MAKHLUK cokelat tua keunguan itu menahan kuat bendungan yang nyaris jebol di jantungnya. Napas beratnya memompakan udara tak sedap yang kemudian menciptakan suara sejenis petir. Matanya nyalang menatap layar semacam laptop raksasa yang memperlihatkan dua orang pemuda kelahiran Prancis mengayuh sampan yang terbuat dari botol plastik air kemasan. Keduanya mengayuh di antara bentangan Sungai Citarum sambil mengambil gambar dengan handycam. Tingkah keduanya terlihat diikuti mata kamera lain yang dikendalikan seorang pilot drone dari bibir sungai. Berikutnya adalah data-data visual yang mengerikan mengenai kondisi Sungai Terkotor di Dunia itu, yang diposting di laman Facebook sang pemuda aktivis Make A Change World itu, dan kemudian tersebar di televisi CNN, TV5 Prancis, DAAI TV, serta sejumlah televisi internasional hingga nasional dan lokal.
Makhluk cokelat tua keunguan itu merasa akan datang jutaan mimpi buruk dalam setiap tidurnya.
Ia menutup layar semacam laptopnya, lalu melangkah menuju beranda yang mengalirkan pemadangan indah hektaran gulma eceng gondok, serta paras seksi lekuk tubuh sungai yang sehitam aspal. Sungai sepanjang 300 kilometer yang berhulu di Situ Cisanti, Kabupaten Bandung, hingga bermuara di Pantai Bahagia, Kabupaten Karawang, itu telah belasan tahun menghidupinya. Ia menahan geram, lalu berteriak menciptakan ledakan-ledakan di udara.
Sejak kawasan Citarum dibendung untuk Waduk Saguling hingga Cirata, ia membawa anak istri dan saudaranya untuk mendirikan peternakan di sana. Jutaan roh ayam, babi hutan, cacing hingga semut menjadi peliharaan mereka. Para roh hewan korban dari banjir bandang yang diciptakan untuk membuat bendungan itu berpuluh tahun lalu memang melimpah dan perlu diorganisasi. Tak heran ada pula yang membuat kebun binatang di teraseringnya, terutama di atas dan bawah Bendungan Saguling. Begitu pula dengan para roh pohon yang memerlukan pekerjaan setelah mereka tak lagi dapat menghasilkan buah-buahan maupun getah hingga tubuh kayu mereka yang hebat itu. Makhluk cokelat tua keunguan itu mendapat durian paling runtuh dan utuh. Usahanya di bidang peternakan melesat, dan beritanya kemudian mengundang para siluman lain untuk ikut berbinis di kawasan itu.
Apalagi ketika pabrik-pabrik tekstil hingga cokelat dan furnitur didirikan di kawasan Citarum, usahanya juga dikembangkan ke pabrik minuman sehari-hari hingga minuman keras yang memabukkan. Ia telah membeli mesin pemisah air yang sangat hebat dari Jin Ifrit rekanannya di Jerman. Mesin itu dapat memisahkan air kencing kuda hingga limbah B3. Ketika limbah di Citarum makin kotor, bau, dan hitam, ini makin menguntungkan bagi dia dan keluarga besarnya, juga keluarga baru yang bermigrasi dari berbagai kawasan lain. Ribuan pabrik minuman keras didirikan, dan ekspornya mencapai jutaan kubik per hari.
Air keras dari Sungai Citarum ini memang laku keras di mancanegara. Maklum kadar kemabukannya, bagi para siluman hingga Jin Kafir, memang dianggap paling tinggi. Apalagi campuran air limbah B3 dan sedimen lumpur hitamnya dikenal paling sedap. Lumpur kental dan hitamnya malah juga laku dipakai sebagai semacam saus hingga semacam mayones. Ribuan pabrik pengolahan lumpur dan sedimen pun bermunculan. Di sanalah para roh pohon, roh umbi-umbian, hingga roh rerumputan bekerja. Gajinya besar-besar sehingga jarang terjadi demonstrasi menuntut kenaikan upah.
Malam Jumat Kliwon, apalagi saat bulan purnama, adalah malam terpadat di kawasan Citarum. Para turis lokal hingga mancanegara memadati jalur sepanjang Citarum. Apalagi jika diiringi hujan deras, saat para pesuruh pabrik menggelontorkan aneka limbah, serta para penduduk membuang sampah-sampah rumah tangga mereka, kawasan Citarum menjadi sesak. Para jin dan siluman mancanegara dari sungai Tigris, Gangga, Sein, hingga turis lokal Sungai Cisangkuy serta Sungai Cikapundung berjibaku menuju kawasan super wisata bantaran Sungai Citarum. Mereka yang menggunakan kendaraan Roh Dinosaurus hingga Roh Burung Hantu membawa anak istrinya untuk menikmati kekotoran dan baunya Citarum.
“Baunya memang sangat harum, ya!” senyum Siluman Sungai Cimande kepada pacar gelapnya dari Sungai Cimanuk, sambil mengayuh sampan yang terbuat dari roh botol kecap dan roh botol wiski.
