HARI Pers Nasional yang diperingati saban 9 Februari, mengingatkan kita pada Mahbub Djunaidi: sosok yang lengkap dengan kemampuannya, dari sastra, jurnalistik, hingga politik. Dalam aspek kejurnalistikan, Mahbub Djunaidi tiada lain merupakan pemimpin redaksi koran Nahdlatul Ulama, Duta Masjarakat pada tahun 1960-1970. Sementara itu dalam organisasi keprofesian, ia didaulat menjadi ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1965-1970.
Pada 4-5 Mei 1966, di Universitas Indonesia diselenggarakan seminar pers. Kegiatan tersebut terselenggara oleh Lembaga Publisistik Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masjarakat serta Kesatuan Aksi Sardjana Indonesia (KASI) Djaya. Tema yang diambil terkesan megah, yakni Kebebasan Pers dalam Mengisi Tantangan Angkatan ’66 dan Orde Baru. Tema itu menggerakkan kita dalam menggamit istilah: 1966 dan Orde Baru. Tahun yang penuh gejolak, tapi pers tetap perlu dipikirkan akan keberlanjutannya.
Di kesempatan itu, Mahbub terlibat sebagai salah satu pengisi dalam kegiatan. Ia membawakan makalah berjudul Perkembangan Rentjana Undang2 Pers. Ia mengetengahkan masalah dan tantangan dalam perkembangan pers di Indonesia. Ia menelaah keterhubungan pers dengan masyarakat: “Sebab, persoalan2 jang menjangkut masalah pers, keinginan bagaimana sebaiknja fungsi pers itu, sudah mendjadi persoalan masjarakat. Dan sebagai karjawan perspun saja beranggapan bahwa persoalan pers bukanlah pantas dibitjarakan didalam kalangan pers sendiri, melainkan adalah hak masjarakat pula untuk memberikan pendapat dan kritik.”
Sejarah pers menempatkan perlawanan kepada penguasa masif terjadi ketika Orde Baru. Perlawanan itu tak lain sebagai fungsionalisasi kritik atas gejala-gejala otoritarianisme dalam mengekang kebebasan berpendapat. Di masa-masa itu terdapat sekian nama media cetak yang pernah kena sanksi berupa dibredel oleh rezim Orde Baru. Mahbub memiliki pengalaman personal sebab pada masa itu pernah dipenjara oleh Orde Baru atas kekritisannya pada penguasa. Ia dipenjara tanpa adanya pengadilan.
Jika pun kemudian kita mengontekstualisasikan pada situasi mutakhir, pilihan kritis acapkali menjadi dilema. Kebebasan berpendapat, mengajukan gugatan, dan melontarkan kritik itu sarat “pengawasan” dan “ancaman” dari penguasa. Namun, masih menarik kiranya bahwa betapa pun, kesemua hal adalah konsekuensi. Dan, yang sedemikian harus terus kita junjung sebagai fungsi pers dalam mengawal keberjalanan demokrasi. Sebab, demokrasi tak mengandaikan otoritarianisme yang dengan mudah menolak dan memperkarakan kritik.
Pengalaman semasa Orde Baru, menempatkan sekian ingatan pada sosok Mahbub. Di masa tersebut, Mahbub rutin menulis kolom untuk harian Kompas (melalui rubrik Asal Usul) dan juga majalah Tempo. Di beberapa kesempatan, Mahbub meletakkan dua kata penting yang berupa “humor” dan “jurnalistik” untuk judul tulisan. Istilah itu kiranya menjadi cara ia meletakkan strategi kebahasaan dalam mengandaikan pers di tengah kepungan gejolak yang terjadi pada masa Orde Baru.
Di Tempo edisi 27 Desember 1980 ada seorang pembaca yang berkirim surat di rubrik Kontak Pembaca. Pembaca itu bernama Mardjuki berasal dari Yogyakarta. Ia menulis: “Dalam majalah Pustaka April 1978, penulis kesayangan saya Mahbub Djunaedi menyuguhkan Humor Jurnalistik Terbaik 78. Apakah mungkin Tempo menghimbau beliau untuk menyuguhkan kepada pembaca Tempo Humor Jurnalistik 79? Syukur kalau sudah ada Humor Jurnalistik Terbaik 80.”
