ZONALITERASI.ID – Berjumpa dengan Indra Tohir, pelatih legendaris yang membawa Persib juara Divisi Utama Perserikan 1993/1994 dan Juara Liga Indonesia 1 1995/1996, membuka wawasan mendalam seputar persepakbolaan.
Pelatih terbaik Asia 1996 itu, banyak berbicara baik perihal Persib maupun Timnas Indonesia. Di mata pria kelahiran Bandung, 7 Juli 1941 itu, persepakbolaan saat ini telah bergeser.
Zaman dulu, lanjut pensiunan dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (FPOK UPI) itu, baik pemain maupun pelatih tak berpikir materi. Yang penting, bermain total dan menunjukkan prestasi terbaik.
“Saya pertama kali melatih Persib tahun 1984. Saya masih ingat, honor saya di Persib mulai Rp. 2500, Rp. 5000, hingga Rp. 10.000 per hari. Terakhir, kalau dihitung-hitung honor saya rata-rata Rp. 200 ribu per minggu. Namun, itu tak jadi halangan untuk melatih maksimal. Buktinya, saya bisa membawa Persib Juara Divisi Utama Perserikan 1986, 1990, dan 1994. Bahkan, saat Liga Indonesia I bergulir, pada 1995, Persib menjadi juara,” terang Tohir, kepada Zonaliterasi.id, di Kampus STKIP Pasundan Cimahi, beberapa waktu lalu.
Dituturkannya, berbeda dengan era sebelumnya, saat ini unsur bisnis begitu merasuk dalam sepak bola Indonesia. Mulai induk organisasi sepak bola, klub, hingga orang tua, memandang sepak bola sekadar ladang untuk mencari uang.
“Lebih parahnya lagi, kondisi itu merasuk kepada anak-anak yang ingin menjadi pesepak bola. Anak-anak yang baru berumur 16 tahun misalnya, lebih mementingkan karier di sepak bola daripada pendidikan. Padahal, jika berkaca ke Eropa, mereka baru ditawari untuk memilih menjadi pemain bola profesional atau tidak saat usia 19 tahun,” ungkap Thohir.
Percaya Diri
Selanjutnya Thohir mengungkapkan, salah satu kiat dirinya mencapai prestasi mumpuni yaitu kawani (keberanian). Dirinya begitu percaya diri saat ditunjuk menjadi pelatih Persib.
Menurut pelatih yang juga membawa Persikabo ke Divisi Utama pada 1997 ini, keberanian itu ia tunjukkan saat memilih pemain dan memompa mental pemain.
“Pemain yang saya pilih memang pemain menonjol di posisinya masing-masing. Saya tak memilih pemain sembarangan. Saya pun terus menerus memompa mental pemain agar tampil percaya diri di lapangan. Selain itu, kebanggaan terhadap Indonesia saya tanamkan. Dari situlah semangat mereka untuk tampil maksimal muncul,” katanya.
Diungkapkan Thohir, bagi seorang pelatih sepakbola, hal pertama yang harus dikuasai yaitu dasar-dasar kepelatihan. Itu menjadi fondasi untuk menerapkan kepelatihan yang baik.
“Jika tidak, pelatih sepakbola tidak akan memiliki metoda melatih yang baik. Visinya untuk membentuk tim tidak tergambar secara jelas. Pelatih model ini hanya melatih sekadarnya saja,” terang Thohir yang kini masih aktif mengajar di Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan STKIP Pasundan Cimahi.
Tak Berkembang Optimal
Menyinggung tim Persib era kini, Thohir menyayangkan kerap tersingkirkannya pemain-pemain asli Bandung oleh pemain asing. Kondisi demikian, membuat pemain lokal tak bisa berkembang optimal.
“Regulasi PSSI yang membolehkan klub Liga 1 mengontrak maksimal 5 pemain asing sangat merugikan pemain lokal. Mereka menjadi jarang dimainkan. Padahal saya yakin kualitas pemain lokal juga bagus-bagus. Saat Persib menggunakan 100 persen pemain lokal pada Liga Indonesia 1995/1996, berhasil memboyong juara,” cetusnya.
“Kalaupun akan memakai pemain asing, ya jumlahnya jangan banyak-banyak. Cukup maksimal 3 pemain saja. Perekrutan pemain asingnya pun harus selektif. Mereka yang berkualitas dan memiliki kemampuan di atas rata-rata, baru bisa direkrut oleh klub. Bila kualitas pemain asingnya sama atau di bawah pemain lokal, ya kenapa harus pakai pemain asing?” tambahnya.
Bicara soal Timnas Indonesia, pelatih yang membawa Timnas U-16 masuk semifinal Piala Asia U-16 tahun 1990 ini terlihat begitu bersemangat. Menurutnya, sebenarnya fondasi sepakbola Indonesia yang dirintis tahun 1950-an hingga 1980-an telah melahirkan prestasi membanggakan. Baik di level Asia Tenggara, Asia, maupun dunia, Indonesia selalu disegani lawan. Medali emas Sea Games hingga lolos ke Olympiade pernah dirasakan Timnas kala itu.
“Zaman Witarsa, Saelan, dan Ramang pada tahun ’50-an misalnya, Indonesia sangat diperhitungkan negara lain. Itu berkat bimbingan pelatih yang memang berkualitas. Tony Pogacnik, pelatih asal Eropa Timur, melahirkan pemain cemerlang di zamannya,” katanya.
Ditambahkannya, kendati Timnas Indonesia bisa berjaya di era sebelum tahun 1990-an, namun kondisi itu tidak berlanjut di era berikutnya. Timnas Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara yang sebelumnya tak punya prestasi.
“Memprihatinkan. Malaysia misalnya, yang dulu banyak belajar sepakbola ke Indonesia, justru sekarang menjadi ‘kiblat’ sepakbola kita,” pungkas Thohir yang terakhir membawa tim sepakbola Indramayu meraih medali emas Porda Jabar 2018. (dede suherlan)***