Menurutnya, masalah di lapangan terkadang sulit dipahami apabila hanya membaca data-data teknis yang disampaikan oleh pejabat di bawah.
“Maka pemimpin perlu turun langsung untuk melihatnya,” tegas Faqih falam siaran tertulisnya, Rabu (10/5/2023).
Faqih menegaskan, dirinya menyampaikan hal itu setelah mendengar banyak masukan dari kalangan perguruan tinggi PTS, termasuk juga PTN serta para ahli pendidikan, terkait munculnya beragam persoalan di kampus-kampus di tanah air.
“Salah satunya masukan agar mas Menteri (Nadiem Makarim) lebih sering ‘turba’, turun ke bawah mengunjungi kampus-kampus, baik negeri maupun swasta,” tegas politisi Fraksi PKS tersebut.
Faqih pun membeberkan, setidaknya ada empat hal yang menjadi polemik di dunia pendidikan tinggi di Indonesia saat ini, seperti dijelaskan berikut:
1. PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) Minim Kontrol
Faqih menyebut, evaluasi pelaksanaan PTN-BH di 11 universitas minim kontrol dari pemerintah, terutama dalam hal pengelolaan keuangan dan penerimaan mahasiswa. Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa aset PTN-BH tetap milik negara.
Artinya, lanjut Faqih, PTN-BH tetap wajib diaudit dan harus mempertanggungjawabkannya secara hukum terkait pelaporan keuangan. Bukan hanya itu, banyak sekali PTS yang meminta perimbangan keuangan dari APBN.
2. Kuota Mahasiswa Baru PTS Tergerus PTN
Tidak sedikit kampus PTS yang mengeluhkan kuota penerimaan mahasiswa baru di PTN-BH yang tidak terkontrol setiap tahunnya yang mencapai puluhan ribu. Rakusnya PTN dalam penerimaan mahasiswa baru ini sangat berpotensi mematikan PTS-PTS yang ada.
Pemerintah harusnya hadir untuk mengintervensi persoalan yang ada, demi keseimbangan anggaran Pendidikan tinggi di Indonesia.
“Terutama karena jumlah PTS lebih besar dari PTN (90 persen kampus adalah PTS),” tegasnya.
3. 96 Persen Anggaran Negara Dilahap PTN
Realitanya, PTN selama ini menjadi pendidikan tinggi yang paling dimanja negara. Betapa tidak, PTN mendapat kucuran anggaran mencapai 96 persen. Lalu PTS yang jumlah mahasiswanya mencapai 72 persen, cuma kebagian “ampasnya”, 4 persen saja.
Meski saat ini diberlakukan skema competitive fund atau peluang PTN sama dengan peluang PTS, tetapi dalam dukungan anggaran negara masih terlalu jomplang.
4. 4 Ribu Dosen Keluhkan Permen PAN RB No 1 Tahun 2023
Peraturan Menteri PAN-RB nomor 1 tahun 2023 tentang jabatan fungsional, sungguh memberatkan kalangan akademisi pendidikan tinggi dalam hal beban administrasi yang harus dikerjakan.
Buktinya, legislator Dapil Jawa Tengah IX ini mengungkap tentang tandatangan petisi 4 ribu dosen di laman change.org yang bertajuk: ‘Mendikbud, Batalkan Deadline 15 April yang Mematikan Karier Dosen!’.
Beban administrasi tersebut belum termasuk terintegrasinya sistem informasi yang digunakan untuk meng-input kredit dan kinerja para dosen termasuk mepetnya deadline yang diberikan.
“Hal ini membuat kredit yang telah dikumpulkan para dosen terancam hangus,” ujar legislator Dapil IX Jateng ini.
5. Rancangan Permen tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (RPM PM-PT)
RPM PM-PT merupakan turunan dari UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Menurutnya, RPM PM-PT tersebut menuai beragam tanggapan dan masih dalam proses. Meski DPR RI tidak terlibat dalam pembahasannya, tetapi penerbitan aturan ini jangan sampai berbenturan dengan peraturan di atasnya, sesuai dengan ketentuan UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan.***