Makhluk cokelat tua keunguan itu kini merenung. Sejak postingan Sungai Citarum oleh dua pemuda yang menaiki kano botol plastik itu, di hari-hari kemudian, banyak para pelajar turun ke Sungai Citarum, juga para tentara. Mereka beramai-ramai menaiki perahu kayu hingga karet membersihkan sungai. Para direktur perusahaan pabrik besar yang membuang limbah ke sungai, konon, menurut para jin yang dipekerjakan olehnya, telah dihukum. Sebahagian ditahan, dititipkan di rutan yang khusus dihuni para koruptor.
“Gawat! Lihat, mereka mengobrak-abrik panggung untuk pengantin!” seru Jurig Jarian, menatap haru kepada Jin Cokelat Tua Keunguan itu. Telunjuknya yang bengkok terarah pada para tentara dan aktivis lingkungan yang menyemut memenuhi sepanjang sungai.
Berhari-hari suasana itu menciptakan kepanikan. Pembersihan sungai otomatis berdampak pada penghancuran tiang-tiang dan fondasi panggung, serta berpengaruh pada kadar kuliner yang akan disajikan saat pernikahan berlangsung. Padahal ini adalah pemikahan perdana putri semata wayangnya.
“Kita pindah saja, Pap!” seru istrinya, sambil memeluk calon pengantin yang nampak loyo dan terbakar kecemasan.
“Undangan telah disebar, dan semua jin dan para roh penasaran sebahagian sudah berdatangan. Kau lihat, hotel-hotel di bantaran Sungai Cikapundung hingga Bendungan Saguling dan Cirata, telah dipenuhi para tamu undangan. Dari Jin Ifrit hingga Jin Tongtang telah bersiap membuat kado kejutan buat keluarga kita….”
“Kita undur saja, Pap!” suara istrinya yang penuh kecemasan itu membuat makhluk cokelat tua keunguan itu makin terpukul. Pun anak mereka.
“Aduh, jangan dong, Mamih!” putri calon pengantin itu merasa rambutnya terbakar. Aib besar jika pernikahannya diundur, apalagi kalau sampai gagal.
Kecemasan itu juga disampaikan oleh keluarga besan mereka yang telah sampai dan menginap di vila-vila pinggir sungai dekat Kawasan Gunung Tilu hingga Gunung Wayang dan Kawasan Kawah Putih. Mereka sudah mendapat kabar tentang pembersihan Citarum yang berdampak pada penghancuran panggung besar calon pengantin, serta perusakan kualitas kuliner. Khususnya minuman.
“Tanpa limbah B3, sajiannya akan terasa hampa!” ujar Jin Patih dari keluarga besan, yang semula dijadwalkan berperang pantun dengan pihak keluarga perempuan.
Makhluk Cokelat Tua Keunguan itu kemudian memerintah para Jin kafir bawahannya, dibantu para Setan Marakayangan dan roh penasaran korban santet hingga pembunuhan berencana, untuk menggoda para aktivis lingkungan, pelajar, mahasiswa, tentara, para pejabat, dan masyarakat yang peduli Citarum, agar berhenti. Berbagai cara dilakukan, dengan membisiki hati mereka untuk berpaling. Mereka dibisiki untuk melakukan korupsi anggaran, menerima suap pembuang limbah, membiarkan serakan sampah, menghentikan pengerukan sedimentasi, membiarkan eceng gondok membentuk pulau terapung, dan membiarkan aroma menusuk itu menjadi terasa parfum.
Jutaan roh anjing edan, siluman buaya galak dan ular hitam, hingga kalejengking ingkig, dikerahkan untuk memengaruhi masyarakat desa di pegunungan hingga bantaran sungai, membuang sampah ke berbagai sungai yang berhulu di Sungai Citarum, seenak-enaknya.
“Ayo buang bayimu ke sungai, biar dia dapat berenang di akhirat nanti!” bisik Roh Buaya Buntung, kepada dara ingusan korban buaya darat.
“Apakah ceritanya kemudian menjadi indah pada akhirnya?” senyum seorang perempuan Jin Islam kepada suaminya yang menjadi reporter di semacam media online-nya negeri Jin.
“Belum tahu. Ini adalah peperangan yang sulit diprediksi kapan berakhirnya, kapan penantian impian pernikahan putri Makhluk Cokelat Tua Keunguan itu berakhir pula!” ujarnya, sambil memperlihatkan sebuah hasil liputan video yang belum ditayangkan.
Menurut roh kata-kata yang banyak dibuang para wartawan, penulis freelance, hingga jurnalis media cetak dan online, karena dianggap subversif, hasil liputan video yang belum ditayangkan itu berisi cerita tentang sang calon pengantin yang tengah bersiap-siap bunuh diri, merentangkan kain yang memanjang dari bulan hingga atap jembatan besi yang membentang di atas Sungai Citarum.
“Jika di suatu ketika, di suatu masa, kau melihat sungai-sungai itu menjelma lautan darah, memerah berbau amarah, kau akan tahu sendiri, apakah cerita ini indah pada akhirnya. Atau tidak?” ***
Bandung, September 2018
Cerpen Siluman Sungai Citarum sebelumnya dimuat di Tribun Jabar, 18 November 2018.
Eriyandi Budiman lahir di Tasikmalaya, 2 Maret 1966. Beberapa buku karya lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Bandung (UPI) ini antara lain Sederet Tangis dari Tigris (cerpen), Prasasti Kesedihan Izrail (cerpen), Sayap Sorga (puisi), dan Amora Magma (novel).