DPD – Magister Ilmu Hukum UIN Bandung Gelar FGD RUU BUMDes, Rektor pun Sampaikan Apresiasi

e2b048fe 0e1a 4fdb a2d2 0fad4871e5e6 980x400 1
Rektor UIN Bandung, Prof. Mahmud, saat menyampaikan sambutan pada Focus Group Discussion yang digelar DPD RI dan Prodi Magister Ilmu Hukum UIN Bandung, Jumat (5/2/2021), (Foto: Humas UIN Bandung).

ZONALITERASI.ID – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bekerja sama dengan Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Focus Group Discussion (FGD), di Swissbel Hotel Dago Bandung, Jumat (5/2/2021).

FGD yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) itu dibuka oleh Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si.

FGD ini dihadiri oleh Direktur Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. H. Supiana, MAg, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. Fauzan Ali Rasyid, M.Si., puluhan peserta terdiri dari Akademisi Magister Ilmu Hukum, Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Perwakilan BUMDes, dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Forum bergengsi tersebut menghadirkan narasumber di antaranya Tim Ahli RUU BUMDes dari DPD RI Dr. Sofyan Syaf, Pakar/Ahli Hukum dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. Fauzan Ali Rasyid, M.Si (Guru Besar Ilmu Politik Hukum UIN Bandung), dan Wargiyati, SE sebagai Ketua Umum DPP PAPDESI.

Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Mahmud sangat mengapresiasi ikhtiar DPD dan Program Studi Magister Ilmu Hukum dalam rangka melakukan pemberdayaan masyarakat melalui BUMDes.

Pada kesempatan sama, Prof. Mahmud, memohon doa dari semua pihak agar keberadaan Fakultas Kedokteran segera dibuka di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Di samping itu, UIN Sunan Gunung Djati Bandung merupakan PTKIN pertama yang memiliki Rumah Moderasi Beragama di lingkungan PTKIN, tetapi keberadaannya belum dapat fasilitas dan harus ada payung hukum untuk melangkapi semua ini.

“Saya berharap ke depan DPD punya program bersama dengan UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai tindak lanjut dari FGD. Hal ini dalam rangka ikut andil mencerdaskan kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat karena sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Mengingat nilai akreditasi A untuk lembaga dan ada 22 Akreditasi Prodi yang meraih A,” jelasnya.

Wakil Ketua DPD RI, Dr. H. Mahyudin, ST., M.M., mengatakan, pihaknya sengaja menggandeng UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam pelaksanaan FGD tersebut. Tujuannya agar RUU Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang diusulkan DPD RI mendapatkan legitimasi akademik dan dukungan dari stakeholders di daerah untuk segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang tahun 2021.

Mahyudin menilai, pembahasan RUU BUMDes sangat penting serta perlu dilakukan percepatan untuk menjadi undang-undang di tahun 2021 ini. DPR RI, DPD RI dan Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM menyepakati dan menetapkan sebanyak 33 RUU menjadi Prolegnas Prioritas Tahun 2021. Dari jumlah tersebut, terdapat 20 RUU usulan DPR, 9 usulan Pemerintah, 2 usulan DPD, dan dua usulan bersama Pemerintah dan DPR.

Khusus untuk dua usulan DPD yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang BUMDes.

“Dari daftar RUU di atas, masyarakat Indonesia bisa menilai bahwa lembaga eksekutif dan legislatif sudah bekerja dengan baik, dan benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat dalam proses penyusunan program legislasi nasional” ujar Mahyudin.

“Hal ini terbukti dengan keseriusan DPR, DPD dan pemerintah dalam menyaring dan menyusun skala prioritas RUU yang akan dibahas dan disahkan pada Tahun 2021,” imbuhnya.

Sejumlah RUU tersebut, kata dia, dipandang kurang strategis atau berpotensi memicu polemik di tengah-tengah masyarakat, dikeluarkan dari daftar Prolegnas, untuk dibahas pada tahun-tahun sidang berikutnya.

“Contohnya adalah RUU tentang Jabatan Hakim, RUU tentang Bank Indonesia (BI), RUU tentang Ketahanan Keluarga, dan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP),” ungkapnya.

Paling Mendesak

Mahyudin menjelaskan, karena semua RUU dalam daftar Prolegnas merupakan RUU yang sangat vital, strategis, dan urgent, tentu diperlukan kejelian, sensitivitas, dan penalaran yang jernih untuk menentukan RUU mana yang paling mendesak untuk segera dibahas dan disahkan.

“Pada poin inilah, DPD RI berpandangan bahwa RUU tentang BUMDes menjadi salah satu RUU yang paling mendesak untuk segera dibahas bersama lalu disahkan menjadi undang-undang,” terangnya.

“Hal tersebut tidak semata-mata karena RUU BUMDes merupakan RUU inisiatif DPD RI yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPD RI yang tertuang keputusan DPD RI Nomor 16/DPD RI/II 2020-2021 tentang RUU BUMDes,” sambungnya.

