BEBERAPA orang mungkin merasa bahwa kehidupan yang menjauh dari hiruk-pikuk ideologi, ambisi, dan keterlibatan dalam peradaban modern adalah sebuah bentuk kebebasan. Mereka memilih menepi, menerima kehidupan apa adanya, dan menanggalkan keterikatan dengan dunia yang terus berputar dalam pusaran ekonomi, politik, dan teknologi. Namun pertanyaannya adalah, apakah dunia bisa bertahan dengan pola pikir seperti ini? Apakah menihilkan keterlibatan dalam dinamika sosial dan ekonomi adalah sebuah pilihan yang bijak?
Sejarah peradaban manusia dibangun oleh individu-individu yang tidak hanya menerima keadaan, tetapi juga berusaha mengubahnya. Dari era pertanian, revolusi industri, hingga era digital, kemajuan tidak lahir dari mereka yang hanya bertahan dalam kenyamanan atau menerima nasib begitu saja. Sebaliknya, perubahan terjadi karena ada dorongan untuk memperbaiki kondisi, menciptakan inovasi, dan menjawab tantangan zaman. Ambisi bukan sekadar dorongan untuk berkuasa atau menumpuk kekayaan, tetapi juga hasrat untuk berkontribusi bagi masyarakat. Tanpa ambisi, banyak kemajuan yang saat ini kita nikmati mungkin tidak akan pernah terwujud.
Lebih jauh, kehidupan yang sepenuhnya menerima keadaan tanpa usaha untuk mengubah atau meningkatkan kualitasnya justru bisa menjadi bentuk kepasrahan yang tidak sehat. Menerima takdir bukan berarti pasif dan tidak berbuat apa-apa. Dalam banyak ajaran agama dan filsafat, manusia tetap didorong untuk berusaha, berikhtiar, dan mengambil peran dalam kehidupan. Aristoteles, misalnya, menekankan pentingnya eudaimonia—kehidupan yang bermakna dan berkembang melalui kebajikan serta usaha. Sementara dalam Islam, konsep ikhtiar dan tawakal harus berjalan beriringan, berusaha dengan sungguh-sungguh, kemudian berserah diri kepada Tuhan.
Menjauh dari peradaban, menepi ke desa atau hutan, dan mengabaikan interaksi sosial dalam bentuk modern memang bisa menjadi pilihan bagi beberapa orang. Namun, dunia tidak bisa berjalan hanya dengan kelompok seperti ini. Peradaban membutuhkan individu yang mau berinteraksi, berpartisipasi, dan mengambil peran dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan dalam pemikiran para sufi, kontemplasi dan kesalehan bukan berarti menjauh sepenuhnya dari dunia, melainkan tetap terlibat dengan cara yang lebih bijaksana. Seorang pemikir besar dalam Islam, menekankan keseimbangan antara kehidupan dunia dan spiritualitas, bukan pemisahan yang ekstrem dari masyarakat.
Mengabaikan politik dan perkembangan peradaban juga merupakan bentuk ketidaktanggungjawaban terhadap kehidupan bersama. Politik, bagaimanapun, menentukan arah kebijakan, keadilan sosial, dan distribusi sumber daya. Meskipun dunia politik sering kali dipenuhi intrik dan kepentingan, menjauhinya bukanlah solusi. Sebaliknya, keterlibatan yang bijak dan etis justru dapat membawa perubahan positif. Catatan sejarah menginformasi bahwa banyak tokoh besar, dari Mahatma Gandhi hingga Nelson Mandela, memilih untuk terlibat dan mengubah sistem daripada sekadar menghindarinya.
Kemajuan teknologi dan informasi tidak bisa diabaikan. Dunia terus berkembang dengan kecepatan yang luar biasa, terutama dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI) dan revolusi digital. Jika manusia memilih untuk menutup diri dari perkembangan ini, tidak hanya kehilangan peluang, tetapi juga berisiko tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan. Media sosial, meskipun sering kali dipenuhi dengan kesia-siaan dan kontroversi, juga memiliki potensi besar untuk edukasi, gerakan sosial, dan inovasi. Menjauhi sepenuhnya tanpa pemanfaatan yang bijak berarti melewatkan peluang untuk mempengaruhi dan menciptakan perubahan.
Maka, meskipun ada sebagian orang yang merasa puas dalam dunia yang terbatas pada empat koridor kehidupan sederhana—menepi dari kapitalisme, menerima kehidupan apa adanya, menjauh dari peradaban, dan menghindari politik—hal itu tidak bisa menjadi pola universal. Kehidupan yang seimbang adalah kehidupan yang tetap membuka ruang untuk berpikir, merenung, dan berkontribusi. Dunia membutuhkan keseimbangan antara mereka yang mengubah dan mereka yang merenung, antara mereka yang bergerak di garis depan dan mereka yang memberi makna dari kejauhan. Tidak semua orang harus larut dalam hiruk-pikuk dunia, tetapi tidak juga semuanya harus menarik diri dari arus zaman. Kehidupan bukan tentang menghindar atau menerima begitu saja, melainkan tentang berperan dan memberi makna.
Namun, pada akhirnya, kehidupan adalah pilihan. Bukan masalah benar atau salah, bukan juga sekadar tentang berkontribusi pada kehidupan atau menyia-nyiakan kesempatan, tetapi tentang bagaimana setiap individu menentukan jalannya sendiri. Siapapun seharusnya memiliki kebebasan untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Dan aku sendiri, setelah pensiun ini, lebih memilih hidup sebagai orang yang menyepi dari keriuhan duniawi. Pilihan ini bukan karena menolak peradaban, tetapi sebagai bentuk pencarian makna yang lebih dalam, dalam kesederhanaan dan ketenangan. ***
Suheryana Bae, pernah bekerja sebagai PNS di Timor Timur (Timor Leste), Pemkab Ciamis, dan Pemkab Pangandaran. Kini menikmati masa purnabakti di Ciamis, Jawa Barat.