ZONALITERASI.ID – Tingkat literasi Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara. Dengan begitu, Indonesia berada di ranking 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Data itu terungkap berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.
Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), M. Syarif Bando, mengatakan, rendahnya tingkat literasi bangsa Indonesia ditengarai karena selama berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia hanya berkutat pada sisi hilir.
“Sisi hilir yang dimaksud yakni masyarakat yang terus dihakimi sebagai masyarakat yang rendah budaya bacanya. Otomatis karena diklaim sebagai bangsa yang rendah budaya bacanya, maka rendah pula indeks literasinya,” katanya, dikutip dari laman Perpusnas, Minggu, 24 Juli 2022.
Syarif menuturkan, stigma tersebut yang mengakibatkan Indonesia menjadi rendah daya saingnya, rendah indeks pembangunan SDM-nya, rendah inovasinya, rendah income per kapitanya, hingga rendah rasio gizinya. Itu semua akhirnya berpengaruh pada rendahnya indeks kebahagiaan warga Indonesia itu sendiri.
Untuk itu, lanjutnya, perlu adanya sisi hulu, termasuk peran negara yang dapat menghadirkan buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dari Sabang sampai Merauke, termasuk bagi masyarakat yang tinggal di pelosok.
“Ada eksekutif, legislatif, yudikatif. Ada pula peran para pakar dari akademisi, ada swasta, para penulis dan penerbit,” ujarnya.
Bahan Bacaan
Menurut Syarif, total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,09. Artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun, sehingga Indonesia memiliki tingkat terendah dalam indeks kegemaran membaca.
“Standar UNESCO minimal 3 buku baru untuk setiap orang setiap tahun. Di negara Asia Timur seperti Korea, Jepang, China, rata-rata memiliki 20 buku baru bagi setiap orang. Ini menjadi tantangan bagi negara dan paling mendasar, kenapa budaya membaca di Indonesia rendah,” ujarnya.
Syarif mengungkapkan, salah satu solusi yang bisa ditempuh untuk mengurangi rasio keterbatasan buku secara nasional berdasarkan hasil diskusi dengan sejumlah pemangku kepentingan di daerah adalah agar para Bupati, Walikota, dan Gubernur bertanggung jawab untuk menuliskan buku-buku yang sesuai dengan lokal konten.
Termasuk terkait asal usul budayanya, asal usul geografisnya, potensi SDA, potensi wilayah, pariwisata di masing-masing daerah itu untuk menghadirkan bahan bacaan yang proper dengan kearifan budaya di masing-masing daerah bagi penduduk di daerah itu.
“Lagipula, apakah relevan buku yang ditulis di Jakarta harus didistribusikan bagi saudara kita yang ada di Papua yang terkait lokal konten? Mudah-mudahan tahun ini kita punya komitmen bersama untuk mengatasi keterbatasan bahan bacaan ini,” kata Syarif. (des)***