Seminar Geopolitik Unsil: Mengungkap Diplomasi Hijau dalam Politik Global

dani 2
Sesi foto bersama Seminar Geopolitik, di Auditorium Fakultas Teknik Unsil, Kamis, 5 Desember 2024. (Dok. Rachel Heiga Elmira)

ZONALITERASI.ID – Pada Kamis, 5 Desember 2024, mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Siliwangi (Unsil) angkatan 2022 menggelar seminar bertajuk “Diplomasi Hijau Indonesia: Peran Strategis dalam Forum Global dan Tantangan Lokal”. Bertempat di Auditorium Fakultas Teknik Unsil, acara ini menjadi bagian dari implementasi metode Project-Based Learning (PJBL) dalam mata kuliah Geopolitik.

Seminar ini menghadirkan dua narasumber kompeten, yaitu Dadan Ramdan, mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat periode 2011-2019 dan Sadid Farhan, mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad) sekaligus Presiden Mahasiswa Unsil 2022.

Dipandu oleh moderator Nauval Trian Putra, diskusi ini berfokus pada kontribusi Indonesia dalam diplomasi lingkungan di tingkat global serta tantangan penerapannya di tingkat lokal.

Ketua pelaksana, Eliza Rahmawati, menjelaskan, kegiatan ini bertujuan mendorong mahasiswa untuk berperan aktif dalam mengatasi isu-isu global.

“Seminar ini tidak hanya sebagai tugas akademik, tetapi juga sarana mahasiswa untuk belajar menyelenggarakan acara yang relevan dengan kebutuhan masyarakat,” katanya.

Mahasiswi Ilmu Politik Unsil angkatan 2022 itu juga menjelaskan, seminar ini merupakan bagian dari tugas Project-Based Learning (PJBL) di bawah bimbingan dosen pengampu, Nisa Khairunnisa. Tujuannya adalah agar mahasiswa mampu secara kreatif dan inovatif mengelola sebuah acara yang relevan dengan isu-isu terkini.

“Kami ingin melibatkan seluruh elemen masyarakat, terutama untuk meningkatkan kesadaran terkait lingkungan dan perubahan iklim,” ungkap Eliza.

Dalam memilih pemateri, panitia mempertimbangkan kompetensi akademik dan pengalaman praktis narasumber. Sadid Farhan dipilih karena latar belakangnya sebagai mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan di Unpad. Sementara Dadan Ramdan dinilai relevan sebagai aktivis lingkungan dengan pengalaman memimpin Walhi Jawa Barat.

“Data yang disampaikan juga harus valid dan bebas dari hoaks,” tambahnya.

Eliza mengakui, persiapan tidak lepas dari tantangan, seperti keterbatasan waktu pemateri dan kesibukan panitia yang merupakan mahasiswa aktif. Awalnya, tema yang diusulkan berkaitan dengan BRICS, tetapi karena keterbatasan narasumber, panitia beralih ke tema diplomasi hijau yang dinilai lebih relevan dan mendesak.

“Meski ada hambatan, alhamdulillah semua berjalan lancar pada hari pelaksanaan,” jelasnya.

Seminar ini dihadiri oleh sekitar 150 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, termasuk organisasi eksternal seperti PMII, GMNI, IMM, dan KAMMI, serta organisasi mahasiswa internal Unsil. Namun, jumlah peserta sempat terpengaruh oleh pelaksanaan UAS di kampus. Eliza berharap kegiatan seperti ini bisa menjadi agenda tahunan dan menghasilkan output konkret, seperti pembentukan komunitas lingkungan atau kolaborasi dengan pengelola sampah lokal.

Riris Putri Kirani, salah satu peserta seminar, mengaku mendapat informasi tentang acara ini melalui angkatannya, karena seminar merupakan proyek kelas A mata kuliah Geopolitik. Ia merasa tema yang diangkat sangat penting untuk meningkatkan kesadaran lingkungan.

“Forum seperti ini jarang sekali diadakan, padahal alam adalah bagian dari kehidupan kita yang harus dijaga,” ungkap Riris.

Ia terinspirasi untuk memulai langkah kecil setelah mendengar paparan dari pemateri, seperti mengurangi sampah dan mengolah limbah rumah tangga. Riris berharap kegiatan serupa bisa terus diadakan dan mampu mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan.

Mahasiswa sebagai Pusat Pembelajaran

Dosen Ilmu Politik, Nisa Khairunnisa, menjelaskan, seminar ini merupakan bagian dari metode PJBL yang dirancang untuk menjadikan mahasiswa sebagai pusat pembelajaran. Selain mengintegrasikan ilmu geopolitik dengan konteks lokal, acara ini juga bertujuan mengasah keterampilan kritis, analitis, dan kolaboratif mahasiswa.

“Diplomasi hijau adalah bagian penting dari politik global yang memungkinkan mahasiswa melihat hubungan antara kebijakan internasional dan implementasi di tingkat lokal,” jelasnya.

Menurut Nisa, tantangan dalam pelaksanaan kegiatan ini termasuk kurangnya inisiatif beberapa mahasiswa dan perbedaan ritme kerja dalam kelompok. Namun, ia tetap memberikan bimbingan teknis dan pemantauan rutin untuk memastikan proyek berjalan lancar. Ke depannya, ia berharap seminar seperti ini mampu menghasilkan aksi nyata yang berdampak di tingkat lokal, seperti kerja sama dengan komunitas lingkungan atau pengelolaan sampah di Tasikmalaya.

Dadan Ramdan, salah satu pemateri seminar, menyampaikan apresiasinya terhadap inisiatif mahasiswa Unsil yang mengangkat tema diplomasi hijau.

Menurutnya, kegiatan seperti ini penting untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang kebijakan, program, serta fakta lapangan terkait upaya penanganan krisis lingkungan dan perubahan iklim.

“Forum ini sangat bermanfaat, tidak hanya bagi mahasiswa dan akademisi, tetapi juga masyarakat umum,” ujar Dadan.

Ia menekankan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan lingkungan, seperti lemahnya regulasi, keterbatasan anggaran, dan ketergantungan pada energi fosil. Namun, upaya nyata seperti pengembangan energi terbarukan, rehabilitasi ekosistem, dan pengelolaan sampah harus terus didorong untuk mencapai keberlanjutan. (M. Mastiar)***