DAHULU kala di tahun delapan puluhan, liburan Ramadan itu empat puluh hari. Beberapa hari sebelum, pada saat puasa, dan setelah lebaran. Keriangan dipuas-puasin pada saat bersenda gurau di tarawihan surau. Bahkan, kadang berlebihan untuk ukuran sekarang. Saling dorong, saling sikut, memelorotkan sarung, menyembunyikan pemukul bedug, rebutan tumpeng, dan menyembunyikan sandal jepit.
Bagi remaja, ini saatnya menunggu anak kota berlibur. Yang laki-laki jadi sahabat bermain, perempuan yah untuk dilirik-lirik, digoda-goda. Ada juga beberapa remaja kota yang senang menjalin kasih dengan pemuda kampong. Mainnya, ya main ayunan di makam, ke sawah, atau jalan rame-rame ke surau.
Di bulan ini, banyak anak bermain mercon. Kadang gulungan mercon disimpan di atas perapian agar terpelihara kondisinya. Kalau tidak, mercon akan basah dan sulit saat dibakar. Di kampungku belum pernah terjadi tuh kebakaran karena mercon. Walau setiap orang bermain mercon. Besar kecilnya mercon bergantung usia dan keberanian. Kadang sampai sepergelangan tangan yang bunyinya sampai bum terdengar sekampung.
Banyak juga yang bikin lodong karbit. Terbuat dari bambu. Dimasukin air, karbit diselipkan lewat lubang bundar di atas dan boooom setelah dibakar. Bersahutan. Kadang sengaja perang-perangan bunyi. Berjejer di sini menghadap kampong sebelah. Berjejer di sana menghadap ke kampong satunya.
Lebaran seru. Potong ayam. Potong kambing patungan. Dan ngabedahkeun kolam ikan.
Di luar liburan Ramadan, tidak kalah serunya dan membahagiakan orang-orang dahulu. Sama bahagianya bahkan boleh jadi lebih bahagia dibanding orang-orang kekinian.
Sepakbola selepas sekolah putih biru. Mendatangi kampong demi kampong. Ya jalan kaki. Berangkat asar pulang magrib. Kadang sampe menjelang isya. Orang tua nonton di pinggir lapang. Kadang-kadang saking rame dan panasnya berkelahi antarpemain. Disorak-sorei oleh para penonton. Kalau perlu penontonnya juga berantem. Tapi asyik. Ya asyik. Bahagia. Sangat bahagia.
Banyak lagi sarana kebahagiaan masa lalu. Main kucing-kucingan di malam hari, loncat tinggi, mancing ke sungai, ngurek belut, main layangan di lapangan, main gobag, badminton di lapangan tanah terbuka. Main gapleh. Nonton TV hitam putih rame-rame. Layar tancep. Dan buanyak lagi.
Makan sangat sederhana. Cukup kerupuk dan ikat asin. Atau sekadar dengan garam bakar. Goreng telur satu butir dibagi empat atau lima orang. Pakaian dijahit tambahan di sana sini. Ke mana-mana jalan kaki atau naek sapeda. Kalau piknik naek truk. Jalanan tanah merah. Paling banter berbatu yang terjal. Penerangan lampu minyak. Kalau malam terkadang gelap-gelapan.
Fasilitas, kondisi, keuangan, hiburan zaman dahulu kala jauuuh berbeda dengan zaman sekarang. Tapi kebahagiannya, ya sama saja. Bahkan lebih.
Ternyata Innova bukanlah kebahagiaan. Internet bukanlah kebahagiaan. Listrik bukanlah kebahagiaan. Pendidikan tinggi bukanlah kebahagiaan. Kebahagiaan ada di dalam hati sendiri. ***
Suheryana, Asisten Administrasi Umum Pemda Pangandaran.