Pemilik IQ Tertinggi di Dunia Bukan Einstein, Namun Dipegang oleh Pria Superjenius Ini

674a867c6b45a
Matematikawan asal Amerika Serikat, William James Sidis memiliki IQ antara 250-300. Sidis merupakan pemilik IQ tertinggi di dunia. (Foto: Getty Images/Archive Photos)

ZONALITERASI.ID – Tahukah Anda, bahwasanya Albeirt Einstein bukan manusia tercerdas di dunia. Padahal, fisikawan penemu teori relativitas itu tercatat memiliki skor IQ 160 hingga 190.

Dilansir dari All That Interesting, ternyata ada sosok jenius lain yang namanya jarang didengar dan memiliki skor IQ lebih tinggi dibandingkan Einstein. Dia adalah matematikawan asal Amerika Serikat bernama William James Sidis yang memiliki IQ antara 250-300.

Namun, kendati memiliki kecerdasan yang luar biasa, William Sidis memilih bersembunyi dari dunia dan menghabiskan hidupnya dalam pengasingan.

William Sidis lahir pada 1 April 1898 di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Dia lahir di keluarga yang cerdas. Orangtuanya merupakan imigran dari Ukraina bernama Boris dan Sarah Sidis. Ayahnya seorang psikolog terkenal, sedangkan ibunya bekerja sebagai dokter.

Sejak kecil, William Sidis banyak membaca buku dan peta yang dibelikan oleh orangtuanya sebagai bentuk pembelajaran sejak dini. Tanda-tanda kecerdasannya mulai terlihat setelah itu.

Saat Sidis berusia 18 bulan, dia sudah bisa membaca surat kabar The New York Times.

Anak Ajaib

Saat menginjak enam tahun, Sidis dapat berbicara dalam berbagai bahasa, termasuk di antaranya Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Ibrani, Turki, dan Armenia. Sidis juga pandai menulis puisi dan novel. Karena hal-hal inilah, Sidis dijuluki sebagai si anak ajaib.

Kepintarannya ini membuat dia diterima di Harvard University pada usia sembilan tahun, tetapi dia baru diizinkan masuk kuliah saat sudah berusia 11 tahun. Ketika masih menjadi mahasiswa pada 1910, Sidis pernah memberikan kuliah kepada anggota klub matematika Harvard tentang benda empat dimensi yang sangat rumit.

Sidis lulus dari universitas legendaris ini pada 1914 dengan predikat cumlaude pada usia 16 tahun. Usai lulus dari Harvard, Sidis sempat bekerja sebentar di Rice Institute di Houston, Texas, tetapi karena tidak betah dia pun keluar.

Berpindah-pindah Pekerjaan

Dilansir dari NPR, setelah bekerja sebentar sebagai profesor matematika, Sidis memutuskan pindah dari satu kota ke kota lain demi melakukan pekerjaan berbeda-beda, dan seringkali menggunakan nama samaran. Hal ini dia lakukan untuk “bersembunyi” dari kejaran publik akibat predikat anak ajaib yang disandangnya.

Saat itu, dia menulis sejumlah buku, termasuk sejarah Amerika Serikat setebal 1.200 halaman dan buku tentang kereta trem. Buku-buku ini tidak pernah diterbitkan secara luas. Dan Sidis diketahui menggunakan sekitar 8 nama samaran.

Namun, pada 2011, salinan buku yang ditulisnya pada tahun 1925, The Animate and the Inanimate dijual di London oleh seorang kolektor anonim seharga 5.000 poundsterling (Rp 100 juta).

Sulit Beradaptasi dengan Dunia

Terlepas dari kecerdasannya, Sidis mengaku kesulitan menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya.

“Saya ingin menjalani kehidupan yang sempurna. Satu-satunya cara untuk menjalani kehidupan yang sempurna adalah dengan menyendiri. Saya selalu membenci keramaian,” ungkap Sidis dalam sebuah wawancara, usai lulus dari Harvard.

Penulis biografi Wiliam Sidis, Amy Wallace bahkan pernah mengatakan, masa kuliah Sidis bukanlah kenangan yang indah.

“Dia pernah menjadi bahan tertawaan. Dia mengakui tidak pernah mencium seorang gadis, diejek dan dikejar-kejar, itu sungguh memalukan. Dia ingin menjauhi dunia akademis dan menjadi pekerja biasa,” ujarnya.

Menghabiskan hidupnya dalam pengasingan,  Sidis sempat menjadi kontroversi ketika dia ditangkap saat Pawai Sosialis May Day di Boston pada 1919. Dia mendapat hukuman 18 bulan penjara karena membuat kerusuhan dan menyerang seorang petugas polisi, padahal sebenarnya itu hanyalah tuduhan palsu.

Usai berurusan dengan hukum, Sidis makin bertekad untuk menjalani hidupnya dalam kesendirian dengan mengambil pekerjaan kasar. Dia sering berganti-ganti pekerjaan, setiap kali bertemu dengan teman lamanya.

“Melihat rumus matematika membuat saya sakit secara fisik, yang ingin saya lakukan hanyalah menjalankan mesin penjumlahan, tetapi mereka tidak membolehkan,” ungkap Sidis.

Sidis berhasil hidup di luar pusat perhatian hingga tahun 1937, ketika majalah New Yorker mengirim seorang reporter wanita untuk berteman dengannya dan mengumpulkan informasi soal kisah hidupnya. Menurut Wallace, Sidis menganggap isi artikel tersebut sangat memalukan dan “membuatnya terdengar gila”.

Setelah artikel tersebut diterbitkan, Sidis memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya dan menggugat New Yorker. Sidis berargumen di pengadilan bahwa majalah tersebut telah memfitnahnya, dan dia menang.

Tak lama setelah itu, pada tahun 1944, dia meninggal karena pendarahan otak di usia 46 tahun. ***

Sumber: Kompas.com