Dari Van Houten ke Pangheotan

Oleh Dadang A. Sapardan

WhatsApp Image 2023 03 07 at 23.45.06
Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat. (Foto: Dok. Pribadi)

SEKALI waktu berkesempatan mengunjungi daerah yang dinamai oleh masyarakat Cikalongwetan dengan Pangheotan. Sebuah daerah yang berada di tengah-tengah hamparan perkebunan teh. Perkebunan teh yang berada di bawah pengelolaan PTPN I, perusahaan negara yang bergerak di bidang perkebunan, termasuk perkebunan teh dan sawit.  Pangheotan dalam peta administratif berada di wilayah Desa Cipada, Cikalongwetan. Sekalipun demikian, Pangheotan merupakan daerah yang terletak di perbatasan antara Desa Cipada dengan Desa Ganjarsari.

Perjalanan ke Pangheotan memang tidak dapat dilalui dengan kenyamanan berkendara seperti layaknya di jalan perkotaan karena kendaraan harus melewati jalan berliku dan berbatu dengan kontur bergelombang. Jalan menuju Pangheotan terlihat belum pernah sekalipun tersentuh hamparan aspal atau timbunan beton. Jalan yang dibangun pada masa kejayaan Belanda di Indonesia ini masih bernuansa jalan perkebunan semasa penjajahan. Sekalipun demikian, suasana sekeliling dapat melupakan goyangan dan hentakan akibat jalan bebatuan yang sudah tidak rata dan berlubang. Di kiri dan kanan jalan terhampar hijaunya dedaunan teh. Pohon teh terbentang luas mengelilingi jalan yang dilalui kendaraan.

Pangheotan pernah menjadi episentrum kehidupan masyarakat pada masa Belanda masih berkuasa. Daerah ini pernah mengalami masa kejayaan dan keemasan, saat masih menjadi pusat pengolahan teh yang dikuasi oleh orang-orang Belanda. Di Pangheotan terdapat pabrik teh cukup besar. Pabrik teh yang dibangun pada zaman kejayaan Belanda itu ternyata tidak dapat dipertahankan, sehingga saat ini yang tersisa di sana adalah puing-puing bangunan pabrik yang sudah tidak terurus dan sudah mengalami pelapukan karena dimakan usia.

Perjalanan ke Pangheotan bukanlah tanpa sebab. Perjalanan ke sana karena mendapat undangan dari PT. Indonesia Power untuk menyaksikan ekspose program kerja sama mereka dengan BRIN. Ekspose dilakukan di sebuah rumah peninggalan zaman Belanda dengan dihadiri puluhan undangan dari berbagai elemen masyarakat. Rumah yang dijadikan tempat ekspose pada beberapa bagian sudah mengalami pelapukan karena sudah dimakan usia. Kondisi demikian mungkin diperparah dengan kurangnya perawatan oleh pengelola.

Rumah yang dijadikan tempat pertemuan merupakan rumah yang pada zaman Belanda ditinggali oleh pemilik perkebunan. Rumah itu ditinggalkan oleh pemiliknya, sejalan dengan kemerdekaan  Republik Indonesia. Rumah yang masih menyisakan kejayaan zaman Belanda itu sudah tidak berpenghuni. Rumah itu baru digunakan bila ada kegiatan perusahaan di daerah Pangheotan.

Di sela-sela pertemuan sempat ngobrol banyak dengan beberapa orang yang kelihatannya merupakan orang perkebunan. Dalam obrolan itu, terdapat seorang pekerja kebun yang sangat paham sekali dengan Pangheotan. Menurut pengakuannya, dia adalah generasi ketiga yang bekerja di perkebunan itu. Kakek dan bapaknya merupakan pekerja perkebunan Pangheotan.

Dari pembicaraan dengan pekerja di perkebunan tersebut diketahui bahwa rumah itu menjadi tempat kediaman pemilik perkebunan teh. Salah satu nama pemiliknya adalah van Houten. Sebagai penguasa perkebunan, van Houten sangat terkenal di kalangan masyarakat. Namun, saat itu kebanyakan masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa perhubungan, tidak mampu melafal nama ‘van houten’. Masyarakat melafalkan ‘van houten’ dengan menggunakan bunyi bahasa Sunda, sehingga menjadi ‘pangheotan’.

Perkebunan yang sempat dikuasai oleh van Houten inilah yang sampai saat ini terkenal dengan nama Pangheotan. Sebuah perkampungan yang masa kejayaannya sudah sirna karena episentrum aktivitas pengolahan teh sudah tidak dilaksanakan di sana. Sekalipun demikian, sisa-sisa masa kejayaan Pangheotan sampai saat ini masih bisa ditemukan.***

Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat