SIANG itu, jarum jam baru saja melewati angka dua belas lewat tiga puluh menit. Dari Cimahi, saya memacu kendaraan menuju Cikutra, Bandung. Tujuannya adalah rumah Bilven, seorang kawan lama yang juga pemilik penerbitan buku Ultimus. Ada janji yang terpatri, sebuah rencana untuk kemudian beranjak ke tempat lain.
Sore menjelang senja, tepat pukul enam lewat lima puluh delapan menit, saya tiba di depan sebuah toko buku sederhana namun menyimpan sejuta kisah: Pelagia. Malam itu, hujan mengguyur kota Bandung dengan derasnya. Jauh dari pusat keramaian, namun hasrat untuk bertemu mengalahkan dingin dan jarak. Pertemuan ini terasa langka, sebuah momen yang sudah lama dinanti.
Di dalam toko buku yang hangat oleh aroma kertas dan tinta, sosok itu menyambut dengan senyum teduh. Syakarwi Manap. Melihatnya setelah sekian lama, hati saya berdesir. Rindu ini seperti pertemuan seorang anak dengan ayahnya setelah terpisah waktu yang panjang. Tanpa bisa ditahan, air mata saya tumpah. Kesedihan mendalam mencabik hati, mengenang bagaimana kehilangan kewarganegaraannya, dirampas oleh rezim Orde Baru yang kelam.
Syakarwi Manap, pria kelahiran Tanjung Raya, Lahat, Sumatera Selatan, pada 30 Juni 1942, adalah anak keempat dari enam bersaudara keluarga Manap. Masa kecilnya diisi dengan pendidikan di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Lubuk Linggau, sebelum melanjutkan ke SMP Negeri Lahat, dan kemudian SMA Negeri Lahat. Sempat mengenyam bangku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, namun takdir membawanya ke KDC (Kursus Dinas C) untuk menjadi bagian dari Kementerian Dalam Negeri. Sejak SMP, selain belajar, semangatnya juga tertuang dalam Gerakan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa.
Setelah menyelesaikan KDC, Jakarta menjadi pelabuhan berikutnya untuk menimba ilmu di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham. Setahun kemudian, cakrawala pendidikannya meluas hingga ke mancanegara. Havana, ibu kota Kuba, menjadi tujuan pertama, di mana beliau belajar selama dua tahun. Namun, badai politik di tanah air, peristiwa G30S yang mengguncang, merenggut paksa kewarganegaraan Indonesianya oleh rezim Orde Baru Soeharto. Sejak akhir tahun 1966 hingga 1992, beliau menyandang status stateless, tanpa kewarganegaraan.
Dari Kuba, Vietnam menjadi tempat berlindung dan belajar selama dua tahun atas bantuan Pemerintah Republik Demokratik Vietnam. Petualangan intelektualnya berlanjut ke Tiongkok. Di negeri tirai bambu ini, beliau mendapat kesempatan belajar di Yang Chow, Provinsi Chiang Xu, selama dua tahun. Kemudian berpindah ke Luo Hua di Provinsi Chiang Xi untuk bekerja selama tiga tahun. Selanjutnya, Yen Thai di Provinsi Shan Tung menjadi tempat menimba ilmu selama dua tahun. Setelah menyelesaikan studinya, Burma (kini Myanmar) menjadi lahan pekerjaan. Di sana, beliau menemukan belahan jiwa, Pai Hui Lien, seorang Tiong Hoa Burma yang kemudian dipanggil Salwiana. Putri pertama mereka, Nila Utama, lahir di Burma pada tahun 1979. Setelah enam tahun di Burma, beliau kembali ke Tiongkok, bekerja di Nan Chang, ibu kota Provinsi Chiang Xi. Di kota inilah putri kedua mereka, Stella Kusuma, lahir.
Lima tahun berselang, keluarga kecil ini hijrah ke Swedia. Di negeri Skandinavia ini, suaka politik diberikan oleh Pemerintah Kerajaan Swedia. Setelah lima tahun menetap, mereka sekeluarga resmi menjadi warga negara Swedia. Status stateless yang melekat selama 26 tahun akhirnya sirna. Di Swedia, seperti di negara-negara sebelumnya, beliau dan keluarga mendapatkan pekerjaan dan perlakuan yang layak. Namun, jauh di lubuk hati, kerinduan pada tanah air, Indonesia, tempat kelahiran dan masa remajanya, tak pernah pudar.
Malam di Pelagia itu menjadi saksi bisu pertemuan yang penuh haru. Di antara rak-rak buku yang menjulang, cerita pahit masa lalu dan harapan akan masa depan terjalin. Sebuah pelajaran tentang ketabahan, kehilangan, dan arti sebuah identitas. Hujan di luar toko buku mungkin masih mengguyur, namun di dalam, kehangatan pertemuan dan cerita seorang pejuang kemanusiaan menghangatkan jiwa. ***
Didin Tulus, penggiat buku, tinggal di Cimahi.