Kedamaian dalam Diam dan Kesederhanaan

Oleh Suheryana Bae

252694 505079152840515 1616017453 n 505079152840515
Suheryana Bae. (Foto: Dok. Pribadi)

NEGARA sedang tidak baik-baik saja. Begitu yang terdengar dari berbagai sumber informasi. Pertumbuhan ekonomi tidak sesuai harapan, gelombang pemutusan hubungan kerja, kesulitan pendanaan program-program unggulan, arus investasi kian menurun, hingga fenomena premanisme dan pemalakan oleh kelompok yang mengatasnamakan organisasi masyarakat. Di tengah semua itu, geliat hiburan masyarakat—termasuk saat momen mudik—pun tampak lesu. Seolah kehidupan publik sedang mengalami kelelahan panjang, tertatih mengatur napas di antara satu gejolak ke gejolak berikutnya.

Riuh rendah suara-suara dan pendapat pun bermunculan. Dari penguasa hingga pakar, dari akademisi sampai para artis, media sosial menjadi panggung yang ramai. Banyak teori dilemparkan, istilah-istilah ilmiah disodorkan. Tapi alih-alih mencerahkan, semua itu kadang justru terasa menjauhkan. Terlampau rumit untuk dicerna, terlalu njelimet untuk menjadi pijakan tindakan. Ujungnya, hanya menjadi konsumsi pengisi waktu, hiburan yang disulap menjadi kesan “melek informasi”, tanpa benar-benar mengubah apa pun di dasar kehidupan.

Lantas bagaimana dengan warga masyarakat kebanyakan? Mereka yang tinggal di desa-desa, para petani yang menyambung hidup dari tanah, para peternak yang menggantung harapan pada musim dan pakan. Atau mereka yang di pinggiran kota, para pemulung, pengangguran, buruh kecil, pemilik warung, pengemis yang hanya bisa menggantungkan harap dari belas kasih. Dalam situasi yang serba tidak menentu ini, apa yang sebenarnya bisa dilakukan?

Jawabannya mungkin sederhana, justru karena hidup mereka memang tidak dibangun dari kerumitan teori. Yang dibutuhkan bukanlah rumus-rumus besar, tetapi kebijaksanaan kecil dalam keseharian. Yang pertama dan utama adalah menjalani hidup apa adanya. Tidak perlu merasa mumet karena berita-berita besar yang tak dapat disentuh. Tidak perlu stres karena wacana-wacana yang tidak pernah masuk ke dapur atau ke ladang. Mengalir saja seperti air—dengan ketenangan dan kesadaran penuh bahwa hidup adalah hari ini, bukan debat-debat yang membingungkan.

Hidup sederhana menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Ketika dunia ramai dengan kejar-kejaran status dan kekayaan, memilih untuk tidak terjebak dalam ambisi berlebihan justru adalah bentuk kebebasan. Tidak perlu menjadi terkenal, menjadi super kaya—menjadi cukup saja. Bahagia bisa ditemukan di halaman rumah, di sawah yang hijau, di kebun yang rindang, dalam suara kokok ayam di pagi hari, di ruang makan sederhana bersama keluarga yang sehat dan utuh.

Di atas segalanya, patuh pada aturan agama adalah fondasi utama. Di situlah kompas hidup sejati berada. Ketika semuanya terasa goyah, nilai-nilai spiritual yang kokoh bisa menjadi penopang. Selain itu, aturan perundang-undangan negara tetap harus ditaati sebagai bentuk tanggung jawab sipil. Jangan melanggar meski kecil, karena dari yang kecil itulah kerusakan besar sering kali bermula.
Membayar pajak, retribusi, atau kewajiban lain dengan jujur adalah bentuk kesetiaan kepada kehidupan bersama. Jangan menipu, jangan menyembunyikan. Sekalipun mungkin kecil jumlahnya, ketulusan dalam membayar adalah bentuk partisipasi dalam bangunan negara yang adil dan bersih.

Menjaga etika dan akhlak adalah warisan yang tak lekang waktu. Di tengah kebingungan nilai di masyarakat, sikap jujur, rasa malu ketika berbuat salah, semangat untuk tetap optimis dan saling menghormati menjadi pelita. Moralitas bukan sekadar wacana, tapi cara hidup yang ditunjukkan dalam tindakan kecil sehari-hari.

Tak perlu menggantungkan diri pada penguasa. Bantuan yang datang karena alasan politis, penuh syarat tersembunyi, atau tidak sesuai aturan, sebaiknya dihindari dengan bijak. Jangan tergoda membuat proposal hanya karena ingin mengakses program, apalagi jika niatnya hanya memperkaya diri sendiri. Lebih baik mengurangi beban dan menggantinya dengan kemandirian.

Bekerja sungguh-sungguh adalah kunci. Kemandirian diri, keluarga, dan lingkungan adalah hasil dari kerja keras yang tidak mengeluh, kerja yang dilakukan dengan rasa syukur. Dari ladang kecil, dari warung sederhana, dari gerobak dorong, dari peternakan ayam yang dirawat dengan hati—semua bisa menjadi sumber keberkahan jika dilakukan dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Dan bila dikerjakan bersama, dalam semangat gotong royong, kekuatan itu berlipat menjadi daya tahan yang luar biasa.

Akhirnya, jangan bebani pikiran dengan hal-hal yang di luar kendali. Tidak semua hal harus dipikirkan, tidak semua harus dikuasai. Ada ruang untuk pasrah, untuk menyerahkan kehidupan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam keterbatasan, justru sering kali kita menemukan kebijaksanaan. Dalam diam dan kesederhanaan, ada kedamaian yang tak bisa dibeli oleh siapa pun.

Maka, ketika negara tidak sedang baik-baik saja, rakyat pun bisa tetap baik-baik saja. Dengan caranya sendiri. Dengan kekuatan diam yang tak terlihat, namun sesungguhnya adalah tiang-tiang penyangga negeri yang paling kokoh. Dalam senyap masyarakat awam, negara tetap berdiri. ***

Suheryana Bae, pemerhati sosial, tinggal di Ciamis Jawa Barat.