ADA masa dalam hidup ketika segala sesuatu tidak lagi harus dikejar. Ketika ambisi bukan lagi bara, melainkan nyala kecil yang hangat dan menenangkan. Masa itu datang seiring rambut memutih, pandangan mulai kabur, dan langkah yang tidak lagi secepat dulu. Inilah masa ketika seseorang mulai merasa cukup dalam memiliki, dalam menginginkan, dalam berbuat.
Di usia ini, aku merasa ritme hidup tidak perlu lagi tergesa. Tidak perlu terus-menerus mengejar sesuatu yang tidak pernah selesai. Dalam berolahraga, misalnya, bukan lagi soal menjadi yang tercepat atau terkuat. Kini, tubuh hanya diajak bergerak agar tetap bugar, agar napas tidak tersengal, dan agar sendi tidak kaku. Tidak ada lagi perlombaan, tidak ada podium, tidak ada medali. Yang ada hanyalah tubuh yang sehat, hati yang senang, dan pikiran yang tenang.
Dalam hal ekonomi, aku pun belajar mengendalikan keinginan. Tidak semua harus digenggam erat-erat, apalagi jika genggaman itu menyakitkan. Dulu, barangkali setiap peluang diambil, setiap kesempatan dikejar, setiap celah dimasuki. Tapi kini sekadar mencukupi. Cukup rumah yang teduh, cukup makanan yang bergizi, cukup pakaian yang bersih, cukup kehidupan nyaman bersama keluarga, cukup waktu untuk merenung dan beribadah. Tidak perlu lagi berjudi dengan usaha besar yang tidak pasti, hanya demi sebuah ilusi menjadi “lebih”. Apa yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun sudah memberi pijakan yang kokoh. Kini saatnya berdiri dengan tenang di atasnya, bukan lagi membuka ladang baru yang melelahkan.
Karier? Sudah lewat masanya. Dulu, setiap jenjang karier tampak seperti anak tangga menuju langit. Kini, langit pun terlihat berbeda. Ia bukan lagi tujuan yang harus digapai, melainkan cakrawala yang diamati. Tidak ada lagi kebutuhan untuk menanjak, apalagi melompati orang lain. Yang dibutuhkan justru ruang—untuk bernapas, untuk mengendap, untuk menyelami kembali makna di balik segala perjuangan yang pernah digenggam erat. Tidak semua harus dimenangkan. Tidak semua harus dikembangkan. Ada kalanya berhenti adalah bentuk kemenangan atas diri sendiri yang tidak lagi silau oleh dunia, jabatan, popularitas, penghormatan, dan prestise.
Aku tahu, tidak semua orang merasakan hal yang sama. Beberapa masih bersemangat berjuang, membuka, merintis. Dan itu boleh-boleh saja. Tidak masalah. Namun bagiku, saat ini adalah masa untuk berkontemplasi. Masa untuk memperdalam hidup, bukan memperluasnya. Masa untuk memperbaiki cara hadir di dunia, bukan sekadar sibuk di dalamnya. Masa untuk menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian, melainkan juga tentang penerimaan.
Kini aku ingin hidup sederhana, tapi lebih dalam. Lebih pelan, tapi lebih bermakna. Duduk lebih lama bersama keluarga, lebih banyak menanam daripada menuai, lebih sering mendengarkan daripada berbicara, lebih tulus memberi tanpa perlu dikenang. Ingin kembali pada hal-hal kecil yang dulu terlewat.
Dan di atas semua itu, yang paling penting di sekarang ini adalah belajar bersyukur. Bersyukur atas apa yang sudah pernah dan sedang dimiliki. Bersyukur atas napas yang masih terhembus, atas pagi yang masih datang, atas kesempatan untuk menyentuh rumput, memandangi langit, dan mencium aroma tanah selepas hujan. Bersyukur bahwa aku masih diberi waktu untuk menikmati hidup, bukan sekadar melewatinya.
Di akhir perjalanan ini, aku berharap yang tersisa bukan daftar pencapaian, melainkan jejak kebaikan. Yang tertinggal bukan sekadar angka, tapi kesan yang menenangkan. Semoga hidup ini, setelah segala hiruk pikuknya di masa lalu, kini menjadi seperti mata air—tenang, jernih, dan memberi warna bagi siapa saja yang singgah. ***
Suheryana Bae, pernah bekerja sebagai PNS di Timor Timur (Timor Leste), Pemkab Ciamis, dan Pemkab Pangandaran. Kini menikmati masa purnabakti di Ciamis, Jawa Barat.