SERIBU sembilan ratus delapan puluh dua. Hujan di penghujung sore menerbitkan lapar pada perutku, juga kedua adik laki-lakiku. Belum ada tanda-tanda Ibu akan memasak sore itu. Ibu sudah beberapa kali pergi ke dapur dan membuka-tutup pendaringan padahal ia – juga aku – tahu hanya ada beberapa butir beras yang tersisa di situ.
Meski begitu, aku tetap duduk diam di atas sebuah kursi panjang berlapis busa yang tak bisa lagi dibilang empuk, sementara kedua adikku berbaring di lantai sambil menonton berita di televisi yang isinya tak mereka pahami. Sedikit pun kami tak rewel meski lapar merambat pelan dan sesekali meremas perut kami.
Di usia yang tak satu pun dari kami mencapai tiga belas, kami sudah mengerti bahwa akan ada hari-hari dalam satu bulan di mana kami tak dapat menemui nasi dan lauk pauk di atas piring kami; bahwa pada hari itu, satu-satunya kompor minyak di dapur kami tak akan berdansa dengan wajan dan panci kecuali untuk merebus air dan menggoreng empleng, kudapan penyelamat perut kecil kami.
”Saudara, Inggris kemarin memerintahkan angkatan lautnya pergi ke Kepulauan Falkland dan membekukan kekuatan militer Argentina sebagai balasan atas serangan militer Argentina terhadap Falkland, jajahan yang dipersengketakan di Atlantik Selatan itu. Perdana Menteri Margareth Thatc…”
“Rubi, tolong Ibu pergi ke warung Bang Ali. Bilang, Ibu minta sekilo terigu dan seperempat minyak goreng. Bilang juga, bayarnya nanti malam kalau Ayah sudah pulang. Ibu nanti yang akan ke sana,” suara Ibu dari dapur membuyarkan perhatianku pada perempuan penyiar televisi yang memberitakan sebuah peristiwa nun jauh di sana.
Aku segera bangkit, meluruskan bagian bawah bajuku yang sedikit kusut.
”Cuma itu, Bu?” tanyaku setengah berteriak.
”Iya, itu saja.”
Aku pergi secepat kilat dan kembali secepat yang kubisa. Bayangan tentang empleng mengalirkan liur ke sela-sela gigiku. Di hari-hari seperti ini, empleng menjadi makanan paling lezat yang bisa kami nikmati. Aku tak bisa berharap ibu menyuruhku meminta telur atau beras pada Bang Ali sebab, dari cerita Ibu kepada Ayah, Bang Ali tidak bisa mengutangkan barang semacam itu. “Ayam, daging, telur, juga beras, tak bisa saya utangkan. Terlalu mahal, terlalu berisiko,” katanya pada semua yang datang dan ingin mengutang di warungnya.
Aku menyerahkan barang belanjaan yang Ibu minta, lalu kembali ke tempatku semula, sebuah kursi panjang berlapis busa yang tak bisa lagi dikatakan empuk. Sementara itu, adikku bungsu tertidur dan si Tengah asyik bermain perang-perangan dengan dua pasang jari tangannya berlarian di lantai, seperti sedang melakukan penyerbuan, atau – entahlah – hanya ia yang tahu.
Terdengar suara Ibu mengambil dan meletakkan sesuatu di dapur. Ini dia, pikirku. Ibu sudah mulai memasak. Aku sering melihat ibu membuat empleng. Terigu dimasukkan ke dalam baskom plastik, lalu dituangi garam dan satu sendok teh bubuk penyedap masakan. Dengan satu tangan ibu akan menuang air sedikit demi sedikit sementara tangan lain mengaduk terigu agar semua bahan tercampur. Ketika adonan telah tercampur rata dan kekentalannya sudah sesuai dengan yang ibu inginkan, ibu akan memanaskan minyak dalam wajan di atas kompor yang menyala. Buih-buih kecil dalam minyak akan bergerak mendekat ke pusat wajan lalu secara perlahan buih-buih itu akan berpencar kembali ke pinggiran.
”Itu tanda minyak sudah panas,” kata Ibu menjelaskan.
Lalu ibu mulai menuang adonan sesendok demi sesendok dan menggorengnya hingga berwarna kekuningan. Tapi empleng tak selalu dibuat asin-gurih. Kadang ibu membuat jenis lain yang juga kami sukai. Bukannya garam dan penyedap rasa, ibu membubuhkan gula putih atau cairan gula merah dalam adonan sehingga rasanya menjadi manis dan tak kalah enak. Kudecakkan lidah, membayangkan rasa gurih-manis yang meresap dalam mulut.
Seketika, rasa lapar yang tadi diam-diam merayap mulai meremas, menusuk, bahkan menggigit ulu hatiku. Kualihkan pikiran dan mencoba mendengarkan suara perempuan penyiar berita yang mengabarkan kematian seorang lelaki yang ditembak oleh petrus, sang penembak misterius. Lelaki itu terbungkus dalam karung dan ditemukan meninggal di pinggir hutan dengan empat luka bekas tembakan.
***
Dua ribu dua puluh satu. Hujan di penghujung sore menerbitkan kenangan akan Ibu, adik-adikku, dan penantian kami akan matangnya empleng goreng di masa lalu.
Rasa sakit masih merayapi hatiku, meremas dan menggerogoti setiap kekuatan yang kumiliki. Belum ada tanda-tanda kesedihan ini akan pergi. Belakangan ini, sudah puluhan kali aku menggoreng empleng lalu duduk di sebuah kursi panjang berlapis busa yang bukan main nyaman dan empuknya. Sambil memakan sepotong demi sepotong kudapan yang dulu sering menyelamatkan perut lapar itu, kudengar suara khas perempuan penyiar berita mengabarkan dunia dan segala peristiwa.
Meski kuyakinkan diriku bahwa saat ini ibu sedang sibuk di dapur, adikku bungsu tertidur, dan si Tengah bermain perang-perangan menggunakan dua pasang jarinya, aku tahu mereka tak lagi ada. Ibu dan kedua adikku ikut tenggelam dalam gelombang kedua, menyisakan aku, ayah, dan keluarga kecil kami pada pusaran pandemi yang belum diketahui kapan akhirnya. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 22 Februari 2022/dnilaz.wordpress.com