Spiral Spiritual

Oleh Suheryana Bae

298702 523066897708407 352900361 n 523066897708407
Ilustrasi "Spiral Spiritual". (Foto: Dok. Pribadi)

KITA membaca kisah-kisah masa lalu, seakan ada pola yang terus berulang: perebutan kekuasaan, intrik, persaingan, perjuangan naik kelas, kegagalan, keberhasilan, kelaliman penguasa, konflik antarsuku. Kelahiran, pertumbuhan, dan akhirnya kematian. Sebuah siklus yang sepertinya merupakan keniscayaan yang tak terhindarkan.

Dalam kehidupan spiritual, hal yang sama juga terjadi. Lahir dalam kesucian, lalu perlahan terseret dalam kehidupan yang penuh godaan, kesalahan, dan dosa. Lalu muncul kesadaran, penyesalan, dan pertobatan. Ada yang menandainya dengan ibadah, ada yang mengalaminya dalam kesendirian, ada yang melalui peristiwa besar. Kita merayakan Hari Raya Idul Fitri sebagai momentum kembali ke nol, ibadah haji sebagai momen pembersihan total. Reset spiritual. Seperti papan tulis yang dihapus bersih, putih bersih, dan siap ditulisi lagi.

Pertanyaan besarnya adalah, apakah setelah kembali ke kesucian, manusia akan jatuh kembali dalam kesalahan yang sama? Apakah hidup hanya berputar-putar dalam siklus dosa dan tobat tanpa ada peningkatan maqom? Jika begitu, apa gunanya ilmu, pengalaman, ajaran, dan kitab suci? Apa gunanya pesantren kilat dan Ramadan sebagai bulan pendidikan? Apakah kita hanya belajar untuk kembali ke titik awal tanpa pernah benar-benar naik kelas?

Jika sejarah selalu berulang, apakah spiritualitas juga harus demikian. Ataukah seharusnya ada jenjang, ada tangga yang didaki perlahan, agar tidak selalu kembali ke titik awal, tetapi menuju ke maqom yang lebih tinggi? Seperti bayi yang belajar berjalan, jatuh dan bangun adalah bagian dari proses, tapi tujuannya bukan hanya untuk terus jatuh dan bangun, melainkan untuk akhirnya berjalan dan berlari kencang.

Mungkin yang harus diubah adalah cara kita memahami siklus. Bukan sebagai lingkaran yang kembali ke titik awal, tetapi sebagai spiral yang naik ke atas. Setiap kali tergelincir, kita tidak jatuh ke titik yang sama, tetapi di tingkat yang lebih tinggi. Setiap kali bertobat, bukan sekadar kembali bersih, tetapi bertambah bijak. Tidak sekadar menghapus dosa, tetapi memahami bagaimana agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Tidak sekadar berusaha menjadi suci, tetapi mendekat ke makna sejati dari kehidupan spiritual.

Bayangkan sebuah arus yang membawa kita ke tingkat yang lebih tinggi. Bukan pusaran yang membuat kita terjebak di tempat yang sama, tetapi arus yang mendorong kita untuk naik, menguatkan pemahaman, memperdalam pengalaman, dan meneguhkan kesadaran. Kesalahan bukan sekadar sesuatu yang harus dihapus, tapi harus menjadi batu pijakan untuk naik ke maqom berikutnya.

Kesalahan adalah bagian dari perjalanan, tapi kita selalu punya pilihan: tetap dalam siklus yang sama, atau mengubahnya menjadi sebuah perjalanan yang membawa kita lebih dekat kepada tujuan akhir. Sejarah mungkin berulang, tapi manusia bukan hanya catatan sejarah. Kita punya kehendak, kesadaran, dan kesempatan untuk memilih arah. Maka, apakah kita hanya ingin terus mengulang, atau ingin naik kelas? Jika benar bahwa hidup adalah perjalanan, maka biarkan perjalanan itu membawa kita semakin dekat kepada makna tertinggi dari kehidupan spiritual yaitu kesadaran, kebijaksanaan, dan kedekatan yang sejati dengan Yang Maha Suci. ***

Suheryana Bae, pemerhati sosial, tinggal di Ciamis Jawa Barat