Pembaca itu menjadi pihak yang penting dalam konteks bagian masyarakat dalam peranan pers dengan kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan. Ia pasti merasa surat kirimannya menjadi perhatian saat kemudian membuka Majalah Tempo edisi 19 Januari 1981. Ya, dalam edisi itu Mahbub menyajikan kolom berjudul “Humor Jurnalistik 1980”.
Menarik kiranya untuk kita simak. Mahbub menyusun tulisan dengan menggunakan metafora sebagai gagasan yang tidak langsung menyuratkan pada logika kekuasaan. “Patih Gadjahmada jangan lekas besar kepala, karena di dalam wilayah hukum Kotamadya Bandung — percaya atau tidak — terdapat lebih dari cuma satu patih.”
Begitu cara Mahbub membuka kolomnya. Apa keterhubungannya dengan jurnalistik? Di sana Mahbub membuat analogi berupa “koran masuk patih”, yang kurang lebihnya bahwa sang patih itu hampir pasti menjadi konsumen media massa dengan jenisnya.
Mari simak keterangan lain di tulisan tersebut: “Apakah semua barang belian itu dibacanya? Di sini satu hal harus dicamkan: membeli koran dan majalah tidak ada sangkut pautnya dengan membaca koran dan majalah. Antara keduanya harus dipisahkan secara tegas seperti kita memisahkan ikan kembung dengan ikan mujair. Tidak ada aturan orang mesti beli koran dan majalah, seperti halnya tidak ada aturan mesti baca koran dan majalah yang sudah dibelinya. Dunia sudah penuh sesak dengan aturan, karena itu tidak ada manfaat menambah-nambah.”
Susunan argumentasi Mahbub kiranya penting dikontekstualisaikan dalam situasi mutakhir. Tiada lain, harus diakui katakanlah keberadaan teknologi informasi dan komunikasi menambah deretan persoalan yang dihadapi oleh pers itu sendiri. Saat orang mudah mendapatkan kabar dan informasi tanpa harus ribet menuju produk jurnalistik. Pers mudah diragukan dan tidak memancing selera para pembacanya. Wajarlah, banyak perusahaan mulai kelimpungan.
Sementara itu, dengan acuan kontestasi pengandaian akan kecepatan mencari dan mendapatkan informasi, harus diakui kita mudah terperangkap pada jebakan tumpukan informasi yang membiasakan kita untuk tidak mau memilah informasi yang ada. Paradoksnya, kita berada di arus kecepatan namun mengidap keterlambatan dalam memahami informasi. Gejala ini menjadikan tantangan yang beragam, seperti di antaranya persoalan bahasa hingga mencuatnya narasi tunggal dalam mengklaim kebenaran.
Sebagai refleksi, kiranya pers di era mutakhir dalam tantangannya harus senantiasa diposisikan sebagai “suluh” dalam pencerdasan masyarakat. Alih-alih menolak akan fenomena-fenomena di atas yang cenderung mengacaukan, namun tetap mau adaptif dalam menghadapi persoalan zaman.
Kiranya penting, seperti kenang Mahbub terhadap amatannya akan pers semasa Orde Baru. Keterangan itu kita dapatkan dari wawancara yang pernah dilakukan oleh Ridwan Saidi. Wawancaranya terhadap Mahbub termaktub dalam buku berjudul Sketsa Kehidupan dan Surat-Surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi (LSIP, 1996). Mahbub mengeluhkan akan surat-surat kabar yang makin tak enak dibaca, sebab menjauhkan pers dari sastra.
Ia memberikan pengakuan: “Padahal pers – termasuk televisi – memiliki kaitan yang erat dengan sastra. Memang dulu (di dunia, Ed.) juga pers menjauh dari sastra, tapi oleh kalangan new journalisme didekatkan. Sastra dan jurnalistik disatukan.” ***
Joko Priyono, fisikawan partikelir dan budayawan, penulis buku “Bersandar pada Sains” (2022).
Sumber: NU Online