Inilah 20 Puisi Chairil Anwar Periode 1942-1943

chairil anwar.jpg
Chairil Anwar. (Foto: adakah.id)

ZONALITERASI.ID – Chairil Anwar merupakan sosok penyair Indonesia sekaligus pelopor Angkatan 45. Penyair legendaris yang wafat pada 1949 ini karyanya tetap abadi. Puisi-puisi Chairil Anwar masih dibacakan di panggung-panggung sastra hingga kini.

Semasa hidupnya,Chairil Anwar melahirkan 96 karya, termasuk 70 puisi.

Berkat dedikasinya, Chairil dinobatkan sebagai pelopor Angkatan 45.

Sebagai informasi, Angkatan 45 adalah periode sastra yang sarat menuntut keadilan rakyat, persoalan sosial dan politik. Chairil Anwar berjasa dalam melakukan pembaharuan puisi Indonesia.

Profil Chairil Anwar

Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan putra dari Teoloes bin Haji Manan yang bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri) pada zaman Belanda dan menjadi Bupati Rengat pada zaman Republik tahun 1948. Ibu Chairil Anwar bernama Saleha atau biasa disapa Mak Leha.

Menurut laman Ensiklopedia Kemdikbud RI, pengalaman menulis Chairil Anwar dimulai pada tahun 1942 ketika ia menciptakan sebuah sajak yang berjudul “Nisan”.

Setelah itu, ia terus melahirkan karya-karya sastra hingga akhir hayatnya. Menjelang wafat pada tahun 1949, Chairil masih menghasilkan enam buah sajak, yaitu “Mirat Muda”, “Chairil Muda”, “Buat Nyonya N”, “Aku Berkisar Antara Mereka”, “Yang Terhempas dan Yang Luput”, “Derai-Derai Cemara”, dan “Aku Berada Kembali”.

Chairil Anwar menutup usia pada 28 April 1949 yang kemudian diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.

20 Puisi Karya Chairil Anwar Periode 1942-1943

Untuk mengenang sosok Chairil Anwar, berikut 20 puisi Chairil Anwar periode 1942-1943.

1. Nisan (Oktober 1942)

Untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta.

2. Penghidupan (Desember 1942)

Lautan maha dalam

Mukul dentur selama

Nguji tenaga pematang kita

Mukul dentur selama

Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia

Kecil setumpuk

Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

3. Diponegoro (Februari 1943)

Di masa pembangunan ini

Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.

Serang.

Terjang.

4. Tak Sepadan (Februari 1943)

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

Dikutuk sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa apa

Aku terpanggang tinggal rangka.

5. Pelarian (Februari 1943)

Tak tertahan lagi

remang miang sengketa di sini

Dalam lari

Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika

Dan paduan dua jiwa.

II

Dari kelam ke malam

Tertawa-meringis malam menerimanya

Ini batu baru tercampung dalam gelita

“Mau apa? Rayu dan pelupa,

Aku ada! Pilih saja!

Bujuk dibeli?

Atau sungai sunyi?

Mari! Mari!

Turut saja!”

Tak kuasa …terengkam

Ia dicengkam malam.

6. Sendiri (Februari 1943)

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia memekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala

Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga

Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

7. Suara Malam (Februari 1943)

Dunia badai dan topan

Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*

Jadi ke mana

Untuk damai dan reda?

Mati.

Barang kali ini diam kaku saja

Dengan ketenangan selama bersatu

Mengatasi suka dan duka

Kekebalan terhadap debu dan nafsu.

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

Jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada

Dan sekali akan menghadap cahaya.

Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

8. Sia-sia (Februari 1943)

Penghabisan kali itu kau datang

Membawa karangan kembang

Mawar merah dan melati putih:

Darah dan suci.

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan: untukmu.

Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama.

Tak hampir menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak koyak sepi.

9. Ajakan (Februari 1943)

Ida

Menembus sudah caya

Udara tebal kabut

Kaca hitam lumut

Pecah pencar sekarang

Di ruang legah lapang

Mari ria lagi

Tujuh belas tahun kembali

Bersepeda sama gandengan

Kita jalani ini jalan

Ria bahgia

Tak acuh apa-apa

Gembira girang

Biar hujan datang

Kita mandi-basahkan diri

Tahu pasti sebentar kering lagi.

10. Aku (Maret 1943)

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang’kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

11. Taman (Maret 1943)

Taman punya kita berdua

tak lebar luas, kecil saja

satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

12. Hukum (Maret 1943)

Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul.

Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu

Pucat mukanya – Lesu

Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pekik di angkasa: Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti!

13. Kesabaran (Maret 1943)

Aku tak bisa tidur

Orang ngomong, anjing nggonggong

Dunia jauh mengabur

Kelam mendinding batu

Dihantam suara bertalu-talu

Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara

Suaraku hilang, tenaga terbang

Sudah! tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali

Sambil bertutup telinga, berpicing mata

Menunggu reda yang mesti tiba

14. Lagu Biasa (Maret 1943)

Di teras rumah makan kami kini berhadapan

Baru berkenalan. Cuma berpandangan

Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan

Dalam lakon pertama

Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.

Ia mengerling. Ia ketawa

Dan rumput kering terus menyala

Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi

Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai “Ave Maria”

Kuseret ia ke sana.

15. Kenangan (April 1943)

Untuk Karinah Moordjono

Kadang

Di antara jeriji itu itu saja

Mereksmi memberi warna

Benda usang dilupa

Ah! tercebar rasanya diri

Membubung tinggi atas kini

Sejenak

Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang

Hancur hilang belum dipegang

Terhentak

Kembali di itu itu saja

Jiwa bertanya; Dari buah

Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?

Menyelubungnyesak penyesalan pernah menyia-nyia

16. Rumahku (April 1943)

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu.

17. Bercerai (Juni 1943)

Kita musti bercerai

Sebelum kicau murai berderai.

Terlalu kita minta pada malam ini

Benar belum puas serah-menyerah

Darah masih berbusah-busah.

Terlalu kita minta pada malam ini.

Kita musti bercerai

Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai

Dua benua bakal bentur-membentur.

Merah kesumba jadi putih kapur.

Bagaimana?

Kalau IDA, mau turut mengabur

Tidak samudra caya tempatmu menghambur.

18. Cerita (Juni 1943)

Kepada Darmawidjaya

Di pasar baru mereka

Lalu mengada-menggaya.

Mengikat sudah kesal

Tak tahu apa dibuat

Jiwa satu teman lucu

Dalam hidup, dalam tuju.

Gundul diselimuti tebal

Sama segala berbuat-buat.

Tapi kadang pula dapat

Ini renggang terus terapat.

19. Kawanku dan Aku (Juni 1943)

Kepada L.K. Bohang

Kami jalan sama. Sudah larut

Menembus kabut.

Hujan mengucur badan.

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.

Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat.

Siapa berkata?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga.

Dia bertanya jam berapa!

Sudah larut sekali

Hingga hilang segala makna

Dan gerak tak punya arti.

20. Merdeka (Juli 1943)

Aku mau bebas dari segala

Merdeka

Juga dari Ida

Pernah

Aku percaya pada sumpah dan cinta

Menjadi sumsum dan darah

Seharian kukunyah kumamah

Sedang meradang

Segala kurenggut

Ikut bayang

Tapi kini

Hidupku terlalu tenang

Selama tidak antara badai

Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai

Mengapa kalau beranjak dari sini

Kucoba dalam mati.

Itulah 20 puisi Chairil Anwar periode 1942-1943. Semoga bisa mengobati kerinduan Anda terhadap karya penyair ini. ***

Sumber: detikEdu