Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar, Memadukan Tradisi dan Teknologi

4ff171fa 31a5 4295 ab9a 12dc0d27a16c 169
Desa adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi selain menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi, juga sanggup memanfaatkan teknologi untuk kehidupan sehari-hari. (Foto: DetikTravel)

ZONALITERASI.ID – Berbeda dengan desa adat lainnya yang biasanya kukuh mempertahankan yang serbatradisional dan tak memanfaatkan teknologi, Ciptagelar, desa adat di Sukabumi justru memilih jalan lain.

Desa adat yang biasa dijuluki Kasepuhan Ciptagelar dan berlokasi di Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi ini selain menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi, juga sanggup memanfaatkan teknologi untuk kehidupan sehari-hari.

Desa adat Ciptagelar berada di sisi Barat Gunung Halimun dengan ketinggian sekitar 1.050 meter di atas permukaan laut.

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dihuni oleh sekitar 300 kepala keluarga. Di Ciptagelar, warganya masih menjalankan tradisi leluhur yang diwariskan sejak 6 abad silam.

Warganya yang disebut masyarakat Kasepuhan, memiliki tradisi yang turun-temurun untuk menjaga kelestarian hutan, yang hidup berdampingan dengan manusia. Hutan juga menjadi tempat bagi “Pusat Kasepuhan Adat Ciptagelar”, tepatnya berada di pedalaman hutan yang termasuk wilayah kelola Perum Perhutani dan Taman Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).

Dalam buku Budaya Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi Jawa Barat karya Ayatullah Humaeni, dan kawan-kawan, disebutkan, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki kepercayaan dan pemikiran yang turun-temurun. Ini terutama berkaitan dengan cara pandang kehidupan manusia dengan alam.

Bagi masyarakat adat Kasepuhan, manusia hanya merupakan bagian dari beberapa makluk yang mendiami alam jagad raya ini. Artinya, masyarakat adat memiliki penghormatan bagi makhluk selain manusia, terutama bumi dan langit.

Penghormatan tersebut, yakni “Ibu Bumi, Bapak Langit” alam semesta atau seperti penghormatan terhadap Ibu dan Bapak. Bagi mereka, pandangan terhadap alam semesta harus selalu dihubungkan dengan diri manusia.

Konsep penghormatan ini, yaitu “Jagat Leutik, Jagat Gede – Jagat leutik sanubari, Jagat gede bumi langit.”

Dalam hal ini, alam semesta dengan berbagai isinya harus dipandang sebagai makhluk. Ketika berinteraksi dengan manusia, maka bukan hanya manusia saja yang berhak menentukan nasib semua makhluk lainnya.

Kesadaran akan kepercayaan ini, diterjemahkan sebagai konsep hidup yang hati-hati terhadap alam, termasuk mengelola sumber daya alam harus berdasarkan hati sanubari.

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mewujudkan ini dengan prinsip pengelolaan terhadap bumi yang turun-temurun. Salah satunya adalah sistem pertanian tradisional yang khas.

Tak seperti wilayah lain yang biasa menanam padi dengan konsep dan aturan sendiri, menanam padi bagi masyarakat Ciptagelar harus dijalankan sesuai petunjuk kasepuhan. Hal ini karena menanam padi harus sesuai tuturan (tuntunan).

“Dalam hal ini, masyarakat adat Ciptagelar meyakini bahwa Kasepuhan mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menanam padi. Masyarakat adat Ciptagelar ini hanya menanam padi satu kali per tahun. Walaupun tidak dipaksakan, tetapi hampir seluruh masyarakat Ciptagelar menanam padi sesuai dengan adat tradisi leluhur mereka,” tulis peneliti dalam buku yang diterbitkan oleh Bantenologi itu.

Tradisi  Beriringan Hidup Bersama dengan Teknologi

Salah satu tradisi yang diwujudkan turun-temurun di Ciptagelar adalah pengelolaan dalam menjaga kelestarian hutan.

Masyarakat Kasepuhan Ciptagela memiliki keyakinan dengan leuweung tutupan yang diwujudkan dengan sebuah kepercayaan terhadap hutan larangan. Ini menjadi hal penting agar hutan tetap terjadi sebagai sumber air yang vital bagi masyarakat Kasepuhan.

Selain itu, mereka juga memiliki tradisi menanam pohon setiap awal tahun baru yang disebut melak tangkal tahun anyar. Tujuannya adalah untuk menjaga hutan, air, dan alam agar tetap lestari.

Tak hanya tradisi yang terjaga, masyarakat adat Ciptagelar juga memanfaatkan teknologi untuk kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini diketahui berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada/UGM (Dimas Aji Saputra [Filsafat], Berliana Intan Maharani [Sosiologi], Ilham Pahlawi [Antropologi], Gita Dewi Aprillia [Psikologi], dan Masiroh [Ilmu Komunikasi]) pada tahun 2023.

Mereka yang tergabung dalam tim Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan penelitian mengenai tradisi kearifan lokal di Kasepuhan Ciptagelar yang menggunakan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di desanya.

Dalam penelitiannya, mahasiswa UGM mengungkapkan, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar telah memanfaatkan energi terbarukan dengan aliran air sungai. Energi ini menghasilkan listrik yang bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari seperti televisi, jaringan internet, dan sebagainya.

“Yang menarik, di wilayah Kasepuhan Ciptagelar ini keperluan energi listrik dihasilkan lewat Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) yang memanfaatkan sumber energi terbarukan berupa aliran air sungai,” kata peneliti, dikutip dari laman resmi UGM.

Diketahui, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar bisa membangun desa mandiri energi dengan menggunakan ilmu pengetahuan lokal, kepercayaan, pandangan hidup, dan adat istiadat yang bersandar pada nilai dan norma warisan leluhur.

Jika biasanya energi listrik dari aliran sungai sangat bergantung dari sebuah alat atau generator penggerak, maka masyarakat Ciptagelar menjaganya dengan terus menjaga aliran sungai. Salah satunya dengan menjaga kelestarian hutan sebagai sumber air ke sungai.

“Mereka memanfaatkan sumber daya alam dan menyesuaikannya dengan aktivitas keseharian. Jadi, PLTMh justru belum tentu bisa berjalan hanya dengan generator penggerak. Ada aliran sungai dan hutan yang perlu dijaga,” ungkap Masiroh, anggota tim mahasiswa UGM yang terlibat di lapangan.

Dengan pemanfaatan teknologi ini, masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar membuktikan bahwa mengikuti perkembangan zaman bukan berarti harus meninggalkan adat dan tradisi yang dititipkan oleh para leluhur.

Meski zaman terus berkembang, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tetap menjaga filosofi hidup yang turun temurun. Mulai dari kehidupan yang menjaga hutan, ketahanan pangan yang dijaga melalui panen setahun sekali, hingga pemikiran hidup untuk selalu menghormati orang tua. ***

Sumber: DetikEdu