Dikatakannya, ada tiga argumentasi yang melatari pandangan ini. Pertama, kondisi perekonomian bangsa saat ini sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19.

“Banyak korporasi besar yang goyah sehingga terpaksa melakukan efisiensi dalam bentuk pengurangan karyawan. Akibatnya, angka PHK pada tahun ini jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. KADIN mencatat bahwa sampai Oktober 2020, lebih dari 6,4 juta pekerja di PHK. Sementara Kementerian Keuangan merilis jumlah penganguran pada bulan November 2020 mencapai 9.7 juta jiwa,” ungkapnya.

Ia menuturkan, pemerintah memang sudah mengeluarkan beragam kebijakan dan stimulus untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar nasional, baik swasta maupun BUMN. Pada kuartal pertama tahun 2020 saja, Pemerintah harus menyuntikkan dana sebesar Rp 154 Trilyun untuk menjamin sejumlah BUMN tetap beroperasi dengan lancar.

Ragam kebijakan dan stimulus ekonomi tersebut, lanjutnya, memang berhasil membuat sejumlah korporasi bisa survive di tengah lesunya perekonomian global, namun jika dilihat dari jumlah PHK dan angka penganguran yang terus meningkat, pemerintah perlu melakukan terobosan lain dalam upaya membangun perekonomian nasional.

“Salah satunya adalah memberdayakan BUMDes sebagai salah satu pilar ekonomi makro yang berbasis di pedesaan. BUMDes diharapkan dapat berperan dalam membangkitkan ekonomi masyarakat desa,” katanya.

Yang kedua, imbuh Mahyudin, secara faktual, BUMDes semakin lama semakin menunjukkan peran pentingnya sebagai pilar perekonomian rakyat. Fakta ini dibuktikan dengan jumlah BUMDes yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, Jumlah BUMDes hanya sebanyak 1.022 unit, sedangkan pada akhir tahun 2019 tercatat ada 41.691 unit BUMDes di seluruh Indnesia. Jika angka ini dikorelasikan dengan jumlah desa yang sebanyak 74.957, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa lebih dari 60% desa di Indonesia sudah memiliki BUM Desa.

“Jumlah BUMDes tersebut sebenarnya linier dengan jumlah Dana Desa yang dikucurkan Pemerintah Pusat sepanjang 2015-2019 yang mencapai Rp 257 triliun. Namun persoalannya, sejak tahun 2014 sampai 2019, konstribusi Produk Domestik Bruto (PDB) masyarakat desa terhadap PDB Indonesia tidak pernah tidak pernah melebihi angka 13%. Ini artinya, ada mata rantai yang terputus (missing link) antara besaran dana desa yang berkorelasi dengan pesatnya pertumbuhan BUMDes, dengan out put yang dihasilkan. Pada titik inilah, perlu regulasi yang tagas dan jelas tentang tata kelola BUMDes agar bisa dioptimalkan untuk neningkatkan perekonomian masyarakat,” bebernya.

Terakhir, Mahyudin memaparkan, adanya kekosongan regulasi mengenai status hukum BUMDes sebagai badan usaha. Hal ini terjadi karena dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan peratutan turunannya, yaitu Permendesa Nomor 4 tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa, Pemerintah tidak memberikan kepastian hukum terhadap bentuk BUMDes.

“Jangankan memberikan kejelasan bentuk BUMDes sebagai badan usaha berbadan hukum yang mengelola kekayaan desa yang dipisahkan sebagai bagian dari kekayaan negara, bahkan bentuk badan hukum BUMDes tidak dibedakan secara khusus dengan badan hukum lainnya seperti Koperasi, Perseroan Terbatas, atau Yayasan. Pemerintah hanya memperbolehkan unit-unit usaha BUM Desa saja yang berbadan hukum, tetapi untuk BUM Desa tetap dipertahankan berbentuk badan usaha saja,” katanya.

“Padahal peraturan dasar pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan pembatasan untuk setidaknya memerlukan pengelolanya berbadan hukum,” terangnya.

Kehormatan

Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung Dr. H. Uu Nurul Huda, S.Ag., S.H., M.H. diakhir acara FGD menyampaikan terima kasih kepada DPD RI yang telah mempercayakan kegiatan ini kepada Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ini merupakan sebuah kehormatan bagi Program Studi. Ia berharap RUU BUMDES yang diinisiasi oleh DPD RI ini dapat menjadi prioritas pembahasan oleh DPR dan Presiden tahun 2021 dengan mengikutsertakan DPD sebagaimana prosedur yang berlaku.

“Jika nanti menjadi Undang-undang, diharapkan agar nantinya BUMDes sebagai pondasi perekenomian bangsa dapat menjadi poros kekuatan ekonomi yang akuntabel dan kredibel,” tandasnya.

“Saya menyampaikan terima kasih kepada bapak Rektor UIN, Bapak Direktur, Narasumber, para Dosen dan Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, serta semua pihak yang telah mendukung dan hadir hingga akhir kegiatan,” pungkas Uu. (des)***