ZONALITERASI.ID – “Dina tani, beuteung seubeuh, taneuh pageuh.” Begitulah peribahasa yang dipegang oleh Hj. Eti (64), pengusaha sekaligus petani kopi wanita asal Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung.
Jika diartikan ke bahasa Indonesia, pribahasa tersebut memiliki arti “Dengan bertani, perut kenyang, tanah kuat.” Bertani, selain mengenyangkan perut, tanah yang ditumbuhi tumbuhan kopi pun akan kuat.
Dengan peribahasa tersebut, Eti yang juga menjadi Ketua Kelompok Tani Kopi Wanoja ingin menyejahterakan para petani. Selain itu, bertujuan untuk menghijaukan kembali lahan-lahan kritis dan lahan yang sebelumnya banyak ditanami sayuran penyebab erosi.
Kini perlahan-lahan para petani sayuran mulai beralih ke tanaman kopi yang memang selain sebagai tanaman konservasi juga cukup menguntungkan secara ekonomi.
Dengan misi dan ketekunan yang dilakoni oleh Eti dan kelompok taninya itu, perkembangan usaha kopi mereka tergolong pesat. Dalam tiga tahun pertama saja, biji kopi dari kelompok tani Wanoja ini dengan mudah mendapatkan tempat di hati para penikmat kopi.
Bukan hanya itu, kopi asal Kabupaten Bandung ini semakin menunjukan geliatnya baik di kancah nasional atau internasional. Kopi jenis arabika yang dikembangkan oleh kelompok tani Wanoja di Kampung Sangkan, Desa Laksana, Kecamatan Ibun itu pernah menyabet juara kedua Kontes Kopi Specialty Indonesia pada 2015.
Pada kontes itu, kopi arabika yang dikembangkan oleh kelompok tani Wanojo mendapatkan nilai sebesar 87,16.
“Alhamdulilah kopi yang kami hasilkan pernah memenangi kontes dan berhasil menyisihkan peserta yang berjumlah 279 dari seluruh Indonesia,” katanya, baru-baru ini.
Diungkapkan Eti, kopi arabika yang dikembangkan kelompoknya ini, mulai penanaman hingga pengolahan dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), sehingga hasilnya pun sangat memuaskan. Jenis atau varietas kopi arabika yang banyak dikembangkan oleh kelompoknya itu cukup banyak. Namun yang paling dominan adalah jenis ateng, sigararuntang, dan lini S.
Saat ini, tambah Eti, luas lahan pertanian kopi di kelompoknya itu sekitar 65 hektare. Terdiri dari lahan milik pribadi dan lahan milik Perhutani yang dikerjasamakan dengan masyarakat petani. Jumlah anggota kelompok tani Wanoja sendiri, kata dia, yakni sebanyak 60 orang.
“Memang dalam pengolahannya kami sangat selektif. Karena mengejar kualitas specialty bukan biji kopi curah. Olahan yang kami lakukan adalah honey, dry proses, dan wet proses. Nah sisa dari pemilihan specialty ini baru kami jual ke pengepul kopi curah,” tambahnya
Kualitas kopi specialty dari Kelompok Tani Wanoja ini telah diakui para penikmat kopi di Tanah Air dan mancanegara. Eti mengaku tak pernah merasa kesulitan dalam memasarkan kopi hasil olahan mereka. Biasanya, para pembeli baik itu pengepul maupun dari berbagai tempat minum kopi datang langsung kepada kelompok tani ini.
“Karena kami fokus pada kopi specialty, sehingga produksinya tidak terlalu banyak. Dari luas lahan 65 hektare itu, produksi per tahun yah sekitar 50 ton. Alhamdulilah, produksi kopi kami cepat diserap pasar, bahkan sampai ke Dublin Irlandia dan beberapa negara lainnya untuk diikutsertakan dalam beberapa pameran,” katanya.
Eti berharap, kini kopinya telah diakui dan dikenal banyak orang. Sedangkan cita-cita yang belum tercapainya ingin mendirikan beberapa kedai atau tempat minum kopi. Dengan tujuan untuk lebih memasyarakatkan kopi lokal asal Kabupaten Bandung dan Jabar.
“Dengan adanya kedai tersebut saya ingin mengedukasi masyarakat. Kami juga punya keinginan membuat wisata kebun, agar masyarakat mengetahui proses dari kopi itu seperti apa. Mulai dari penanaman, pengolahan, hingga penyajiannya,” tutupnya. (wisma/des)***
Sumber: Majalah Kertaraharja