TIBA-TIBA saja, dalam sebuah obrolan sederhana selepas Magrib di surau kampung, muncul sebuah kesadaran. Seperti kabut tipis yang perlahan-lahan menyibak langit, bahwa aku ingin hidup lebih lama.
Bukan sekadar menambah tahun, bukan pula memperpanjang napas tanpa arah. Tapi benar-benar ingin hidup. Hidup yang dijalani dengan penuh kesadaran, keberadaan yang dihayati sepenuh hati. Barangkali ini efek dari usia yang makin menua, atau karena hati yang makin sering diselimuti renungan panjang. Namun yang jelas, hasrat untuk memperpanjang langkah di dunia ini terasa makin dalam.
Aku ingin hidup lebih lama agar bisa merasakan hidup secara lebih sehat dan utuh sebagai manusia. Ingin menjadi pribadi yang hadir sepenuhnya dalam tubuh dan batin—menikmati udara pagi tanpa tergesa, menyantap makanan, dan mengayunkan langkah tanpa beban. Bukan lagi hidup yang dikejar-kejar ambisi atau dipenuhi kewajiban duniawi, tapi kehidupan yang ditata ulang dengan hati yang lebih lapang. Hari-hari yang dijalani tanpa kemarahan, tanpa dendam yang mengendap. Jiwa yang ringan, tubuh yang kuat, dan batin yang damai.
Dalam usiaku sekarang, kesehatan tidak lagi dimaknai semata dari hasil tes laboratorium atau tekanan darah yang stabil. Tapi dari beningnya pikiran, dari kemampuan memaafkan, dari kedamaian yang hadir saat berdoa. Aku ingin lebih dekat kepada Ilahi, bukan hanya dalam kata, tapi dalam setiap tindakan kecil, dalam tatapan yang tulus, dalam senyuman yang ikhlas, dalam diam yang penuh pengertian. Ada banyak kesalahan di masa lalu yang ingin kumohon ampunan-Nya. Ada luka-luka yang belum seluruhnya kubalut dengan bertobat. Dan aku berharap, hidup yang lebih panjang adalah cara Tuhan memberiku waktu untuk menata. Untuk memperbaiki. Untuk menyucikan.
Aku juga ingin melihat ke mana arah kehidupan anak-anak dan cucuku. Aku sadar betul, hidup mereka bukan tanggung jawabku. Mereka punya jalan sendiri, punya takdir yang tak bisa kuatur. Namun sebagai ayah dan kakek, aku hanya ingin hadir. Menyaksikan bagaimana benih yang dulu kutanam tumbuh menjadi pohon yang kokoh—berdiri tegak dalam badai, memberi naungan dan buah bagi sekitar. Aku ingin tahu ke mana kaki mereka melangkah, nilai apa yang mereka junjung, kepada siapa mereka menautkan harapan. Mungkin aku tak bisa mendampingi mereka selamanya. Tapi jika aku bisa bertahan lebih lama, berharap sekadar duduk mendengarkan kisah mereka sembari berjalan di pagi hari, tentu aku akan bersyukur.
Ada satu hal lagi yang tak mudah kuakui, namun nyata adanya. Aku ingin hidup lebih lama untuk menyaksikan akhir kehidupan mereka yang dulu pernah mendholimi keluarga. Bukan untuk membalas. Aku tak punya kuasa atas hidup orang lain, apalagi membalas luka dengan luka. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang ingin melihat bagaimana hidup menyelesaikan dirinya. Aku tidak ingin menyimpan dendam. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku, luka itu masih ada. Barangkali dengan menyaksikan bagaimana hidup menuntaskan kisah mereka, aku bisa berdamai. Barangkali aku bisa lebih memahami bahwa keadilan, dalam bentuk yang tak selalu bisa kutafsirkan, akan datang pada waktunya.
Karena hidup lebih lama bukan tentang menunda kematian. Ia tetap akan datang, entah esok, entah sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Tapi sisa waktu yang diberikan, jika dimaknai dengan utuh, bisa menjadi ruang suci bagi pemurnian diri. Bisa menjadi tempat berdoa, tempat rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan. Tentunya, hidup lebih lama bukan jaminan kebahagiaan, tapi bisa menjadi panggung kecil untuk menjahit kembali makna-makna yang sempat koyak.
Aku berdoa, bukan sekadar untuk umur panjang, tapi untuk hidup yang lapang. Aku mohon bukan hanya tubuh yang sehat, tapi juga jiwa yang bersih dan hati yang bening. Semoga dalam sisa waktu yang ada, aku bisa menjadi manusia yang lebih utuh, lebih jernih, dan lebih dekat kepada Sang Pencipta. Dan semoga, ketika saat itu tiba, aku sudah siap menghadap-Nya—bukan sebagai manusia sempurna, tapi sebagai insan yang sungguh-sungguh berikhtiar. ***
Suheryana Bae, pernah bekerja sebagai PNS di Timor Timur (Timor Leste), Pemkab Ciamis, dan Pemkab Pangandaran. Kini menikmati masa purnabakti di Ciamis, Jawa Barat.